Menuju konten utama

Presiden Weah dan Impiannya Untuk Liberia

Ada banyak mantan pesepakbola yang menjadi politikus, tapi hanya George Weah yang mampu menjabat presiden. 

Presiden Weah dan Impiannya Untuk Liberia
Mantan bintang sepakbola George Weah. FOTO/REUTERS

tirto.id - George Weah menjadi pesepakbola profesional dari 1984 hingga 2003. Dalam kurun waktu itu, Weah, yang bermain sebagai seorang penyerang, berhasil mencetak 194 gol di level klub dan mencetak 22 gol untuk timnas Liberia. Namun, selepas pensiun pada tahun 2003 lalu, ia ternyata membutuhkan waktu sekitar 12 tahun hanya untuk meraih satu tujuan: menjadi presiden Liberia.

Weah merupakan pesepakbola Afrika paling sukses di dunia. Selain dua kali membawa AC Milan meraih scudetto [musim 1995-1996 dan 1998-1999], ia juga mengoleksi gelar individu yang tak sedikit. Pada tahun 1991, saat bermain untuk AS Monaco, ia dinobatkan sebagai pemain asing terbaik di liga Prancis. Dan tiga tahun setelahnya, ia bahkan meraih empat gelar bergengsi sekaligus: BBC African Footballer of The Year, Ballon d’Or, Onze d’Or, serta pemain terbaik dunia versi FIFA.

Sayangnya, selama Weah meraih ketenaran di jagad sepakbola itu, perang saudara menjadi duka bagi orang-orang Liberia. Gedung roboh, desingan peluru, dan orang-orang mati merupakan kabar sehari-hari. Parahnya, anak-anak tak berdosa pun ikut menjadi korban perang. Tak hanya kehilangan tempat bermain, mereka juga dipaksa angkat senjata oleh orang-orang tua yang mulai kehilangan akal. Dalam video “Liberia 200 Years in 100 Second”,BBC menyebut bahwa ada sekitar 38 ribu anak-anak Liberia yang ikut berperang.

Kala perang itu terjadi, harga nyawa di Liberia bisa semurah keripik tempe. Menurut Robert B. Edgerton dalam Africa’s Armies: from Honor to Infamy [2002], Perang Saudara Liberia Pertama yang terjadi dari 24 Desember-2 Agustus 1997 memakan 620 ribu korban jiwa. Sementara itu, New York Timesmelaporkan bahwa sekitar 150 ribu hingga 300 ribu orang meninggal dunia karena Perang Saudara Liberia Kedua yang terjadi pada tanggal 12 April 1999-18 Agustus 2003.

Weah tentu tak tinggal diam mendapati keadaan negaranya yang kacau balau seperti itu. Lewat sepakbola, ia kemudian berusaha memperbaiki keadaan negaranya. Ia menggunakan uang pribadinya untuk membayar jersey tim, memberikan uang saku kepada rekan-rekannya, hingga menyewa pesawat terbang agar timnas Liberia bisa bertanding di kancah internasional.

“Perjuangan George [Weah] untuk Liberia sangat sukar dipercaya. Ia memastikan bahwa timnas Liberia selalu berusaha membawa pulang sebuah kebanggan,” tutur Thomas Kojo, rekan Weah di timnas Liberia. “Ketika semua orang hanya melihat pembunuhan, tim sepakbola adalah satu-satunya hal bagus yang datang dari Liberia.”

Yang menarik, setelah perang saudara di Liberia berakhir pada tahun 2003 lalu, Weah, yang juga pensiun dari sepakbola, ternyata melangkah lebih jauh lagi membuat negaranya menjadi lebih baik; Weah ingin menjadi presiden Liberia. Ia berasal dari daerah kumuh di Monrovia, hidup susah sebagaimana orang-orang miskin, lantas, lewat mimpi di siang bolong, bisa meraih kesuksesan. Jika ia bisa, apa salahnya ia memimpin orang-orang Liberia untuk bangkit dari keterpurukan?

Bak gayung bersambut, Keinginan Weah itu ternyata mendapatkan respons menyenangkan dari para pemujanya di Liberia. Untuk mewujudkan cita-cita Weah itu, sebagai kendaraan politik, mereka kemudian membikin partai Congress for Democratic Change [CDC]. Bidikannya: pemilu 2005.

Sayangnya, meski Weah cukup tenar di Liberia, pencalonan itu ternyata mendapatkan respons negatif dari orang-orang terpelajar Liberia. Alasan mereka: Weah tidak lulus dari SMA dan ia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam dunia politik. Merasa ada yang salah, Weah kemudian membalas kritikan itu dengan pernyataan yang bisa membikin telinga merah.

“Dengan pendidikan dan pengalaman yang mereka miliki, mereka telah memimpin negara ini selama ratusan tahun. [Tetapi] mereka tidak pernah berbuat sesuatu untuk negara ini.”

Namun, pada akhirnya orang-orang terpelajar itulah yang menepuk dada. Pada pemilu 2005, Weah kalah dari Ellen Johnson Sirleaf, seorang lulusan Harvard. Sementara Sirleaf mendapatkan 478.526 suara, Weah hanya mendapatkan 327.046 suara. Persentasenya: 59,4 persen berbanding 40,6 persen.

Apakah Weah menyerah setelah kekalahan itu?

Suatu kali, saat masih bermain untuk AS Monaco, Weah pernah mengeluh kepada Arsene Wenger, pelatih Monaco saat itu. Ia mengatakan bahwa ia pusing dan tidak ingin berlatih. Wenger menjawab keluhan itu dengan sebuah motivasi, “George, aku tahu ini sulit untukmu tapi kamu harus bekerja keras. Aku yakin dengan bakatmu itu, kamu bisa menjadi salah satu pemain terbaik di dunia.”

Dan, Weah pun memilih tetap melangkah maju. Pada tahun 2006, meski usianya sudah menginjak 40 tahun, ia menyesaikan sekolahnya, mendapatkan gelar diploma. Setelah itu, ia kuliah di Universitas DeVry di Miami, Amerika Serikat, untuk mendapatkan gelar sarjana dalam bidang manajemen bisnis dan menjadi master dalam bidang administrasi publik. Ia pun mempunyai dua modal berharga untuk mengejar cita-citanya menjadi orang nomor satu di Liberia: kekalahan dari Sirleaf dan gelar pendidikan.

Infografik George Weah

Infografik George Weah

Namun, Ellen Johnson Sirleaf ternyata memang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Pada masa kepemimpinannya, meski kemiskinan masih begitu kentara di Liberia, ia berhasil menghilangkan citra brutal Liberia di mata dunia, membuat salah satu negara di Benua Afrika itu lebih aman daripada sebelumnya. Selain itu, ia juga berhasil membuat Liberia menerima pengampunan hutang yang nilainya mencapai miliaran dolar Amerika. Pemilu 2011 pun kemudian hampir berbarengan dengan penghargaan bergengsi yang diperoleh Sirleaf: sebuah Nobel Perdamian.

Dari situ, hasil pemilu 2011 lantas mudah ditebak: Weah, yang dicalonkan sebagai wakil presiden Winston Tubman oleh CDC, kalah telak dari Sirleaf. Saat itu persentase suaranya begitu jomplang: 90,7 persen untuk Sirleaf dan Josep Boakai, serta hanya 9,3 persen untuk Tumbnan serta Weah.

Cita-cita Weah untuk menjadi presiden Liberia akhirnya baru benar-benar tercapai pada tahun 2018 lalu, saat Sirleaf sudah tidak bisa lagi bersaing untuk kembali menjadi presiden. Pada pemilu 2017, ia berhasil mengalahkan Joseph Boakai, yang sebelumnya menjadi wakil presiden Liberia. Waktu itu, persentase kemenangan Weah lumayan jauh dari Boakai: 61,5 persen berbanding 38,5 persen.

Pada Maret 2018, melalui New York Times, Weah kemudian mengumumkan kemenangannya itu kepada dunia.

”Pada 22 Januari [2018], aku kembali ke Stadion Samuel Doe di Monrovia – tempat tercinta di mana aku dulu sudah memainkan banyak pertandingan – untuk mengambil sumpah jabatan sebagai presiden Liberia. Itu adalah transfer kekuasaan yang demokratis dan damai yang pertama kali terjadi di negeri ini setelah 75 tahun. Aku berdiri di stadion dengan bangga dan sadar akan tanggung jawab besar dalam memimpin tim Liberia.”

Dan setelah sumpah jabatan itu, Weah tentu juga sadar bahwa tantangan yang akan ia hadapi lebih berat daripada saat ia masih menjadi pesepakbola dulu. Lawan tandingnya bukan lagi bek-bek tangguh di Eropa, melainkan sebuah harapan besar dari rakyat Liberia agar bisa menjalani hidup dengan terang benderang.

Baca juga artikel terkait LIBERIA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Politik
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Renalto Setiawan