tirto.id - Seorang sahabat pernah melontarkan pertanyaan, pekerjaan apa yang paling banyak "makan hati"? Teman lainnya menjawab dengan spontan ialah guru. Si empunya pertanyaan tak mengelak jawaban itu tapi ia punya jawaban yang paling tepat yakni pekerjaan perawat.
Di kehidupan nyata, saat sarapan di Rumah Sakit tak sesuai selera, pelayanan administrasi lamban, dokter jaga telat datang, maka yang menerima limpahan kemarahan dan keluhan pasien, siapa lagi kalau bukan perawat. Selain mereka harus "makan hati", seorang perawat yang nahas nasibnya bisa mengalami kejadian yang tak pernah terbayangkan.
Sepekan lalu, seorang perawat di Holon, Tel Aviv, Israel tewas dibakar hidup-hidup oleh pasien karena tak puas dengan pelayanan yang diterimanya. Tova Kararo, sebelumnya terlibat adu mulut dengan si pasien, sampai akhirnya pasiennya kesal dan membakar Kararo yang sedang tidur pulas. Di Jepang, seorang perawat tewas ditusuk oleh orang suruhan pasiennya karena operasi plastik wajah yang gagal.
Perawat, sebagai asisten dokter seringkali mendapatkan kekerasan secara fisik maupun verbal. Bahkan untuk kesalahan yang bukan tanggung jawabnya. Perawat adalah orang yang paling sering dilibatkan dalam beragam perawatan pasien. Sehingga mereka lebih memiliki risiko pengalaman tindakan perilaku kekerasan dari pasien atau keluarganya. Menurut Gillespie Gates dalam penelitiannya “Violence Against Nurses and its impact on stress and productivity” risiko tindakan kekerasan pada perawat empat kali lebih besar saat di IGD/UGD.
Biasanya selain kekerasan dari pasien, para perawat juga kerapkali mendapatkan kekerasan dari dokter. Seperti yang terjadi Bandar Lampung sekitar lima tahun lalu, seorang perawat dipukul oleh salah seorang dokter hingga hidungnya luka. Seorang perawat juga pernah harus menerima pukulan dari seorang dokter di kamar bedah.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Michelle Christlevica pada perawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Advent (RSA) Bandung yang dimuat pada Jurnal Skolastik Keperawatan edisi Januari-Juni 2016 mengungkapkan pelaku kekerasan terhadap perawat di IGD RSA Bandung selain pasien juga keluarga pasien, dan dokter.
Semua responden penelitian tersebut mengatakan penyebab kekerasan yang terjadi di IGD dikarenakan ketidakpuasan dari pasien. Seperti merasa tersinggung, perawat terlalu banyak bertanya, atau pelayanan yang lama. Sedang, penyebab kekerasan oleh dokter dikarenakan ketidakpuasan seperti penjelasan yang kurang, perawat merasa tidak adil, prosedur yang dilakukan perawat sangat lama, kesibukan yang berlebihan, dan bercanda yang berlebihan.
Penelitian Michelle juga mengungkapkan beragam perlakuan kasar serta kekerasan verbal yang didapat para perawat pada akhirnya menimbulkan dampak intelektual, seperti bertambahnya beban pikiran, kurang fokus, hingga membuat enggan untuk menjalankan tugas. Dua dari enam responden penelitian itu mengatakan tindak kekerasan menimbulkan dampak sosial, menjadi pendiam, dampak fisiologis: capek fisik, tidak bisa tidur. Serta dampak
afektif, yakni perasaan tidak nyaman dan emosional.
Penelitian Veny Elita terhadap 61 responden di RSJ Tampan Pekanbaru juga menggambarkan hal yang tak jauh berbeda. Terjadi tindakan perilaku kekerasan berupa ancaman fisik kepada perawat sebanyak 79%, penghinaan kepada perawat 77%, dan kekerasan verbal sebanyak 70%. Lebih dari separuh responden, yakni 51% mengalami kekerasan fisik yang berakibat cedera ringan. Sebagian kecil responden, 20% pernah mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan cedera serius.
Perawat wanita lebih sering mengalami gangguan yang berhubungan dengan seksual lebih banyak jumlahnya yaitu 10 orang (16,4%) dibandingkan perawat laki-laki sebanyak 3 orang (4,92%). Sementara perawat berumur 31-50 tahun, yakni sebanyak 7 orang paling banyak mengalami ancaman (16,2%).
Para perawat punya risiko mengalami perilaku kekerasan verbal maupun serangan secara fisik. Akar dari masalah ini salah satunya bisa dipicu dari persepsi publik terhadap profesi seorang perawat pada umumnya.
“Seringkali pasien komplain masalah pelayanan dokter ke perawat, padahal saat dokternya datang, mereka diam saja. Tak berani bicara," kata Harif Fadhillah, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) kepada Tirto
Persepsi masyarakat menganggap perawat lebih rendah dari dokter. Sehingga, pasien atau keluarga atau lainnya merasa berhak untuk melakukan kekerasan kepada perawat. “Padahal, terkadang itu bukan salah kita, tapi memang sistem atau pelayanan dokternya yang kurang. Kita dianggap pembantu dokter jadi bisa seenaknya marah-marah.”
Ia membenarkan bahwa kekerasan tak hanya didapat perawat dari pasien, tapi juga dokter. Beberapa kasus di Indonesia malah melibatkan dokter sebagai pelaku kekerasan fisik kepada perawat. “Di Indonesia belum ada kasus hingga hilangnya nyawa seorang perawat. Tapi kekerasan fisik sudah sering kita terima,” katanya.
Harif memperkirakan hanya kurang dari 30% perawat yang pada akhirnya melaporkan masalah mereka. Kebanyakan memilih untuk mengalah karena tak mau cari ribut. “Sebagai perlindungan kepada institusi juga, kalau lapor-lapor bisa dianggap memberikan citra buruk pada rumah sakit,” katanya.
Kondisi ini tentu menjadi dilema bagi seorang perawat. Kesadaran saling menghargai peran, sudah sepantasnya dilakukan pelbagai pihak termasuk pasien dan keluarganya hingga dokter. Namun, pasien tentu juga tak mau menghadapi perawat yang jutek atau tak ramah, apalagi tak profesional.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra