tirto.id - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI, Mohamad Nasir beberapa waktu lalu, sempat mewanti-wanti rektor bisa diberi sanksi bila mengerahkan mahasiswa untuk demo. Dia mengatakan demikian setelah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Kamis (26/9/2019).
"Kalau dia mengerahkan [mahasiswa untuk demo], ya kami beri sanksi keras. Ada dua, bisa dalam hal ini peringatan: SP1 SP2," ujar Nasir. Dia mempertegas kembali pernyataan ini di acara perpisahan dengan Komisi VII DPR RI di Shangri-La, Jakarta, pada hari yang sama.
Meskipun pernyataan tersebut kemudian direvisi olehnya dan mengatakan sejauh ini tidak ada sanksi untuk rektor dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memperbolehkan mahasiswanya menggelar aksi demonstrasi.
“Saya rasa PTN enggak ada sanksi. Saya monitor satu per satu. Yang Aceh juga sudah laporan, aman. Bukan perintah rektorat,” kata Nasir di sela-sela kunjungan kerja di Ngawi, Jawa Tengah, Jumat (28/9/2019).
Menanggapi hal tersebut Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY), David Effendi mengatakan imbauan yang dikeluarkan oleh Menristekdikti, menurutnya justru menyempurnakan label bahwa rezim Jokowi adalah soft otoritarian.
Ia juga mengatakan harus dilawan pikiran tidak adil dari Menristekdikti terkait aksi yang dilakukan mahasiswa dan kondisi yang terjadi saat ini.
“Saya mulai tak membaca imbauan pemerintah, wong mosi tak percaya kok baca-baca teror administrasi. Pak Menteri, bapak ini menyempurnakan label bahwa rezim Jokowi adalah soft otoritarian, atau istilah tukang tambal ban rezim otoriter nanggung. Sebagai menteri produk reformasi kok anti gerakan reformasi,” ujar David.
Dosen UMY lainnya, Fajar Junaedi, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMY juga mengatakan imbauan yang dikeluarkan Menristekdikti Mohammad Nasir beberapa waktu lalu jelas tidak konstitusional sebab UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
“Menristekdikti mungkin lupa bahwa salah satu darma perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat. Keikutsertaan dosen harus dipahami sebagai pengabdian masyarakat yang dilakukan dosen. Apalagi kalangan perguruan tinggi, sangat paham bahwa kebijakan Menristekdikti tidak sejalan dengan posisi kampus sebagai agent of social change,” ujar Junaedi.
Editor: Agung DH