tirto.id - Apa jadinya jika maskapai di satu negara kehilangan izin melewati wilayah udara negara di sekitarnya? Bagaimana pula jika ia tak boleh mendarat di beberapa negara yang selama ini menjadi pasar terbesarnya? Dua persoalan besar ini tengah dihadapi Qatar Airways.
Qatar adalah negara kecil di Teluk Persia. Luasnya hanya 11.571 km² atau seperlima dari luas Provinsi Aceh. Wilayah udaranya tentu kecil juga dan dikelilingi oleh wilayah udara Bahrain, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Negara-negara itu merupakan tiga dari enam negara yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar sejak Senin, 5 Juni 2017.
Pemutusan hubungan diplomasi itu diikuti dengan pelarangan maskapai milik Qatar masuk ke teritori keenam negara. Bukan hanya dilarang transit dan mendarat, tetapi juga dilarang melewati wilayah udara.
Saat ini, wilayah udara yang sudah pasti tak bisa dilewati Qatar Airways adalah Arab Saudi. Sementara UEA dan Bahrain masih terikat Perjanjian Transit Multilateral yang mengatur izin melewati wilayah udara dan izin mendarat dan lepas landas.
Bahrain menandatangani perjanjian itu pada 12 Oktober 1971 sedangkan UEA pada 25 April 1972. Namun, menurut CAPA – Centre for Aviation, perselisihan antara negara tersebut bisa saja membuat perjanjian ini tak dipatuhi.
UEA dipastikan kesulitan atau mungkin tidak bisa melarang Qatar Airways melewati wilayah udaranya sebab negara itu telah menjunjung tinggi dirinya sebagai juara liberalisasi dan langit terbuka (open skies). Istilah open skies bahkan dijadikan nama majalah di Emirates—maskapai milik EUA.
Kehilangan wilayah udara Arab Saudi memberi dampak signifikan. Pesawat-pesawat milik Qatar Airways tujuan Eropa memang masih bisa terbang melewati utara Arab Saudi. Namun, penerbangan ke negara Timur Tengah lainnya dan Afrika membutuhkan pengalihan jalur yang tentu memakan biaya. Jika ditambah kehilangan wilayah udara Bahrain, dampaknya tentu lebih parah lagi, mengingat wilayah udara Bahrain mengelilingi hampir seluruh wilayah udara Qatar.
Dengan adanya larangan mendarat di Arab Saudi, Bahrain, UEA dan Mesir, Qatar Airways berpotensi kehilangan lebih dari 11.000 kapasitas penumpang setiap hari. Sebelum pemutusan hubungan diplomasi dilakukan, setiap harinya, kapasitas kursi Qatar Airways di Uni Emirat Arab mencapai 4.522. Sedangkan di Arab Saudi, kuotanya 4.864, Mesir 1.053, dan Bahrain 993.
Kenyataannya, bukan cuma empat negara itu saja yang melarang penerbangan dari Qatar. Libya, Yaman, dan terakhir, Maladewa juga ikut dalam barisan. Maladewa menjadi negara di luar Timur Tengah pertama yang melarang penerbangan dari Qatar. Selama ini, Qatar Airways tidak melayani penerbangan ke Libya dan Yaman, tetapi ia melayani dan menjadi tiga maskapai dengan kapasitas kursi terbesar di Maladewa.
Setiap hari, Qatar Airways menjadwalkan tiga kali penerbangan ke Male, ibukota Maladewa. Negara kepulauan itu menjadi pasar terbesar ke-35 Qatar Airways berdasarkan kapasitas kursi yang tersedia. Tak ada maskapai Maladewa yang beroperasi ke Qatar. Setelah Maladewa ikut melakukan pelarangan penerbangan, Qatar Airways tentu kehilangan pasarnya ke negara tujuan wisata itu.
Terancam Kehilangan Pasar Indonesia
Langkah yang diambil Maladewa akan segera dilakukan juga oleh Indonesia. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan berencana mencabut lisensi penerbangan Qatar Airways. Lisensi untuk Qatar Airways itu akan dialihkan ke maskapai penerbangan milik negara Timur Tengah lainnya, Etihad dan Emirates. (Baca: Indonesia akan Mencabut Lisensi Penerbangan Qatar Airways)
Sebelumnya, Menteri Pariwisata Arief Yahya juga menyatakan pendapat serupa. Apabila Qatar Airways tak bisa mengangkut penumpang dari sejumlah negara Timur Tengah ke Indonesia, ada begitu banyak potensi wisatawan mancanegara yang hilang.
Bagi Qatar Airways, Indonesia adalah pasar terbesar ke delapan dengan kapasitas kursi sebesar 10.000. Menurut Arief Yahya, sekitar 70 persen dari penumpang Qatar Airways adalah wisatawan. Sejak 7 Mei tahun ini, Qatar Airways bahkan telah membuka penerbangan langsung dari Doha ke Denpasar, Bali. Penerbangan itu akan dioperasikan dengan pesawat Boeing 787 Dreamliner.
Tak semua penumpang Qatar Airways berasal dari Qatar, sebagian besar dari negara-negara Timur Tengah yang melakukan boikot. Itu mengapa Indonesia mempertimbangkan untuk mengalihkan izin yang selama ini diberikan kepada Qatar Airways ke maskapai lain seperti Emirates atau Etihad.
Emirates dan Etihad adalah dua maskapai terbesar asal UEA. Menurut data Statista, padatahun 2016, Emirates mengangkut penumpang dua kali lebih banyak dari Qatar Airways. Total penumpang Emirates sepanjang tahun lalu sebesar 51,9 juta, sedangkan Qatar Airways hanya 26,65 juta. Sementara itu, penumpang yang diangkut Etihad jauh lebih kecil, yakni hanya 18,5 juta.
Budi menyatakan, pencabutan lisensi Qatar Airways akan bersifat sementara karena selama ini maskapai tersebut sudah banyak memberikan kontribusi bagi mobilitas masyarakat dari Timur Tengah ke Indonesia dan sebaliknya. "Jadi sifatnya sementara, nanti kalau ternyata ada pemulihan terutama terkait dengan yang umrah, mungkin kita juga memikirkan untuk diberikan kembali [lisensi Qatar Airways]," jelasnya.
Penurunan pendapatan atau kerugian yang dialami Qatar Airways dari konflik ini tentu tak bisa dilihat dalam sehari dua hari. Sejak tahun 2012 sampai 2016, pendapatan maskapai itu tak pernah menurun. Meski pertumbuhannya tak terlalu tinggi, tetapi ia naik terus. Begitu pula dengan labanya. Tahun lalu, ia mengantongi laba sekitar Rp10 triliun. Mungkinkah ia masih bisa meraup laba sebanyak itu tahun ini?
Jika pencabutan lisensi dari Indonesia ini terealisasi. Maka, daftar potensi kerugian Qatar Airways akan semakin panjang. Kehilangan pasar di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang merupakan dua pasar terbesarnya saja sudah cukup menjadi “turbulensi” bagi perusahaan. Ditambah lagi kehilangan pasar di Maladewa dan Indonesia yang bisa jadi diikuti negara-negara lain.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti