tirto.id - Ahli Hukum Pidana Edward Omar Sharif Hiariej yang dihadirkan sebagai saksi ahli hukum pidana pada sidang ke-14 kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menuding bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) ragu dalam mendakwa Ahok.
Hal ini diutarakan oleh Edward kepada Majelis persidangan saat sedang memberi keterangan sebagai ahli di Auditorium Kementrian Pertanian pada hari Selasa (14/3/2017). Menurut Edward, jika memang JPU yakin akan tindakan penodaan agama oleh Ahok sudah terjadi, maka seharusnya Ahok hanya didakwa oleh Pasal 156a. Hal ini tentu saja jika UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang menjadi dasar pengembangan Pasal 156a sudah dicabut.
“Memang dakwaan ini dipasang alternatif Yang Mulia. Biasanya kalau dakwaan dipasang alternatif, untuk menunjukkan ada keraguan dari penuntut umum untuk menentukan Pasal yang fix sperti apa. Oleh karena itu semuanya dibuktikan lalu diserahkan kepada Majelis Yang Mulia inilah yang paling tepat sesuai dengan fakta di persidangan,” kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Jika UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tidak dicabut, maka Pasal 156 tentunya tidak relevan, apalagi jika diajukan sebagai Pasal alternatif sekalipun. Meski sebelum adanya UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Pasal 156 lazim disematkan pada golongan agama, tetapi kenyataannya hal itu salah. Edward berpendapat bahwa Pasal 156 didapat dari Pasal 131 Indische Staatsregeling (peraturan dasar zaman pemerintahan Belanda). Pada aturan tersebut, golongan yang dimaksud adalah golongan Eropa/Belanda, Arab/Cina, dan Bumiputera.
Inilah kenapa ia menganggap JPU ragu. Pasal 156 harusnya tidak didakwa pada Ahok. Yang paling cocok memang Pasal 156a yang dibuat pasca perseteruan Partai Komunis Indonesia dengan orang Islam di mana saat itu Alquran diinjak-injak dan dirobek.
“Kalau kita kembali pada sejarah pada pasal penodaan kebencian di Belanda sama sekali tidak dimaksudkan golongan agama, makanya 156a disisipkan karena konflik PKI dan Islam [Tahun 1965, di Kanigoro],” pungkas Edward.
15 menit selepas persidangan, Edward juga mengakui pihaknya sendiri ragu akan dugaan tindakan pidana yang dituduhkan pada Ahok. Ihwal ini ia yakini setelah melihat video dan buku yang ditulis oleh Ahok.
“Saya rasakan itu [kata-kata Ahok tentang Al-Maidah 51 di buku ‘Merubah Indonesia’ dan video Kepulauan Seribu 28 September 2016] bahwa patut diduga. Sebenarnya bahwa kata-kata patut diduga itu telah memenuhi unsur delik, itu memperlihatkan bahwa saya sendiri doubt [ragu], keraguan di situ apakah memenuhi [pidana penodaan agama] ataukah tidak,” pungkas Edward.
Menjawab hal ini, JPU pimpinan Ali Mukartono yang pada persidangan menolak memberikan pertanyaan pada Edward menerangkan bahwa pasal alternatif tersebut bukanlah bentuk kebimbangan, tetapi memang hanya ingin memastikan.
“Oh ndak, ndak ada keraguan. Keraguan dari siapa? Keraguan dari tindak pidana atau bukan? Tidak. Keraguan dalam arti ini pilihan tindak pidana yang mana, jadi maksud Jaksa gitu. Ini ada dua tindak pidana, kira-kira gitu ‘kan. Yang mana? Bukan yang satu diambil, yang satu tidak. Bukan,” sangkal Ali.
Namun sangkalan tersebut, sama saja menegaskan bahwa apa yang diutarakan Edward memang tepat: JPU tidak bisa menentukan mana pasal yang harus digunakan untuk memenjarakan Ahok. Ketika ditanya tentang pasal mana yang tepat untuk diajukan, Ali enggan menegaskan.
“Ya nanti tunggu tuntutan. Karena ini tuntutan, ‘kan belum disimpulkan sekarang. Kesimpulannya dari tuntutan,” tutup Ali.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto