tirto.id - Menjelang Tahun Baru 2017, Bambang Tri Mulyono diciduk oleh polisi setelah ia menerbitkan secara indie bukunya: Jokowi Undercover (2016). Dalam buku itu, Bambang Tri mengulas bahwanya Sudjiatmi, ibunda Presiden Joko Widodo, dulunya adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Lalu, Widjiatno Mihardjo, ayah Jokowi, ditulis sebagai Komandan Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang dikomandoi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bambang juga menuduh presiden memalsukan data dirinya ketika mencalonkan diri sebagai pejabat negara, selain menyebut Jokowi sebagai keturunan Tionghoa.
Michael Bimo, yang masih satu keluarga dengan Jokowi, menyebut isi buku Bambang adalah fitnah dan melaporkannya ke polisi. Tak hanya difitnah, menurutnya nama baik presiden juga dicemarkan. Dalam suasana fobia terhadap PKI dan komunisme, disebut keturunan PKI adalah luar biasa di negeri ini.
Tak hanya Michael Bimo, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono juga merasa namanya dicatut dan menurut Hendropriyono, hal-hal yang ditulis Bambang Tri tentang dirinya tidak sesuai fakta.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol Rikwanto seperti dilansir Antara (31/12/2016), “motif tersangka sebagai penulis hanya didasarkan atas keinginan untuk membuat buku yang menarik perhatian masyarakat.”
Bambang Tri terjerat pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 soal menunjukkan kebencian atau rasa benci berdasarkan diskriminasi atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Serangan terhadap presiden lewat buku tak hanya ada di masa rezim ini. Saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat presiden, (mendiang) George Junus Aditjondro pada 2010 menulis Membongkar Gurita Cikeas Di Balik Skandal Bank Century. Namun, ia berbeda dengan buku Jokowi Undercover. Terlepas dari perdebatan ihwal metode, George Aditjondro menyusun bukunya berdasarkan penelitian atas kasus Bank Century.
Ketika itu, George mengklaim memakai data-data yang terverifikasi untuk menulis bukunya itu, tak ditahan seperti Bambang Tri. Bukunya bahkan laris. George tak berurusan dengan polisi dan terancam dijebloskan ke penjara.
Buku itu dijawab oleh Ramadhan Pohan, yang dikenal sebagai pendukung SBY, lewat bukunya Cikeas Menjawab yang dirilis tak lama setelah Gurita Cikeas. Cikeas Menjawab ditulis oleh penulis bernama pena Garda Maeswara. Buku ini dianggap buku tandingan Gurita Cikeas.
Tentu saja George Aditjondro yang memang dikenal sebagai peneliti dan aktivis tak bisa disamakan dengan Bambang Tri. Menurut Rikwanto, Bambang Tri “tidak memiliki dokumen pendukung sama sekali terkait tuduhan pemalsuan data Bapak Jokowi saat pengajuan sebagai calon presiden di KPU Pusat.”
Nasib Bambang Tri terancam mirip dengan nasib pemimpin redaksi majalah Pop, Rey Hanintyo, saat Orde Baru berkuasa. Majalah hiburan Pop edisi Oktober 1974, dianggap membuat heboh Indonesia dengan merilis artikel berjudul: Teka-teki Seputar Silsilah Suharto.
Dalam artikel itu, disebutkan bahwa Soeharto merupakan anak haram Raden Rio Padmodipuro, keturunan Sultan Hamengku Buwono II. Kemudian, Harto kecil dan ibunya dititipkan kepada orang desa yang bernama Kertorejo, sebab Rio ingin menikah lagi dengan putri seorang wedana yang berpengaruh.
Dituduh anak haram, Soeharto pun murka.
"Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi, tapi juga keluarga dan leluhur saya,” kata Soeharto pada wartawan yang diundangnya di Bina Graha tepat pada Hari Sumpah Pemuda 1974. Ketika itu, Soeharto didampingi Ali Said, Harmoko, Pak Besut, dan O.G. Roeder. Nama terakhir adalah penulis salah satu biografi Soeharto: The Smiling General.
Pada pertemuan itu, Soeharto menegaskan “… karena kebetulan dewasa ini saya memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia sebagai presiden mandataris, mau tidak mau saya harus segera menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan mengajukan suatu pembuktian yang benar-benar dapat sebagai bukti, kalau saya ini adalah anak yang lahir di Desa Kemusuk dan memang anaknya petani dari Desa Kemusuk.”
“Kalau timbul pro dan kontra, dengan sendirinya masing-masing saling mempertahankan pendapatnya sendiri, bisa timbul perselisihan, kesempatan yang baik untuk subversi dalam melaksanakan gerpol-nya, dalam meningkatkan terganggunya stabilitas nasional, di mana stabilitas nasional sangat kita butuhkan dalam melaksanakan pembangunan,” lanjutnya.
Sementara Rey dibui, Soeharto beternak buku biografi. Buku-buku biografi yang kemudian terbit ini jadi semacam konter “ulasan” majalah Pop dan menegaskan lagi bahwa ia anak petani. Bukan priyayi.
Silsilah Presiden Soeharto Anak Petani terbitan Grip dirilis pada 1974. Buku setebal 44 halaman yang disusun Suryo Hadi itu ditulis berdasarkan penjelasan langsung di Soeharto, seperti disampaikan oleh Soeharto di Bina Graha, 28 Oktober 1974, 11.30 – 13.35 itu. Ia juga ditambahi dengan keterangan dari Probosutedjo, adik Soeharto.
Beberapa tahun kemudian, ada buku biografi lain. Orang dekat Soeharto, G. Dwipayana, mengajak Ramadhan KH untuk menjadi narator dari buku autobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Adapun edisi Indonesia The Smiling General dijuduli Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1990). Lagi-lagi, seperti bisa Anda baca dari judulnya, soal Soeharto yang adalah anak petani.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani