Menuju konten utama

Rela Rugi Pemilik Kontrakan demi Saling Bantu Saat Pandemi Corona

Gratiskan biaya sewa hingga memberikan makan ke anak kos merupakan cara-cara yang dilakukan pemilik kontrakan untuk meringankan beban penyewa saat pandemi COVID-19.

Rela Rugi Pemilik Kontrakan demi Saling Bantu Saat Pandemi Corona
Penghuni rusun beraktivitas di kamar miliknya di Rusunawa Penjaringan Jakarta, Senin (24/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

tirto.id - Suatu malam pada pertengahan April lalu, Endang Yuliastuti sedang beristirahat santai dan bercengkerama bersama keluarga di rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara pintu rumah diketuk seseorang.

Yang mengetuk pintu adalah salah seorang ibu yang menjadi penghuni kontrakan Endang. Usaha rumah kontrakan Endang terletak di daerah Ciledug, Kota Tangerang. Beberapa keluarga mengontrak di tempatnya.

Malam itu ibu penghuni kontrakan tersebut bermaksud membayar sewa bulanan. Apa yang dilakukan Endang? Dia malah menggelengkan kepala sembari tersenyum dan berkata, "enggak usah, bu. Sampai bulan Juli enggak usah bayar."

Ibu penghuni kontrakan, tentu saja, kaget. Pandangan yang awalnya melotot berubah menjadi tangis air mata. Keadaan menjadi haru. Ia berulang kali berterima kasih kepada Endang atas keringanan biaya sewa itu.

Ibu itu lalu pergi, dan giliran Endang yang menangis malam itu. Ia tahu betul kalau kebijakan yang diambilnya sedikit banyak meringankan beban dua keluarga yang menghuni kontrakan miliknya.

Saat Indonesia dihantam pandemi COVID-19, Endang menyaksikan bagaimana orang-orang di kota seperti Jakarta dan sekitarnya mulai kesulitan membayar biaya sewa tempat tinggal. Ia juga membaca kabar tak enak itu dari pemberitaan media massa. Semua disebabkan perekonomian yang menurun dihantam pagebluk, tak hanya perekonomian negara tetapi juga masyarakatnya.

Ia teringat dua keluarga yang menyewa kontrakan miliknya itu. Dua keluarga itu masing-masing memiliki anak kecil. Keluarga pintu pertama mempunyai satu anak, sementara keluarga pintu kedua memiliki dua anak. Dua keluarga itu menyambung hidup dengan mengandalkan penghasilan dari pekerjaan lepas. Namun COVID-19 membikin keuangan mereka goyang tak keruan.

Inilah alasan Endang mengambil kebijakan yang tak pernah diduga para penghuni: menggratiskan biaya sewa kontrakan sejak Maret hingga Juli 2020.

"Kalau misalnya Juli [COVID-19] belum selesai. Ya [digratiskan] sampai selesai," cerita Endang kepada reporter Tirto, Selasa (19/5/2020) malam.

Bagi Endang, apa yang dilakukannya ini adalah bentuk berbagi ke orang-orang yang tidak lebih beruntung. Toh para penghuni kontrakan itu selama ini sudah berkontribusi pada pendapatan Endang selama ini.

Endang sama sekali tak menghitung kerugian yang akan ia terima karena kebijakan ini. Pekerjaannya sebagai guru PNS dirasa cukup untuk menghidupi keluarga.

Tak cukup sampai di situ, Endang juga berusaha untuk menularkan 'virus' kebaikan kepada pemilihan rumah kontrakan dan kos-kosan lain, agar meringankan beban para penyewa. Barangkali tidak bisa seratus persen, namun menurut Endang, tak ada salahnya jika biaya dikorting.

"Kalau bantuan pangan mungkin bisa dibantu pemerintah. Tapi kalau tempat tinggal, kan tidak," katanya.

Ringankan Beban Saat Ekonomi Semakin Lemah

Keringanan biaya sewa tempat tinggal seperti yang diberikan Endang tentu saja sedikit agak menghibur penyewa rumah kontrakan atau kos-kosan.

Tak hanya keluarga atau perantau yang ada di ibukota Jakarta saja, mahasiswa yang tinggal di kota-kota lain pun merasakan bagaimana keringanan biaya sewa dapat membantu hidup sulit di tengah teror pandemi COVID-19 saat ini.

Jahabidz Marha, mahasiswi tingkat akhir Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, ikut merasakan kebaikan hati empunya kos. Ia mendapat potongan biaya sewa kos hingga 50 persen. Bibit, sapaan akrab Jahabidz, mengatakan kebijakan itu sudah berjalan selama dua bulan terakhir: April dan Mei.

"Harga bulanan kosku Rp300 ribu, jadi cuma bayar Rp150 ribu," kata Bibit kepada reporter Tirto, Selasa (19/5/2020). "Alasan si pemilik kos, karena banyak yang pulang dan enggak berada di kos. Selain itu juga kasihan katanya selama pandemi ini bagi yang terjebak di kos, masak mau ditarikin uang kos full?"

Perempuan asal Ponorogo ini merupakan salah satu contoh perantau yang memilih tetap menetap di Surakarta selama masa karantina/PSBB, ketimbang pulang kampung. Selain karena ingin fokus menyelesaikan skripsi, ia juga ingin tetap menjaga kesehatan untuk keluarganya--sesuai anjuran pemerintah melarang mudik.

Rumah kos bernama Kos Cendrawasih itu terletak di daerah Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Terdapat 17 kamar penghuni. Selama masa pandemi hanya tersisa enam orang penghuni, termasuk Bibit.

Kata Bibit, empunya kos bisa saja mengeluarkan kebijakan menggratiskan biaya sewa, namun 50 persen biaya sewa yang tetap ditagih itu memang murni untuk biaya perawatan kos, sehingga tak ada logika keuntungan yang diambil.

"Seperti kemarin kejadian korslet, tetap butuh uang buat bayar tukang. Makanya anak kos tetep bayar meskipun enggak full. Pertimbangannya memang karena perawatan kos, dan kemarin ada fasilitas baru wifi untuk warga kos," katanya.

Mahasiswi UNS lainnya, Putri Ari Suryani, juga merasakan keringanan serupa. Kendati tak mendapat potongan biaya sewa, namun perempuan asal Wonogiri ini merasakan beberapa keringanan lainnya yang diberikan empunya kos.

Kosannya yang berada di daerah Gendingan Jebres, Surakarta, itu memberi keringanan dengan menggratiskan biaya sewa kos untuk satu bulan, yang bebas dipilih penghuni kos untuk bulan apa saja.

"Saya rencananya mau pakai jatah gratis satu bulan itu untuk bulan Mei ini," kata Putri.

Kos yang berisi 14 kamar itu, kata Putri, juga membebaskan biaya listrik dan potongan biaya wifi 50 persen. Katanya, ragam keringanan ini merupakan bentuk kepedulian pemilik kos kepada para penghuni rantauan.

Bentuk kepedulian para pemilik kos nyatanya tak hanya perkara keringanan biaya sewa. Ada pula dalam bentuk lain. Salah satunyadirasakan oleh Rifai Asyhari, pria asal Wonosobo, Jawa Tengah. Ia seorang pekerja lepas di bidang penerbitan buku di Yogyakarta.

Pemilik kosnya yang berada di Nologaten, Depok, Sleman, memang tak memberikan potongan biaya sewa. Namun pemilik kos berbaik hati memberikan makan cuma-cuma.

"Ibu kos lebih baik suka kasih makanan karena tahu kondisi COVID-19. Makanan untuk buka dan sahur sering kasih," kata Rifai.

Bahkan pemilik kos juga rutin memberikan beras hasil panennya kepada semua penghuni kos, termasuk membebaskan untuk menggunakan dapur bila ingin memasak. Menurut Rifai, kebijakan seperti ini sangat membantu penghuni kos macam dirinya sebagai pekerja lepas yang sulit jika ingin pulang kampung.

Katanya, kebijakan seperti itu harus menjadi solusi alternatif bagi para penghuni kos di Yogyakarta di tengah terhimpitnya ekonomi akibat pandemi: kena PHK, honor tak seberapa, UMR yang rendah, hingga beban mental karena virus yang tak menentu kapan berakhirnya pandemi COVID-19 ini.

Pengontrak Juga Harus Dilindungi

Masih banyak warga Jakarta atau di kota-kota lain yang terbebani biaya sewa rumah per bulan. Dan biaya sewa rumah ini yang sayangnya tidak masuk ke dalam bantuan sosial yang diberikan pemerintah.

Direktur RUJAK Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk merespons kasus pekerja informal yang terbebani biaya sewa tempat tinggal. Salah satunya mempersiapkan mekanisme jaring pengaman yang dapat mencegah masyarakat rentan terusir dari rumah sewa, kamar kos, dan sejenisnya yang dimiliki oleh partikelir, termasuk mekanisme yang memungkinkan penangguhan dan penghapusan biaya sewa/kontrakan.

"Pemerintah juga bisa berkolaborasi berbagai elemen kelompok masyarakat sipil setempat, melakukan pendataan dan menerima pelaporan terhadap penduduk yang terusir dari tempat tinggalnya dengan alasan apa pun," kata Elisa saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/5/2020).

Elisa juga mendesak pemerintah untuk memastikan tidak ada kegiatan yang mengarah pada penggusuran paksa baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Menurut Elisa, semua dukungan, fasilitas, dan subsidi pemerintah terkait pemenuhan hak atas hunian layak bagi warga rentan dan berpenghasilan rendah ini bersifat universal dan tidak hanya berdasarkan dokumen kependudukan belaka, namun juga harus memperhatikan domisili orang terdampak.

Semua hal tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah, kata Elisa, karena pengontrak kerap masih dipandang sebagai pendatang dan kadang dianggap warga kelas dua di mata warga asli Jakarta atau kota-kota lain. Akibatnya, pengontrak atau penghuni kos ini kerap tak masuk dalam data penerima bansos.

Pemerintah, tegas Elisa tak bisa diam saja tanpa adanya solusi yang bisa memberikan angin segar bagi kaum pengontrak atau penghuni kos ini.

"Mereka [pemerintah] cuma kutip pajak, tapi tidak ada perlindungan terhadap pengontrak, maupun subsidi atau aturan terhadap pemilik kontrakan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait EFEK PANDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi & Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto