Menuju konten utama

Saat Jam Kantor "9 - 5" Mulai Dipertanyakan

Istilah bekerja dengan sistem jam kantoran sudah lazim dalam dunia kerja. Namun semakin berkembangnya gaya hidup para generasi milenial, sistem ini mulai dipertanyakan karena terkait produktivitas dan kesehatan.

Saat Jam Kantor
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Setiap hari adalah rutinitas yang sama untuk Yuni Pulungan (22). Gadis Batak yang baru dua bulan bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan periklanan di Medan ini menjalani rutinitas 9 – 5 setiap harinya. Ia menjalaninya karena ada denda bagi yang terlambat datang.

Denda ini tak main-main, Rp20 ribu untuk telat 1-5 menit tanpa kabar. Bayangkan kalau kena macet dan telat sejam? Bisa tekor Rp240 ribu. Sejak aturan itu berlaku, hampir tak ada lagi yang telat di perusahaan Yuni.

“Kemarin ada satu orang yang telat cukup lama. Tapi katanya, kantor cuma potong Rp100 ribu saja,” tambah Yuni.

Sebagai orang yang biasa bangun pagi, Yuni tak keberatan kewajiban hadir pada pukul 9 pagi. Ia selalu datang pagi, kecuali saat ada urusan lain dan telah meminta izin. Namun, Yuni sebenarnya tak begitu senang dengan aturan kerja 9-5 yang dianut kantornya. Sebagai seorang pekerja kreatif, rasa monoton dan bosan menghinggapi kapan saja.

“Seharusnya tak usah kami harus masuk jam 9, pulang jam 5. Toh, kerjaan kayak kami sebenarnya cuma perlu kumpul kalau ada briefing dan evaluasi. Sisanya banyak dikerjakan sendiri, dan bisa di mana saja. Kalau tempat kerjanya seseru Google, mungkin enggak masalah,” ungkapnya sambil tertawa.

Hal serupa juga dirasakan Kartini Zalukhu (25). Gadis Nias ini dua tahun lalu sempat bekerja sebagai pemimpin redaksi sebuah media gaya hidup di Medan. Kurang lebih aturan kantornya sama dengan kantor Yuni. Ada juga potongan gaji untuk yang datang telat tanpa kabar. Tapi Tini, sapaan sehari-harinya, bukan manusia pagi seperti Yuni. Ia malah makhluk malam, yang sering insomnia. Aturan masuk kerja 9-5 sangat mengganggunya.

“Yang paling terasa ketika kerja jam 9-5, konsentrasi kita berkurang,” kata Tini.

Tini sudah beralih profesi menjadi Social Media Strategist. Ia tak lagi terikat dengan aturan kantor. “Pekerjaan ini lebih cocok dengan saya,” ungkap Tini.

Para insan seperti pemimpin redaksi media gaya hidup dan ahli pemasaran lewat media sosial sebuah pekerjaan kreatif, tapi aturan waktu kerja yang berbeda, efek bisa berbeda. Kadar konsentrasi dan motivasi meningkat adalah hal yang paling dirasakan Tini. Tentu selain kebahagiaan yang ia dapat dari pekerjaan tanpa aturan ketat 9-5. Kocek Tini juga ikut berubah. Meski tak sebut jumlah, angka di rekeningnya jauh lebih panjang setelah bekerja dengan aturan lentur sebagai ahli pemasaran lewat media sosial ketimbang pemimpin redaksi.

Pengelaman Yuni dan Tini jadi gambaran dari banyak generasi milenial masa kini. Mereka adalah generasi-generasi yang tidak suka dibatasi, termasuk oleh jam kerja. Pembatasan jam kerja justru membuat mereka semakin “kreatif” untuk tidak berkontribusi secara maksimal kepada perusahaan.

Di Kanada, sebuah penelitian menyebutkan lebih dari satu dalam tiap enam orang pegawai memalsukan izin sakit mereka hanya karena kecapaian. Dua belas persen di antaranya beralasan kalau mereka butuh istirahat dari stres yang ditimbulkan pekerjaan, tapi tak mau bilang pada atasan. Penelitian yang dilakukan oleh perusahaan asuransi Canada Life Group Insurance ini juga menyatakan, 24 persen pegawai meyakini kalau waktu kerja yang fleksibel akan menghindarkan mereka dari izin-izin tak masuk kantor yang tidak diperlukan.

Di Swedia, suster-suster yang bekerja 6 jam sehari tapi digaji sesuai upah kerja 8 jam sehari terbukti lebih produktif. Selama setahun, mereka mengikuti pola ini dalam sebuah penelitian yang dilakukan pemerintah Swedia. Mereka ingin melihat korelasi antara berkurangnya jam kerja dan meningkatnya produktivitas, yang rupanya berbanding lurus. Studi ini juga menunjukkan para suster 2,8 kali lebih sedikit mengambil cuti, dan setengah kali lebih jarang sakit ketimbang suster-suster di rumah sakit lain yang bekerja 8 jam sehari.

Sementara 2008 lalu, ilmuwan Amerika telah lebih dulu menemukan hal serupa. Dalam Jurnal American Journal of Epidemiology dijelaskan, mereka yang bekerja 55 jam per minggu mengalami performa buruk dalam sejumlah tes kesehatan mental ketimbang mereka yang bekerja 40 jam per minggu.

Seperti dikutip dari Bloomberg, seorang profesor kesehatan umum dari Universitas Negeri Ohio, Allard Dembe menemukan, bekerja lebih dari 40 jam per minggu akan mengganggu kesehatan. Bisa menyebabkan gangguan jantung, kanker, encok, dan diabetes.

Temuan terbaru bahkan jelas-jelas menyarankan perusahaan-perusahaan untuk berpikir ulang tentang konsep kerja 9-5. Dalam jurnal American Sociological Review yang terbit Februari lalu, peneliti dari Universitas Minnesota dan MIT menemukan beberapa faktor penting tentang tak efektifnya aturan 9-5. Di antaranya, keleluasaan pegawai yang mengatur jam kerjanya sendiri menghasilkan tingkat stres yang jauh lebih rendah, psikologis lebih baik, dan tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

Studi memang tak mengukur tingkat produktivitas pegawai, tapi berhasil mengaitkan tingkat kebahagiaan pekerja dan kinerja mereka yang berbanding lurus. Dalam sebuah uji coba, selama setahun, 850 pegawai yang dipilih acak dibagi jadi kelompok. Separuhnya dipekerjakan sesuai standar 9-5. Kurang lebih mereka akan menghabiskan hidupnya 45-50 jam per minggu di kantor. Sisanya diberikan pekerjaan yang lebih leluasa, mereka bisa mengatur kapan, bagaimana, dan di mana mereka bekerja. Kelompok ini dinamai STAR, akronim dari “support, transform, achieve, results”.

Kelompok STAR baru akan rapat dengan jadwal yang disesuaikan. Sebagian dari mereka bahkan ke kantor pukul 11 siang setelah mengantar anak ke sekolah atau pulang dari gym. Yang lainnya pulang dari kantor tengah hari, untuk bikin janji dengan dokternya. Jadwal itu tak pernah sama setiap harinya, asal pekerjaan mereka selesai. Dalam penelitian ini, mereka juga diwajibkan untuk lebih fokus pada hasil kerja, dan belajar untuk lebih mendukung dalam kehidupan personal pegawai.

Jelas sekali, program STAR mengubah pola pandang pegawai dan perusahaan. Phyllis Moen, salah satu peneliti dari Universitas Minnesota mengungkapkan seorang pegawai yang diperlakukan seperti orang dewasa yang paham kapan dan bagaimana menyelesaikan pekerjaannya, ternyata membuat orang-orang merasa lebih baik dalam bekerja. Namun, Erin Kelly, rekan peneliti Moen dari MIT sangsi kalau penelitian ini langsung bisa mengubah pola pandang seluruh pegawai dan perusahaan di dunia.

Ia mengatakan, bagi pegawai, melanggar aturan 9-5 yang dibuat perusahaan bisa jadi melekatkan mereka pada stigma pembangkang. Dan kemungkinan dipecat. Sementara banyak perusahaan yang masih berpikir kalau mengubah jam kerja akan berdampak pada penurunan produktivitas yang berpengaruh pada pendapatan.

“Pola kerja hari ini (aturan 9-5) didesain untuk para pekerja di pertengahan tahun 50. Ketika pria-pria berkerah putih dan biru punya istri yang mengurus rumah. Mustahil melakukan pola kerja begini, tanpa jadi sakit dan kewalahan,” kata Kelly.

Anda setuju?

Baca juga artikel terkait DUNIA KERJA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra