tirto.id - Sejak tahun 2007 jumlah produksi minyak mentah Indonesia terus menurun sampai tahun 2016 ini dari 800.000 barel per hari menjadi 480.000 barrel per hari pada tahun 2020. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 guna mengantisipasi kecenderungan penurunan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di tanah air.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, seperti dikutip dari setkab.go.id Senin (26/9/2016) Menkeu mengungkapkan saat ini kegiatan eksplorasi minyak di Indonesia masih kurang kompetitif. Bahkan seperti sudah disebutkan di atas, pada saat harga minyak sangat tinggi tingkat produksi minyak di Indonesia stagnan.
“Jadi ada sesuatu yang menimbulkan pertanyaan mengenai kebijakan dari sisi insentif maupun bagaimana pemerintah memperlakukan kegiatan eksplorasi di industry hulu migas ini,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers bersama Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut B. Pandjaitan, di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/9/2016) lalu.
Menkeu membeberkan pemerintah telah melakukan beberapa kajian tentang PP Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kajian ini dimaksudkan untuk menciptakan suatu lingkungan yang kompetitif, khususnya dalam kegiatan ekplorasi dan eksploitasi migas.
“Revisi PP ini bertujuan untuk meningkatkan investasi migas yang bisa menggunakan sumber daya secara baik, secara efisien dan secara adil dan ini yang perlu diformulasikan dalam revisi PP 79 tahun 2010,” jelas Menkeu.
Secara rinci Menkeu menjelaskan faktor-faktor yang menjadikan PP Nomor 79 Tahun 2010 tersebut harus direvisi agar iklim investasi lebih kompetitif bagi investor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Kontraktor membandingkan dengan Assume and Discharge
2. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (UU Migas), untuk meningkatkan keekonomian proyek migas, Pemerintah memberikan insentif assume and discharge, yaitu Pemerintah akan mengganti pajak tidak langsung (PPN, PBB, Bea Masuk, dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) yang dibayarkan oleh Kontraktor melalui mekanisme reimbursement
3. Berlakunya UU Migas dan PP Nomor 79 Tahun 2010, insentif assume and discharge telah berubah menjadi mekanisme cost recovery, dimana pajak tidak langsung (PPN, PBB, Bea Masuk, dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) yang dibayarkan oleh Kontaktor sebagai biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovarable). Hal tersebut menjadi kurang menarik bagi investor
4. Beban pajak pada Masa Kegiatan Eksplorasi
5. Dengan berlakunya PP 79 tahun 2010, dimana tidak ada insentif assume and discharge, Kontraktor diperhadapkan dengan pajak-pajak yang dibayar pada kegiatan eksplorasi antara lain Pajak Pertambahan Nilai dan PBB.
6. Dengan success rate penemuan migas yang rendah (<40%), hal tersebut sangat memberatkan kontraktor yang harus menanggung biaya pajak selama tahap eksplorasi apabila gagal menemukan migas yang mempunyai keekonomian;
7. Keekonomian proyek semakin menurun karena proyek pengembangan migas makin sulit.
8. Saat ini, tantangan kegiatan eksplorasi dan pengembangan migas semakin sulit di mana arah pencarian penemuan migas lebih kepada pencarian di laut dalam (deep water) yang membutuhkan teknologi yang besar serta pengembangan sumur-sumur yang secara keekonomian tidak menarik namun harus dikembangkan (marginal field).
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh