tirto.id - Musim semi menyapa Rusvita Nur saat kali pertama menginjakkan kaki di Korea Selatan (Korsel). Suhunya waktu itu di bawah 10 derajat. Belum apa-apa, tubuh Vita, harus langsung beradaptasi dengan tempat baru. ia yang datang dari negara tropis, tentu saja kaget. Kala itu awal Maret 2015, ia terpilih mewakili Indonesia untuk sebuah program fellowship di Korsel.
Pengalaman belajar di negeri orang tentu saja sangat dinikmati Vita. Di sana ia belajar banyak hal, salah satunya tentang toleransi kepada minoritas. Meski perawakan sebagian orang Indonesia tidak terlalu jauh beda dengan orang Korea, tapi kebanyakan bangsa negeri ginseng itu tak kenal Muslim atau Islam. Dari data sensus 2010 Korea Selatan yang dimiliki Pew Research Centre, sebanyak 46 persen penduduk di sana memang tak memiliki agama. Angka ini konon bertambah menjadi 56 persen pada 2015.
Agama-agama populer di Indonesia semisal Kristen, Budha, Hindu, dan Islam otomatis adalah minoritas di negeri yang terkenal lewat industri hiburan. Menurut sensus 2010, agama yang punya pengikut terbesar di Korea Selatan adalah Kristen dengan 29 persen, dan yang kedua adalah Budha dengan 23 persen. Hindu, Yahudi, Islam, dan agama-agama lokal lainnya masing-masing hanya berjumlah 1 persen dari total penduduk Korsel.
Jumlah ini tentu sangat berpengaruh pada Vita, yang merupakan seorang Muslim. Bila di Indonesia, ia termasuk mayoritas, maka selama di sana, Vita menjadi minoritas. Sangat wajar bila kebiasaan-kebiasaan seorang Muslim tidak terlalu diketahui oleh warga Korsel, misalnya soal salat lima waktu dan lainnya.
Saat tinggal di Sanbon Provinsi Gyeonggi, asrama yang ditempati Vita tak punya musala apalagi masjid. Hal ini membuatnya harus memanfaatkan ruang kelas sebagai tempat salat. Di awal-awal, semua orang memperhatikan Vita dengan aneh, termasuk pelajar asing dari negara lain. Untungnya, gurunya kala itu memperbolehkan melakukan salat di waktu-waktu istirahat dan menyampaikan kepada yang lain untuk memaklumi cara ibadahnya.
“Ya mau gimana lagi, kan, enggak ada tempat lain,” ungkap Vita.
Islam yang minoritas dan warga Korea Selatan yang cenderung eksklusif dan mencintai kultur negerinya sendiri, membuat mereka jadi punya pengetahuan terbatas tentang Muslim. Alhasil, teman-teman belajar Vita, menjadikan ia dan beberapa teman Muslimnya dari negeri lain seperti Sudan, dan Kazakhtan sempat bertanya banyak hal tentang Islam.
Dari mulai “kenapa orang Muslim jadi teroris? kenapa harus pakai hijab? kenapa tidak boleh makan daging babi? kenapa tidak boleh minum soju (miras Korea)? kenapa shalat harus 5 waktu sampai kenapa pakai toilet harus ada selang air?” kata Vita.
“Kebetulan di asrama, sekolah mengizinkan untuk pemasangan selang air di toilet karena pelajar Muslim meminta hal tersebut.”
Menurut Vita, meski di sejumlah tempat umum Korea Selatan sudah terpasang perangkat toilet dengan teknologi tingkat tinggi, seperti jamban bertombol banyak layaknya seperti di Jepang, tetap saja ada sejumlah tempat lain yang punya toilet jorok dan tak terawat. Belum lagi, kebiasaan membasuh diri pasca-buang air besar di sana berbeda dengan di Indonesia. Mereka umumnya menggunakan tisu saja, tanpa air. Makanya cara Vita dan murid Muslim lainnya yang memerlukan selang air dianggap aneh.Kendala lain yang dihadapi ketika tinggal di sana, tentu saja adalah makanan.
“Hal yang paling utama adalah soal makanan,” kata Vita. Ia kesulitan menemukan makanan halal.
Vita beruntung, di asramanya dapat difasilitas kantin yang menyediakan makanan mereka tiga kali sehari. Dimasak oleh Imo, “Bibi kantin asrama,” jelas Vita.
Khusus untuk Muslim, mereka menjamin tak ada masakan babi. Tapi yang kadang tak dipahami banyak orang, termasuk kebanyakan Muslim di Indonesia sendiri, makanan haram bagi pemeluk Islam bukanlah cuma Babi. Terkadang, cara memasak juga perlu diperhatikan demi menjaga syariat Islam.
“Karena ada beberapa pelajar asing lainnya yang non-Muslim, terkadang Imo memasak daging babi juga. Yang kita tidak tahu apakah pan cook untuk memasak dagingnya juga digunakan untuk memasak makanan untuk Muslim,” kata Vita.
Hal itu membuatnya sedikit hati-hati ketika berpergian dan menentukan restoran mana yang harus didatangi. Menyiasati itu, kebanyakan tempat makan yang dikunjungi Vita hanyalah yang menjual ayam atau cumi-cumi saja. “Tapi ya jadinya lumayan menguras kantong, pelajar kan padahal harus berhemat,” katanya.
Berada setahun di Korea Selatan juga membuatnya tak melewatkan Ramadan di sana. Puasa juga akhirnya jadi hal lain yang perlu dijelaskan kepada teman-teman Korea lainnya, sebab kebanyakan dari mereka tak tahu apa-apa tentang Ramadan.
Godaan paling berat dari pengalaman berpuasa di sana adalah cuaca. Beberapa tahun terakhir, Ramadan memang jatuh di musim panas di Korea Selatan. Termasuk pada 2015 ketika Vita tinggal di sana. Korsel yang merupakan negara sub-tropis lainnya, musim panas berarti saat Matahari bertengger di langit lebih lama. Hal ini tentu saja berdampak pada durasi puasa yang mereka jalani. Umumnya, puasa di sana berkisar 17 jam. Vita ingat ketika ia harus bangun sekitar pukul 2.30 untuk sahur, dan baru berbuka antar pukul 7 hingga pukul 8 malam.
Suhu musim panas bisa mencapai 25 hingga 33 derajat Celcius. “Panasnya Korea lumayan menyiksa. Selain panas juga lembab, ini menambah rasa panas semakin panas dan membuat saya malas untuk pergi keluar kamar. Namun untuk soal toleransi beragama, saya rasa tidak ada masalah. Orang Korea menghargai perbedaan tersebut jika kita menjelaskan bahwa kenapa kami tidak makan di waktu siang,” kata Vita.
Ia juga sempat mengunjungi Masjid di daerah Itaewon, masjid pertama yang dibangun di Korea Selatan pada 1976. Konon, masjid itu jadi simbol peradaban Islam di sana dan menjadikan Itaewon salah satu daerah yang masyarakat muslimnya cukup banyak. Korean Muslim Federation mengestimasi ada 100 ribu lebih muslim di Korea Selatan, dan 70 hingga 80 persennya adalah orang asing, seperti dari Turki, Timur Tengah, dan Asia Tenggara lainnya.
Di sana, Vita sempat bersantap sahur, dan melihat bagaimana Muslim di Korea Selatan membangun kebersamaan dengan makan sahur bersama. Lewat sajian prasmanan di masjid itu, mereka membangun suasana khusuk Ramadan yang juga dirayakan Muslim lain di seluruh dunia.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra