tirto.id - Pemahaman kultur hak asasi manusia (HAM) pada masyarakat yang rendah tercermin dari kualitas pasangan calon Capres-Cawapres Pilpres 2019.
Peneliti kultur hak asasi manusia Indonesia, Robertus Robert mengatakan, perdebatan seputar HAM pada debat perdana pilpres 2019 yang tidak mendalam dinilai sebagai hal wajar, karena masyarakat juga belum banyak yang paham.
Dari survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) pemahaman masyarakat soal HAM masih sangat rendah. Hal itu dapat dilihat dari debat Pilpres 2019 putaran perdana.
Robert mencatatkan, hasil survei yang mereka temukan menunjukan sebagian besar orang tidak tahu soal tugas Komnas HAM.
Secara spesifik, sebagian besar dari 2.000 responden yang disurvei, setuju HAM tidak mengakomodir kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
“Jangan heran dalam debat antar kandidat presiden kemarin kering kerontang karena dia datang dengan mewakili kondisi antropologi masyarakat Indonesia. Jadi HAM dalam diskursus dua calon presiden itu ya tanpa fundamentalisme HAM. Tanpa pendasaran normatif, tanpa disertai pengakuan hak individual,” kata Robert di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Lebih lanjut, dari hasil survei yang didapat Robert memotret masyarakat Indonesia cenderung memahami HAM secara tidak menyeluruh dan kontradiktif.
Mereka memahami hak hidup, tapi sebagian juga mendukung adanya hukuman mati. Mereka juga tidak menyetujui kebebasan individu secara menyeluruh, misalnya pernikahan beda agama.
“Itulah gambaran umum HAM di Indonesia. Yang bisa kita simpulkan adalah pengenalan HAM di Indonesia cukup baik, cuma pendasaran normatifnya itu lemah,” tegasnya.
Dalam debat perdana Pilpres 2019, hanya Jokowi yang menyinggung kasus penyelesaian HAM berat di masa lalu. Sedangkan, Prabowo tak memasukan agenda HAM ke dalam visi-misinya.
Wakil Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menyebut Jokowi tak menjelaskan dengan gamblang alasan dia gagal memenuhi janji Nawacita untuk tuntaskan masalah HAM berat di masa lalu.
“Tidak secara jelas dikatakan apa faktor penyebab kemandekan dan berbelitnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu itu,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto.
Sedangkan, Prabowo menganggap masalah apa pun termasuk penegakan hukum, solusinya adalah memperbesar aparat penegak hukuk mulai hakim, jaksa, hingga polisi.
Wahyu menilai tak ada langkah konkret dari perkataan kedua paslon ini.
“Apa yang disampaikan Prabowo itu sifatnya sloganistik dan abstrak. Kita sulit untuk mengukur sebenarnya apa sih langkah strategis dan konkret yang akan dilakukan,” ujar Wahyudi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Nur Hidayah Perwitasari