tirto.id - Jaringan Anti-Korupsi (JAK) Yogyakarta mencatat sejumlah masalah dalam proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan panitia seleksi. Mereka pun mendesak Presiden Joko Widodo segera mengevaluasi kinerja pansel.
"Presiden harus membuktikan komitmen memperkuat KPK dengan tidak memilih nama-nama capim yang terindikasi bermasalah," kata Hasrul Halili, salah satu perwakilan JAK, saat menyampaikan pernyataan sikap di Kantor Pusat Kajian Antikorupsi, FH Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (28/8/2019).
JAK Yogyakarta merupakan gabungan koalisi lembaga masyarakat sipil yang fokus pengawal pemberantasan korupsi. Dalam acara itu hadir mantan penasihat KPK Suwarsono, Rektor UNU Yogyakarta Purwo Santoso, Dosen UAJY Yogya Lukas Ispandrianto, akademisi STIH Jentera Bivitri Susanti, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Desakan yang disampaikan JAK ini didasari sejumlah alasan. Pertama, kata Halili, Pansel Capim KPK dinilai tidak dipertimbangkan LHKPN sebagai syarat seleksi. Menurut Halili, masalah LHKPN ini diatur dalam pasal 29 angka 11 UU KPK yang menyebut laporan harta kekayaan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi calon pimpinan KPK.
“Sementara pansel capim KPK justru masih bersikukuh bahwa laporan harta kekayaan calon pimpinan KPK tidak dipersyaratkan dalam seleksi,” ucap Halili.
Alasan kedua, kata Halili, rekam jejak calon pimpinan KPK saat ini juga dinilai tidak menjadi pertimbangan penting oleh pansel. Ini terasa janggal, kata Halili, karena ke-20 calon ini dari hasil penelusuran KPK punya catatan seperti diduga tidak taat dalam pelaporan LHKPN, terlibat pelanggaran etik, menghalangi kerja KPK, dan bahkan ada yang diduga pernah menerima gratifikasi.
“Masukan KPK di atas harusnya menjadi pertimbangan pansel dalam seleksi. Akan tetapi, pansel tidak mempertimbangkannya sehingga masih ada calon dengan banyak catatan yang tetap lolos,” katanya.
Oleh karena itu, Halili meminta pansel untuk transparan serta lebih mempertimbangkan masukan publik dalam melakukan proses seleksi. Prinsip transparansi menjadi ketentuan sesuai Pasal 31 UU KPK.
"Pansel harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai kriteria dalam seleksi calon pimpinan KPK. Setelah itu Pansel harus membuka hasil penilaian seleksi," kata Halili.
Kemunculan kritik terhadap kinerja pansel ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Kurnia Ramadhana, salah seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch yang tergabung dalam koalisi kawal capim KPK kerap memberikan kritik terhadap kinerja pansel salah satunya karena tidak dimasukkannya LHKPN dalam proses seleksi ini. Namun, Hendardi, salah seorang anggota pansel, tak menyebut pansel tak bisa didikte soal masalah tersebut.
“Kan, syaratnya kami katakan, membuat surat pernyataan apabila terpilih. Jadi, buat apa sekarang kami capek-capek? Banyak urusan kami, kan, harus lihat yang lainnya, kami enggak mau didikte sama yang begitu,” kata Hendardi, Senin, 5 Agustus lalu.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Mufti Sholih