tirto.id - Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana menentang laku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Neno Warisman yang membacakan puisi doa dalam acara Munajat 212 di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2019) malam kemarin.
Sebab menurutnya narasi yang coba dibangun Neno mengibaratkan bahwa ajang pemilihan umum tak ada bedanya dengan perang.
"Pemilu ini sebagai bagian dari rutinitas politik kita dalam kehidupan berdemokrasi. Jangan kemudian mempertentangkan kelompok-kelompok yang sedang bertarung dalam politik," ujarnya pada Tirto, Minggu (24/2/2019).
Apa yang dilakukan Neno, dalam pandanganya, justru akan memunculkan tembok-tembok sekat di antara masyarakat yang terbagi dalam dua kubu pasangan calon presiden. Sebab dampak rivalitas tersebut bisa panjang.
"Saya menentang itu, semisal ada pihak yang membuat pemilu sebagai konflik. Pemilu itu kan untuk menyelesaikan konflik," tuturnya.
Aditya juga mengatakan, ditambah setelah pembacaan puisi doa tersebut, menuai banyak respon dari berbagai kelompok yang merasa tersinggung.
Menurut Aditya ini seolah kian memperkuat bahwa pemilu sebagai bagian rutinitas demokrasi menjadi sama dengan perang.
"Doa yang awalnya baik lalu kemudian ada kelompok yang tersinggung, itu bahayanya. Apalagi kalau menganggap pilpres seperti perang badar. Jangan begitulah," ujarnya.
Mantan bintang film era 80-an, Neno Warisman membuat kontroversi di tengan publik setelah membacakan puisi doa di acara Munajat 212. Berikut kutipan isi puisi doa tersebut.
"Namun, kami mohon jangan serahkan kami kepada mereka yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak, cucu kami dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika engkau tidak menangkan kami, (kami) khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari