tirto.id - Usaha merebut simpatik suara pemilih muslim dari kalangan pondok pesantren dan madrasah kental terasa dalam debat perdana Pemilihan Gubernur (pilgub) 2018 yang berlangsung pukul 19.30 WIB di Dyandra Convention Center, Surabaya, Jawa Timur. Baik pasangan nomor urut 1 Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak maupun pasangan nomor urut 2 Syaifullah Yusuf-Puti Guntur Sukarno sama-sama melontarkan istilah yang akrab dengan kelompok santri.
Khofifah membuka sesi debat dengan usaha menampilkan identitas dirinya sebagai nahdliyin dan santri. Ia mengutip nama K.H Abdurrahman Wahid alias Gusdur dan satu kaidah usul fiqh yang menggambarkan pentingnya sinergi antara pemimpin dengan rakyatnya.
“Dulu Gus Dur sering menukil kaidah ushul fiqh tasharuful imam ala raiyyati manutun bil maslahah. Pemimpin yang baik adalah yang membelanjakan harta negaranya, APBD-nya untuk rakyat yang dipimpin,” kata Khofifah.
Gus Ipul seperti tak mau kalah. Ia pun berusaha menunjukkan identitas kesantriannya dengan menukil kaidah usul fiqh yang bermakna perlunya menjaga hal-hal lama tanpa mesti menolak hal-hal baru. “Jalan yang kami tempuh adalah perubahan berkelanjutan atau dalam bahasa pesantren al muhafadhotu ala qadimi as salih, wal akhdzu bi al jadidi aslah. Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik,” kata Gus Ipul saat pembukaan debat.
Saat sesi pembukaan, retorika bertele-tele Khofifah dan Gus Ipul membuat keduanya mesti menghentikan pemaparan karena batas waktu dua menit keburu habis. Khofifah hanya sempat menyampaikan visi belum misi. Sedangkan Gus Ipul hanya bisa menyelesaikan poin pertama misinya dari dua misi yang ingin ia sampaikan.
Kontestasi untuk menunjukkan keberpihakan kepada pemilih muslim dari kalangan pesantren dan madrasah berlanjut pada sesi tanya jawab yang disampaikan panelis. Baik pasangan Khofifah-Emil maupun Gus Ipul-Puti sama berusaha meyakinkan pemilih merekalah yang paling berpihak terhadap usaha memajukan madrasah diniyah (madin).
Gus Ipul misalnya, mengklaim kesuksesan program dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda) Jatim untuk madin selama dirinya menjabat wakil gubernur Jatim dua periode: 2009-2013 dan 2013-2017. “Selama ini sudah ada lebih dari 10 ribu guru madrasah diniyah yang disekolahkan S1, murid-muridnya juga disubsidi pemerintah Jatim,” klaim Gus Ipul.
Pentingnya keberpihakan kepada para ustaz dan santri di madin serta pesantren juga menjadi titik tekan Gus Ipul. Ia mengatakan dari data Kementerian Agama tahun 2016 di Jatim terdapat 26.000 madin dan 2,9 juta santri. Sayangnya saat Tirto berusaha menelusuri jumlah pasti madin di Jatim berdasarkan situs resmi Kementerian Agama: emispendis.kemenag.go.id tidak ditemukan data tahun 2016.
Data terbaru yang diunggah dalam situs tersebut adalah tahun pelajaran 2014/2015 dengan jumlah madin di Jatim sebanyak 24.525 untuk semua jenjang. Jumlah ini lebih rendah 1214 dari Jawa Barat yang menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan madin terbanyak di Indonesia.
Sementara jumlah santri madin di Jatim berdasarkan data tahun 2014/2015 sebanyak 1.704.116 orang. Jumlah ini pun lebih sedikit dari Jabar yang memiliki santri madin sebanyak 1.785.388 orang. Untuk jumlah pengajar madin, Jatim memiliki jumlah terbanyak dengan 154.838 orang. Mengungguli Jabar yang memiliki pengajar madin sebanyak 119.864 orang.
Khofifah yang akhirnya mendapat giliran bicara tidak sama sekali menyanggah data yang dikemukakan Gus Ipul. Namun, ia menjadikan klaim sukses pembagian Bosda yang disampaikan Gus Ipul sebagai amunisi melontarkan serangan. Menurutnya, program Bosda tidak bisa menjadi ukuran keberpihakan pemerintahan sebelumnya kepada madin. Ini karena Bosda tidak dapat menjangkau seluruh madin di Jatim dan harus dibagi dengan madrasah formal.
Sehingga, kata Khofifah, keberpihakan terhadap madin mesti ditunjukkan dengan memperjuangkan tambahan dana dari pemerintah pusat. “Jika saya diberi mandat, saya ingin mendiskusikan dengan pemerintah pusat bahwa BOS dari pusat bisa dipakai ke anak-anak madrasah,” kata mantan menteri sosial ini.
Selain itu, Khofifah juga berjanji memperjuangkan agar ijazah madin dapat diakui negara selayaknya ijazah lembaga pendidikan formal. Sehingga, alumni madin tetap dapat melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Sebuah hal yang menurutnya belum dilakukan pula oleh pemerintahan sebelumnya.
Gus Ipul mengamini pernyataan Khofifah. Menurutnya pemerintahan sebelumnya memang belum berhasil mengucurkan dana BOS dari pemerintah pusat untuk madin. Namun ini menurut Gus Ipul bukan berarti ia berdiam diri. Ia mengklaim pemerintahan Soekarwo dan dirinya sudah berusaha menghubungkan ke pemerintahan pusat, tapi belum berhasil. Sehingga, akan menjadi salah satu program prioritas di kepemimpinan selanjutnya.
Puti Guntur menguatkan pernyataan Gus Ipul dengan menyatakan pihaknya punya program bernama Madin Plus yang memberi perluasan bantuan kepada santri dan pengajar di madin dan penghafal al-Quran untuk mendapatkan penyetaraan pendidikan lanjutan secara formal. Menanggapi pernyataan Puti, Emil Dardak mempertanyakan komitmen cucu Soekarno tersebut dalam memperjuangkan madin selama menjadi anggota komisi pendidikan di DPR RI.
“Menurut kami keberadaan bosda sangat menentukan bagaimana madrasah diniyah ada. Bu Puti yang di Komisi 10 kenapa tidak memperjuangkan?" kata Emil sekaligus menutup sesi tersebut.
Upaya menonjolkan keberpihakan kepada santri juga muncul dari Khofifah saat menjawab pertanyaan panelis tentang pengentasan pengangguran di Jatim. Mantan menteri sosial ini menawarkan program pelatihan kerja untuk santri pesantren dan madin setelah lulus jenjang ulya (tinggi).
Sedangkan, Gus Ipul kembali menegaskan keislamannya saat menjawab pertanyaan panelis tentang cara pengentasan kekerasan seksual di Jatim. Menurutnya, pihaknya mempunyai program pendidikan akhlak untuk siswa dan santri serta pendidikan reproduksi dengan melibatkan ulama dan tokoh masyarakat.
Pada akhir sesi, Khofifah dan Gus Ipul sama-sama memberikan pernyataan penutup dengan berserah kepada Allah SWT atas segala hasil yang akan mereka terima di Pigub Jatim 2018.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti