Menuju konten utama

Riwayat Rajio tais dan Umur Panjang Orang Jepang

Rajio taisō berawal dari kampanye kesehatan untuk para buruh di Jepang. Perkembangannya dilambari kepentingan politik dan kolonialisme.

Riwayat Rajio tais dan Umur Panjang Orang Jepang
Rajio Taiso. foto/istockphoto

tirto.id - Selama dua dekade terakhir, Jepang sukses memukau dunia dengan rata-rata usia harapan hidup penduduk yang tinggi—di atas 80 tahun. Angka tersebut konsisten meningkat hingga sekarang mencapai kisaran 81 tahun untuk laki-laki dan 87 tahun untuk perempuan—jauh di atas rerata orang-orang Indonesia (laki-laki tak sampai 70 tahun, perempuan sekitar 73 tahun).

Selain punya angka usia harapan hidup super tinggi, Jepang termasuk salah satu negara dengan centenarian, orang yang diyakini sudah berusia 100 tahun atau lebih, terbanyak. Tahun lalu, jumlah centenarian Jepang mencapai rekor total 90.526 jiwa (peringkat kedua setelah Amerika Utara) dengan rasio per total populasi tertinggi di dunia.

Sudah banyak riset berusaha mengungkap faktor yang berkorelasi terhadap umur panjang orang Jepang dan masa tua mereka yang berkualitas. Mulai dari kaitannya dengan diet tradisional, kebiasaan berjalan kaki, tingkat partisipasi tinggi dalam kegiatan sosial, sampai faktor genetis.

Sementara menurut pandangan romantis-orientalis yang dilayangkan penulis kelahiran Spanyol, Héctor García dan Francesc Miralles, dalam buku self-help populer Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life (2017), alasan di balik umur panjang orang Jepang berkaitan dengan keyakinan mereka terhadap ikigai—semacam konsep abstrak yang bisa memberikan makna, tujuan, atau rasa puas dalam hidup.

García dan Miralles juga mengaitkan antara umur panjang dan kebiasan olahraga. Dari wawancara dengan lansia berusia 100 tahunan di Kota Ogimi di Prefektur Okinawa—daerah dengan konsentrasi centenarian tertinggi di dunia, García dan Miralles mendapati mereka berbagi rutinitas sehari-hari yang sama: rajio taisō atau bisa diterjemahkan “senam radio”.

Itu adalah senam ringan diiringi denting piano berdurasi sekitar tiga menit ini berisi 13 gerakan yang didominasi dengan ayunan mengangkat tangan dan bisa diikuti oleh mereka yang duduk di kursi roda. Anak-anak, pelajar SMP, karyawan kantoran dan staf lapangan, hingga lansia biasa melakukannya di taman kota, kantor, atau dalam kegiatan komunitas warga.

Musik pengiring senam diputar di jaringan radio milik raksasa media NHK sebanyak empat kali sehari selama hari kerja. Sementara itu, video senam juga disiarkan di saluran televisi sebanyak tiga kali sehari dan sekali pada akhir pekan.

Menurut sebuah survei pada 2021, nyaris 97 persen responden mengaku tahu rajio taisō, meski yang rutin mempraktikannya memang hanya sedikit—tak sampai 23 persen. Sementara itu menurut statistik terakhir pada 2003, sekira 27 juta orang Jepang melakukannya minimal dua kali seminggu.

Di balik itu semua, rajio taisō cenderung melekat pada kalangan lansia, terutama centenarian, karena praktiknya sudah berlangsung nyaris sepanjang hayat mereka.

Berawal dari Kampanye Kesehatan untuk Buruh

Riwayat rajio taisō tidak bisa dipisahkan dari sejarah sistem asuransi jiwa nasional di Jepang yang disebut kan’i hoken (asuransi dasar) atau disingkat kanpo. Manajemen kanpo dinaungi oleh Japan Post Insurance, anak perusahaan BUMN Japan Post yang diprivatisasi pada 2007.

Dilansir dari studi berjudul “Securing the Health of the Nation: Life Insurance, Labor, and Health Improvement in Interwar Japan” (2018) oleh Ryan Moran, jajaran pejabat dan intelektual kanpo awalnya membangun sistem asuransi tersebut pada 1916 untuk kalangan buruh pabrik yang hidup melarat dan kerap diasosiasikan dengan gerakan sosialis atau komunis yang aktif menuntut kesejahteraan pekerja.

Kanpo bertujuan menjamin kelangsungan hidup keluarga pekerja setelah pencari nafkah utama meninggal dunia. Ia juga diharapkan bisa mengikat kaum buruh agar tetap tunduk pada atasan, tidak memberontak, demo, atau mogok kerja (fenomena yang menjamur selama peralihan menuju abad ke-20) sehingga ketertiban umum senantiasa terjaga.

Seiring dengan itu, otoritas kanpo dihadapkan pada kenyataan pahit tentang pendeknya usia harapan hidup dan rendahnya kesadaran publik terhadap kesehatan dan sanitasi. Jepang sepanjang awal abad ke-20 memang diuji dengan serangkaian krisis ekonomi, tingkat pengangguran tinggi, dan kemiskinan akut.

Sementara itu, penyakit seperti kolera, tuberkulosis, tifus, flu Spanyol merajalela. Sampai 1920, usia harapan hidup penduduk Jepang stagnan bertengger di angka 40 tahun.

Dari sudut pandang bisnis asuransi jiwa, nasabah yang sakit-sakitan dan mati muda tentu merugikan keuangan perusahaan. Pasalnya, keluarga yang ditinggalkan harus terus disokong dengan uang pertanggungan asuransi. Maka otoritas kanpo mulai terpikir untuk mengampanyekan gaya hidup sehat agar publik Jepang menyadari pentingnya melakukan investasi kesehatan secara mandiri.

Kampanye kesehatan kanpo memang bertujuan mulia, tapi pada waktu sama juga tidak bebas dari kritik. Masih mengutip studi Moran, gerakan tersebut didukung kuat oleh Kementerian Komunikasi. Elite pejabatnya gencar menekankan isu kesehatan dan kebersihan, alih-alih kondisi kerja eksploitatif, juga longgarnya regulasi dan perlindungan buruh.

Hal itu, kritik Moran, otomatis mengalihkan tanggung jawab dari sistem sosio-ekonomi yang menindas ke pundak kaum pekerja itu sendiri.

Berjaya di Era Perang

Pada 1923, pejabat kanpo terinspirasi oleh rencana perusahaan asuransi besar Amerika Serikat, Metropolitan Life, untuk beriklan lewat kegiatan senam diiringi rekaman musik dari radio.

Tak lama kemudian, infrastruktur radio berhasil dikembangkan di Jepang. Otoritas kanpo kelak bekerja sama dengan korporat raksasa media NHK dan Kementerian Pendidikan untuk menyiarkan rajio taisō.

Eksekusinya sukses pada suatu pagi pada November 1928. Ia sengaja dijadwalkan bersamaan dengan penobatan Hirohito sebagai kaisar baru Jepang untuk merayakan momen sekaligus menciptakan momentum semangat hidup sehat di bawah kekaisaran baru.

Merunut kronologinya, rajio taisō kemudian populer di kalangan anak-anak setelah diinisiasi oleh seorang polisi Tokyo yang pada liburan musim panas 1930 menyetel radio di taman dan mengajak anak-anak setempat berolahraga. Kemudian pada 1932, dilangsungkanlah pertemuan rajio taisō tingkat nasional pertama yang menyedot sampai 26 juta peserta dari berbagai kalangan.

Praktik rajio taisō terus berjalan seiring militer Jepang berekspansi ke penjuru Asia. Selama itu, melansir tulisan Himari Semans di Unseen Japan, rajio taisō bukan lagi sekadar rutinitas warga Jepang agar sehat, melainkan juga sebuah perangkat pendukung kolonialisme di tanah jajahan.

Di Taiwan, misalnya, tentara diperintahkan menjalankan rajio taisō pada waktu sama persis dengan siaran radio di Jepang. Sampai-sampai, waktu di Taiwan dimajukan satu jam. Pada akhir 1930-an, ditemukan sedikitnya 200 dokumen tentang rajio taisō yang ditulis oleh para subjek koloni di Korea dan Daratan Cina.

Media propaganda perang juga kerap memberitakan tentang jurnalis-jurnalis di medan perang yang “merasa disemangati oleh musik rajio taisō”.

Masih dikutip dari Unseen Japan, rajio taisō kemudian turut menjadi bagian dari semacam ritual atau upacara pagi: dimulai dari menyanyikan lagu kebangsaan di hadapan bendera Jepang, membungkuk hormat ke arah kaisar, kemudian rajio taisō, diikuti seruan semangat “banzai” sebanyak tiga kali, dan diakhiri dengan tepuk tangan serentak.

Infografik Rajio Taiso

Infografik Rajio Taiso. tirto.id/Fuad

Masih Bertahan

Kubu Sekutu sudah tentu melirik sinis rajio taisō. Mereka memandang senam ini sebagai simbol kepatuhan absolut rakyat kecil terhadap militerisme dan Kekaisaran Jepang. Setelah Jepang kalah perang dan menjalani proses demiliterisasi serta demokratisasi di bawah Supreme Commander for the Allied Powers (SCAP) pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, siaran rajio taisō resmi dilarang.

Larangan tersebut berakhir seiring usainya pendudukan Amerika di Jepang pada pengujung April 1952, bersamaan dengan berlakunya Perjanjian San Francisco (perjanjian damai antara Jepang dan 48 negara Sekutu di bawah panji PBB). Persis sebulan kemudian, rajio taisō kembali mengudara dengan sejumlah perubahan atau penambahan musik dan gerakan sebagaimana dikenal sampai hari ini.

Setelah itu, rajio taisō mulai dipopulerkan di kantor-kantor untuk mendorong semangat karyawan sebelum bekerja di pagi hari atau untuk menyegarkan badan pada waktu sore.

Pada 1962, Federasi Rajio Taisō Nasional didirikan. Beberapa bulan kemudian, digelarlah kegiatan latihan bersama bertajuk Festival Rajio Taisō 10 Juta Umat. Festival inilah yang setiap beberapa dekade selalu dirayakan secara besar-besaran di Jepang.

Terlepas dari sejarahnya yang penuh warna, rajio taisō tetaplah satu kategori olahraga yang bermanfaat bagi kesehatan sehingga masuk akal jika kerap dikaitkan dengan umur panjang orang Jepang. Sampai hari ini, ia dilestarikan dan terus “hidup” dalam keseharian masyarakat modern.

Anak-anak didorong untuk melakukannya terutama pada saat liburan musim panas. Agar mereka semakin berminat, otoritas kanpo rutin menerbitkan kartu partisipasi berdesain gambar lucu. Sejak 2017, langkah serupa diikuti pula oleh gerai makanan cepat saji McDonalds yang merilis kartu berbentuk wadah kentang gorengnya yang legendaris.

Ikon-ikon kartun populer, seperti Pokemon atau Doraemon, ikut pula memopulerkan rajio taisō, termasuk karakter Donal Bebek dalam satu pementasan di Disneysea Tokyo.

Sementara itu di kalangan lansia, rajio taisō lazim digiatkan di panti jompo dan diadvokasikan oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan liputan South China Morning Post pada puncak pandemi tahun 2021 silam, warga Jepang tetap antusias mengikuti rajio taisō: dari kalangan lansia di taman kota, pekerja di lapangan proyek konstruksi, sampai karyawan WFH yang difasilitasi oleh kantor melakukannya secara daring.

Rajio taisō bahkan terdengar gaungnya sampai ke luar negeri berkat organisasi-organisasi persahabatan. Misalnya, yayasan amal kerja sama Inggris-Jepang The Japan Society di London atau Japan-America Society of Houston. Praktiknya juga populer di kawasan Amerika Latin yang menjadi rumah bagi banyak warga keturunan Jepang, terutama Brasil.

Baca juga artikel terkait SENAM atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Olahraga
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Fadrik Aziz Firdausi