tirto.id - Pandu Setiawan mangkal di lampu merah pintu Tol Desari arah Sawangan, enam kilometer dari kantor Wali Kota Depok ke arah barat. Tanpa baju, bertelanjang kaki, dan hanya koloran. Rambutnya berwarna kuning tembaga dan beraroma hangus. Dari ujung kaki hingga telinga terbalur cat perak. Tulang-tulang rusuknya kemilap menjengul.
“Pertama pake silveran [cat perak] badan pada gatel, keriput-keriput kayak kebakar di bagian leher. Sekarang kagak,” ujar bocah 14 tahun itu kepada reporter Tirto, Kamis (14/1/2021).
Pandu butuh waktu satu jam untuk membalur cat perak ke seluruh tubuh dan tiga menit untuk menghilangkan dengan bantuan sabun cuci piring cair berwarna hijau--yang membuat rambutnya kaku. Semua ia lakukan sendiri.
Pandu menjadi manusia silver berkat melihat teman-teman sepermainan. Ia sudah “nyilver” sejak setahun terakhir.
Seorang bocah bertubuh sintal tanpa alas kaki menghampirinya. Bocah itu, Teguh Setiawan, adalah adik kandung Pandu. Mereka berasal dari Kampung Lio, permukiman di belakang kantor Wali Kota Depok.
Pandu yang mengajak Teguh “nyilver” agar bisa punya uang jajan sendiri dan tidak bergantung pada dirinya.
Kondisi cat perak di tubuh Teguh lebih buruk dari Pandu. Banyak bagian tidak merata dan warna tidak menonjol. Tapi aroma rambutnya sama hangus.
Cat di wajah Teguh luntur membentuk garis-garis vertikal hingga meninggalkan bekas noda di kaos cokelat miliknya. Teguh habis menangis karena ditinggal Pandu mencari kaleng pengumpul uang. “Takut enggak bisa pulang,” ujar Teguh, usianya menjejak 10 tahun.
Mereka salah dua dari sekian banyak manusia silver yang masih berusia anak di Kota Depok. Keberadaannya mudah ditemui di beberapa titik semisal di Simpang Sandra dan Jalan Raya Margonda.
Tanpa alas, kakak adik itu duduk di trotoar lampu merah. Teguh mengeluarkan kantong plastik bening berisi uang receh pecahan Rp500 hingga seribu dan segulungan uang kertas ragam nominal terikat karet. Setelah dijumlah, totalnya sekitar Rp65 ribu. Uang hasil “nyilver” ini masih belum cukup. “Kalau belum di atas 80 ribu. Belum pulang, Saya yang nargetin,” aku Pandu.
Dalam sehari mereka bisa menghasilkan uang maksimal Rp150 ribu dan minimal Rp20 ribu untuk durasi kerja lebih dari 12 jam. Kegiatan “nyilver” mereka mulai sejak pukul 8 atau 10 pagi dan selesai malam.
Uang hasil “nyilver” mereka setorkan ke orang tua untuk membayar sewa kontrakan dan sedikit dipakai sendiri makan selama bekerja.
Jika uang belum mencapai target, mereka berkeliling ke permukiman warga di Tangerang Selatan atau Pasar Parung dengan jarak 8 hingga 11 kilometer dari pangkalan. Untuk mobilitas, mereka menumpang truk. Alternatifnya tetap bertahan di pangkalan dengan memperpanjang jam kerja. Tidak untuk mematung, tapi mengatur kendaraan keluar-masuk tol.
“Paling lama sampai jam 1 jam 2-an [malam]. Markir di sini, paling dapat gocap [Rp50 ribu] atau 20 ribu,” ujar Pandu.
Jam kerja tinggi, minim pelindung tubuh, terpapar polusi dan angin malam membuat kesehatan mereka ringkih. Mereka paling sering meriang. “Kalau malam pilek. Kalau sakit dibawa ke dokter, lah,” aku Pandu.
Dari seberang tempat Pandu dan Teguh berhenti sebuah sepeda motor yang ditumpangi satu pria dewasa dan satu perempuan dewasa dan satu balita di tengah. Pandu dan Teguh terlibat perbincangan selama lima menit dengan mereka. Kemudian sepeda motor itu melaju ke arah Parung. “Tadi bapak, emak, adek. Enggak tau mau ke mana,” tutur Pandu, anak kedua dari lima bersaudara. Teguh nomor tiga.
Ironi Kota Layak Anak
Pandu dan Teguh melakoni pekerjaan manusia silver seolah penuh suka cita meskipun mengaku lelah dan kucing-kucingan dengan Satpol PP. Pernah satu kali mereka apes. Ketika sedang bergegas ke pangkalan dengan menumpang truk dari Simpang Sandra, Satpol PP datang dan meminta mereka turun lalu membawa ke dinas sosial. Mereka ditahan, dimandikan, kemudian dijemput orang tua.
Tapi pengalaman itu tidak membuat mereka jera. “Kalau ada yang kenal enggak diangkut. Paling disuruh minggir doang diklaksonin. Kalau kagak, ngumpet di kebon,” aku Pandu.
Mereka sebenarnya menyadari bahwa jalanan menyimpan bahaya. Ketakutan mereka tertampik berkat dukungan keluarga, bahkan nenek-kakek mereka turut membelikan bubuk perak setiap dua pekan sekali di Cibinong. “Katanya, ‘jangan pernah takut kalau di jalan. Lu udah nginjak aspal, udah berani ama yang lain’,” ujar Pandu mengulang ucapan orang tua.
Kepala Satpol PP Kota Depok Lienda Ratna Nurdianny mengaku kesulitan menertibkan anak-anak yang menjadi silver. “Mereka kabur jika melihat petugas,” katanya kepada reporter Tirto, Jumat (15/1/2021).
Selama April hingga Desember 2020, Satpol PP mengklaim telah menjaring 24 anak. Para anak silver didata dan orang tua mereka diberi arahan. Selanjutnya mereka dibina oleh Dinas Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok.
“Sekarang memang agak meningkat. Perlu ada kajian apakah ini akibat kondisi pandemi,” katanya.
Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Elly Malihah, kemiskinan adalah penyebab utama merebaknya manusia silver termasuk yang masih anak-anak. Pandemik memperparah itu. Ia memorak-porandakan sektor ekonomi; banyak orang tua menjadi korban PHK.
Pemerintah perlu menyediakan lapangan kerja untuk orang tua sebagai salah satu solusi menyelesaikan fenomena ini.
“Ketika anak digiring ke rumah sementara orang tua yang menyuruh karena tidak punya pekerjaan, akan susah. Orang tua harus yang berdaya. Tidak selesai hanya dengan bantuan Rp600 ribu itu,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat.
Fenomena manusia silver berusia anak membuat Kota Depok tidak relevan menyandang Kota Layak Anak (KLA). Selama 2017 hingga 2019, kota ini dinobatkan sebagai KLA kategori nindya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA).
“Persoalan anak manusia silver mudah ditemui di jalan utama Depok yang dekat dengan kantor wali kota. Terlalu kasat mata dan ironi dengan status Kota Layak Anak,” ujar Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Generasi Ena Nurjanah kepada reporter Tirto, Jumat.
Pemkot Depok perlu melakukan pendataan secara serius terhadap manusia silver anak, tidak hanya mengandalkan razia dan membawa mereka ke rumah singgah tanpa bekal apa pun. Jika sekadar itu yang diandalkan, anak berpotensi turun ke jalan kembali. “Lakukan pembinaan lanjutan untuk anak. Beri para orang tua pemahaman hak anak dan tanggung jawab sebagai orang tua.”
Menurut Kepala DPAPMK Kota Depok Nessi Annisa Handari, pemerintah tengah berupaya untuk naik kategori dari nindya menjadi utama. Semua ini menurutnya untuk memenuhi perlindungan terhadap anak, “termasuk anak silver.”
“Semoga bisa berkurang dan kalau bisa menghilang,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat.
Sampai saat ini belum ada angka pasti jumlah anak-anak yang terlibat “nyilver”, sebab tidak semua dari mereka menetap di satu tempat. DPAPMK Kota Depok masih menggunakan data hasil penertiban Satpol PP. “Tapi kami terus gali apa yang dibutuhkan orang tua dan anak-anak. Ini yang jadi tugas kami di lapangan.”
“Saya Suka Beat”
Awan mendung beriringan dengan angin kencang, tapi Pandu dan Teguh tetap tegap. Mereka masih saja mematung di depan barisan mobil sembari bergaya hormat.
Sekian detik kemudian, mereka berkeliling dari satu mobil ke mobil lain hingga lampu lalu lintas berubah hijau. Entah ada berapa uang yang masuk ke dalam kaleng. Yang jelas tampang mereka semringah.
“Kagak bisa jadi badut, susah perlu joget dulu. Kalau manusia silver tinggal matung, mintain [uang]. Udah gitu doang,” ujar Pandu menjelaskan pilihannya menjadi manusia silver ketimbang badut--yang juga dapat dengan mudah ditemui di Depok.
Ayah dan ibu mereka merupakan badut berkostum karakter tokoh animasi. Terkadang mereka berbagi tempat mangkal. “Badut BoBoBoiy, kalau kaga Marsha [and the Bear]. Kostumnya punya sendiri dong,” katanya membanggakan diri.
Pandu dan Teguh sudah tidak lagi bersekolah. Pandu berakhir di kelas 6. Ia tidak naik kelas. Teguh hanya bertahan sampai kelas 2 SD. Mereka mendaku masih tertarik untuk melanjutkan sekolah namun belum tahu kapan.
“Tunggu saya berhenti ginian [nyilver]. Sampe udah punya motor [Honda] Beat, saya suka Beat,” tandas Pandu.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino