Menuju konten utama

Program Perumahan Rakyat: Ditolak Pengusaha, Dikebut Jelang Pilpres

Pembentukan BP Tapera sudah melebihi batas waktu yang ditentukan, yakni Maret 2018. Kenapa program ini baru dikebut jelang pilpres?

Program Perumahan Rakyat: Ditolak Pengusaha, Dikebut Jelang Pilpres
Pekerja membangun rumah bersubsidi program satu juta rumah di Desa Sambirejo, Kediri, Jawa Timur, Jumat (19/10/2018). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani.

tirto.id - Pemerintah kembali mengebut pelaksanaan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan menyeleksi jajaran dewan komisioner yang akan menjalankan operasional Badan Pengelola (BP) Tapera.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Hamid menyampaikan, nama-nama yang akan menduduki jabatan itu akan diseleksi sejumlah instansi yang berasal dari Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk keperluan operasional awal, kata Khalawi, Kementerian Keuangan sudah menyiapkan dana khusus dalam APBN 2018 sebesar Rp2,5 triliun.

Pekan lalu, komite yang mengurusi pembentukan BP Tapera ini sebenarnya sempat merencanakan pembahasan nama-nama calon dewan komisioner. Akan tetapi, pertemuan itu dibatalkan karena beberapa kementerian masih mengurus penanganan bencana di Sulawesi Tengah.

Rapat akhirnya ditunda dan baru akan dilaksanakan pada pekan depan. "Targetnya akhir tahun ini lah, selesai. Nanti ditetapkan personelnya lewat Kepres [Keputusan Presiden] supaya bisa beroperasi di 2019," kata Khalawi kepada reporter Tirto, Selasa (23/10/2018) kemarin.

Dikebut Jelang Pilpres

Pembentukan BP Tapera ini sebetulnya sudah melebihi batas waktu, yakni pada Maret 2018 sejak direncanakan dua tahun lalu. Tapera merupakan program penyimpanan dana jangka waktu tertentu yang dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Sejak direncanakan, program ini juga tak lepas dari penolakan sejumlah pihak, terutama kalangan pengusaha. Pada 25 Februari 2015, dua hari setelah UU Tapera disahkan DPR, misalnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) langsung menginisiasi langkah untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Apindo Haryadi Sukamdani menjelaskan, keputusan itu perlu diambil karena UU Tapera melemahkan daya saing industri nasional dan membuat dunia usaha semakin lesu. Bagi pengusaha, kebijakan itu akan menambah beban mereka untuk menjamin kebutuhan pegawai.

Setali tiga uang, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Investasi dan Perhubungan Chris Kanter juga mengatakan bahwa kewajiban Tapera mengganggu dan memberatkan dunia usaha. Jika pemerintah memaksakan kehendak untuk menerapkannya bagi masyarakat penghasilan rendah, kata dia, beban pengusaha untuk pegawai diperkirakan mencapai 37 persen.

Masalahnya, kata dia, perekonomian sedang lesu dan pengusaha terus menghadapi tuntutan kenaikan upah minimum regional (UMR). Chris Kanter khawatir, kebijakan tersebut justru berdampak pada efisiensi perusahaan yang berujung pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Oleh karena itu, Chris Kanter menilai, UU Tapera sebagai kebijakan populis tidak bisa diterapkan saat ini.

"Mau pilih mana? Lapangan kerja atau membangun rumah?" kata dia kepada reporter Tirto.

Direktur Pendayagunaan Sumber Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Adang Sutara menuturkan, aspirasi para pengusaha memang dipertimbangkan dalam penerapan program Tapera. Untuk itu, kata dia, pada tahun-tahun awal beroperasi program tersebut hanya akan menyasar kalangan PNS, TNI, dan Polri.

"Nanti kalau sudah sampai 5 tahun [beroperasi], 7 tahun untuk masyarakat umum. Tapi kalau masyarakat sudah siap bisa kami percepatan. Aturannya kayak gitu," kata dia.

Setelah dewan komisioner ditetapkan lewat Kepres, kata Adang, nantinya BP Tapera diberi waktu selama tiga bulan untuk menentukan bank kustodian, manajer investasi, dan bank penyalur dengan mekanisme lelang terbuka.

Proses lelang itu juga akan dibantu terlebih dahulu oleh komite yang mengurusi BP Tapera, yakni Kemenkeu, Kementerian PUPR, serta lembaga dan instansi yang telah disebutkan di atas.

"Jadi mereka enggak bekerja dari nol lagi," kata Adang kepada reporter Tirto, Rabu (24/10/2018).

Adang optimistis bank kustodian dan manajer investasi yang terpilih dan dikelola BP Tapera tidak memasang biaya mahal. Sebab, kata dia, tanpa insentif pun, mereka punya margin yang bagus.

"Kami meminta fee yang akan dikenakan harus lebih rendah dari fee pasar. Yang penting, seluruh instrumen pasar modal itu sudah ditetapkan oleh undang-undang," kata Adang.

Setelah beroperasi pada 2019, penyaluran kredit Tapera juga bakal menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sehingga, subsidi untuk FLPP yang selama ini digelontorkan pemerintahan lewat APBN bisa dihentikan.

"Nantinya FLPP sudah tidak ada dana lagi dari pemerintah. Kemungkinan mulai 2020," kata Adang menambahkan.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz