Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Potensi ISIS Mengacaukan Piala Dunia di Rusia

Jika aparat keamanan Rusia lengah, Piala Dunia 2018 bisa menjadi sasaran empuk teror dari ISIS.

Potensi ISIS Mengacaukan Piala Dunia di Rusia
Ilustrasi orang bersenjata api. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Enam gol yang bersarang pada pertandingan Spanyol kontra Portugal di hari kedua Piala Dunia 2018 membuat publik terhibur. Namun siapa sangka di balik pertandingan ini, pihak keamanan Rusia bekerja keras agar aksi terorisme tak terjadi.

Bagaimana pun terlihat nyata Rusia sempat merasa was-was. Status keamanan di Kota Sochi dinaikan jadi "high alert". Dua hari sebelumnya, media outlet pro-ISIS, Al-'Adiyat, merilis video pendek berdurasi 10 menit yang berisikan ancaman aksi teror pada Piala Dunia kali ini.

Dalam video berjudul itu muncul animasi sebuah drone yang membawa hulu peledak dan menjatuhkannya di kawasan Firsch Olympic Arena, Sochi. Pada video yang sama juga muncul 11 pemuda yang berdiri dengan latar belakang panji hitam ISIS.

"Kami sedang menunggu Anda, dan kami tahu segalanya tentang gerakan Anda, kehendak Allah. Jadi hati-hati untuk momen itu. Awasi mobil Anda. Jaga rumahmu. Saudara-saudara akan memburumu,” ujar seorang pemuda dengan bahasa Rusia yang fasih.

Video meminta seluruh sel tidur ISIS untuk mulai aktif melakukan aktifitas mengacaukan jalannya turnamen. Pada bagian akhir muncul kalimat ancaman itu. "Persiapkanlah untuk pengawasan dan pengintaian target. Operasi akan dilaksanakan di jantung tanah Tentara Salib."

Ini bukanlah ancaman terbaru ISIS terkait Piala Dunia. Selama enam bulan terakhir, tercatat ada banyak postingan ancaman yang sama. Pada bulan Oktober 2017, misalnya, media Wafa yang pro-ISIS mengunggah serangkaian propaganda daring, salah satunya menggambarkan seorang jihadi yang dilengkapi bom sedang menatap stadion sepakbola, dihiasi dengan kata-kata: “Hai musuh Allah di Rusia. Saya bersumpah bahwa mujahidin akan membakar Anda. Tunggu saja.”

Pada April 2018, dalam gambar lain yang dirilis di saluran Telegram, ISIS mengancam Presiden Rusia, Vladimir Putin, secara langsung. "Putin Anda tidak percaya. Anda akan membayar harga untuk membunuh umat Islam."

Pada tanggal 8 Mei 2018, dalam poster yang dirancang oleh al-Nur Media Center (sebuah kelompok media Perancis yang terkait ISIS) dan diterbitkan di Telegram, mereka menyodorkan gambar bendera negara peserta Piala Dunia kepada simpatisan mereka untuk beraksi sendirian. Dalam gambar tersebut tertulis teks berbahasa Prancis: "Choisis ta Cible" (Pilih Target Anda).

Ancaman serupa diarahkan pada dua bintang dunia Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Pada satu gambar propaganda mereka, kedua bintang ini divisualisasikan memakai baju jumpsuit oranye khas tawanan dengan latar seorang jihadis bertopeng yang berpose di depan di Stadion Luzhniki Moskow, lokasi final Piala Dunia nanti akan berlangsung.

Geliat ancaman dari gerilyawan pro-ISIS ini terus berlanjut jelang Piala Dunia digelar. Pada 14 Mei 2018, salah satu pesan ancaman menampilkan poster yang menggambarkan para pendukung ISIS mengancam stadion dengan keterangan dalam beberapa bahasa. Keesokan harinya, sebuah platform media lain menginstruksikan pejuang mereka di Rusia untuk menargetkan kaum "kafir" di dalam dan luar stadion dengan berbagai taktik seperti serangan lewat kendaraan, penusukan dan penembakan.

Ancaman ini tak sekadar omong kosong. Pada 3 Mei 2018, Kavkaz Uzel, surat kabar Rusia yang berfokus pada peristiwa di Kaukasus, melaporkan bahwa ISIS telah memerintahkan unitnya di Rusia untuk melakukan serangan teror terhadap target di Piala Dunia 2018 dan di 11 kota yang dipilih sebagai tuan rumah untuk Piala Dunia.

Brian Glyn Williams dan Robert Troy Souza dalam makalah berjudul "The Islamic State Threat to the World Cup" menyebut sulit memprediksi apakah ancaman ini serius dan teroganisir atau tidak.

"Namun, ada kans tipis bahwa aksi ancaman di media ini merupakan bagian dari upaya bersama namun dilakukan oleh sel-sel yang bergerak dengan bimbingan tersembunyi," tulis mereka.

Kenapa Rusia Jadi Target?

Pada Desember 2010, Rusia terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2018. Presiden Rusia Vladimir Putin kala itu menjanjikan tingkat keamanan level tinggi saat turnamen berlangsung.

"Mengingat langkah-langkah yang diambil dan pengalaman kejuaraan besar lainnya, kita akan dapat 100% [persen] untuk memastikan pesanan di stadion dan keamanan fans," ucapnya.

Rusia memiliki pengalaman selama hampir tiga dekade dalam melakukan aksi kontra-terorisme. Namun janji "100 persen aman" ini terganggu karena keterlibatan Rusia dalam sejumlah konflik. Lima tahun setelah terpilih jadi tuan tumah Piala Dunia 2018, Rusia mulai terseret ambisi global terlibat dalam konflik Suriah per September 2015 lalu dengan tajuk Operasi Vozmezdie (Operasi Pembalasan).

Mereka mulai mengerahkan puluhan pesawat pembom strategis Tupolev 95, berbagai tipe jet tempur Sukhoi terbaru, jet Mig 29 dan helikopter Mil Mi-24 beserta dengan komponen alutsista di darat dan ribuan pasukan khususnya. Kehadiran Rusia mampu membantu rezim Bashar Al Assad menggerus daerah yang dulunya dikuasai oposisi baik itu di Palmyra, Lattakia, Allepo atau Damaskus.

Tak hanya bertempur dengan ISIS, Rusia pun terbetot konflik dengan kelompok milisi lain, baik itu Pasukan Pembebasan Suriah (FSA) yang berhaluan moderat atau Hai'ah Tahrir Syam atau Ahras al Syam yang berideologi lebih radikal.

Intervensi Rusia menyelamatkan Assad dari ambang kekalahan, mau tak meningkatkan risiko ancaman terorisme di rumah mereka sendiri. Mereka memang memiliki masalah belum terselesaikan dengan gerilyawan muslim di wilayah pegunungan Kaukasus, mulai dari dua episode Perang Chechnya 1994-1996 dan 1999-2007, hingga berlanjut ke kelompok separatis Emirat Kavakaz yang berlangsung dari 2008 hingga sekarang.

Sejak 2015, ancaman teror ini mencapai dimensi yang baru saat Emirat Kavkaz berbaiat pada ISIS. Tak hanya pada ISIS, sebagian kombatan Kaukasus yang dipandang punya keahlian militer tingkat tinggi ini juga bergabung dengan faksi Islam lain di Suriah yang berseberangan dengan ISIS.

Beberapa hari setelah serangan Rusia di Suriah dimulai pada September 2015, Lebih dari 41 kelompok pemberontak Sunni di Suriah, seperti Ahrar al-Sham, Jaish al-Islam, dan Jabhat al -Shamiyah, memperingatkan Rusia bahwa "negara asing yang melakukan pendudukan di Suriah jadi target yang sah untuk diserang".

Ancaman serupa dikeluarkan Jabhat Al Nusra (Sekarang Hayat Fath Al Sham) yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan punya relasi dengan mujahidin Kaukakus. Lewat juru bicara Abu Muhammad al-Julani mereka menyerukan "mujahidin di Kaukakus mengalihkan perhatian Rusia dari Perang Suriah dengan menyerang mereka di negara sendiri".

Tidak mau kalah, ISIS mengeluarkan seruan sama. Dalam sebuah rekaman audio juru bicaranya, Abu Mohammed al-Adnani mengintruksikan simpatisan ISIS mulai menggelorakan perang melawan Rusia.

Sejak deklarasi ini, ada banyak aksi teror dilakukan oleh mereka yang terinspirasi dari ISIS atau kelompok jihadis lainnya. Serangan gencar serangan teror dimulai pada tanggal 31 Oktober 2015, ketika sayap militer ISIS di Gurun Sinai Mesir meledakan pesawat Rusia yang menewaskan 224 orang. Lalu berlanjut saat Dubes Rusia di Turki, Andrei Karlov, ditembak pasukan khusus Turki yang bersimpati terhadap jihadis di Aleppo.

Awalnya, sebagian besar serangan yang diilhami oleh ISIS dilakukan terhadap pasukan keamanan Rusia di Republik Dagestan, yang berpenduduk mayoritas Muslim. Pada 30 Desember 2015, orang-orang bersenjata yang terinspirasi ISIS menembaki orang-orang yang berdiri di teras benteng kuno Derbent di Dagestan. Insiden ini menewaskan satu perwira dan melukai 11 lainnya. Pada akhir Februari 2016, polisi kembali jadi target, saat seorang pembom bunuh diri menerobos pos polisi di kota Dzhimikent, Dagestan, hingga menewaskan dua petugas.

Ada setidaknya belasan aksi teror baik itu inghimasi atau bom bunuh diri yang dilakukan di teritorial wilayah Rusia. Teror ini bahkan tak hanya dilakukan di wilayah konflik pegunungan Kaukakus saja. Serangan gencar juga terjadi di Moskow, Nizhny Novgorod atau St. Petersburg, tiga kota penyelenggara Piala Dunia yang jaraknya 2000 kilometer dari Dagestan.

Pada 17 Agustus 2016, dua ekstremis Chechnya, menggunakan kapak dan senjata api, berusaha membunuh dua petugas polisi di sebelah timur Moskow. Kedua petugas polisi terluka parah, tetapi selamat. Selang, 23 Oktober 2016, serangan tembakan acak pada polisi terjadi Nizhny Novgorod.

Pada 14 November 2016, Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) menggagalkan rencana melakukan serangan dengan target massal ala Paris di mal-mal Moskow dan St. Petersburg. Sebelum aksi digelar, para terduga bisa ditangkap.

Namun pengamanan ini bobol juga. Pada 3 April 2017, simpatisan ISIS melakukan aksi bom bunuh diri di Stasiun Sant Petersburg yang menewaskan 15 orang dan melukai 45 orang lainnya. Serangan ini dilakukan Akbarjon Djalilov, warga Rusia turunan Uzbekistan.

Tiga minggu setelah serangan itu, kelompok misterius yang mengaku berafiliasi dengan al-Qa`ida, Katibat Imam Shamil (Imam Shamil Batalyon) mengaku bertanggung jawab dan menyebut Djalilov sebagai "ksatria Islam" yang dikirim oleh pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri.

Ancaman yang Datang dari Segala Penjuru

Masih dikutip dari makalah berjudul "The Islamic State Threat to the World Cup", pihak keamanan Rusia saat ini direpotkan oleh empat hal. Pertama, para returnis yang baru saja pulang berlatih dan bertempur di Suriah. Data Soufan Group mencatat setidaknya ada 3400 warga Rusia yang berjihad di Suriah dan Irak.

Data Pusat Studi Strategis dan Internasional memperkirakan bahwa jika mereka digabung dengan para mujahidin di berbagai negara pecahan Uni Soviet lain, seperti Uzbekistan, Tajikistan dan negara Asia Tengah lain, total kombatan mencapai bisa 8.500 orang. Alhasil setelah bahasa Arab dan Inggris, bahasa Rusia adalah bahasa yang paling banyak digunakan kombatan ISIS di Irak dan Suriah.

Dengan runtuhnya kekhalifahan lewat jatuhnya Raqqa dan Mosul tahun ini, para kombatan yang punya pengalaman menggunakan senjata dan membuat bahan peledak banyak di antaranya sudah pulang kembali ke Rusia. Mereka datang tak terdeteksi, sebab returnis yang ditangkap aparat Rusia tidaklah begitu banyak.

Kedua, potensi ancaman datang dari sel-sel teror yang aktif namun tidak sempat berperang di Suriah. Pada 20 Juni 2015, sebagian besar pimpinan Perwira Kavkaz pimpinan-Dagestan yang tidak berimigrasi ke Suriah bersumpah setia kepada ISIS dan menjadikan wilayah mereka sebagai bagian dari Kekhilafahan. Wilayat Kavkaz mencakup beberapa republik Islam seperti Dagestan, Chechnya, Ingushetia, Karachay Balkaria, dan Karachay Cherkassia.

Juru bicara ISIS, Abu Muhammad al-Adnani, bahkan memberi selamat pada Emir Kavkaz, Abu Mohammad al-Qadari. Sebelum dibunuh pasukan khusus Rusia pada Desember 2016, Al Qadari sudah bersumpah meminta anak buahnya untuk menggelar "perang suci" di Rusia dan tak usah ke Suriah.

“Kami meminta Anda mematuhi perintah Khalifah ... kaum Muslim Kaukasus, bahwa mereka [harus] pergi keluar dan berjihad di Kaukasus,” seru Al Qadari.

Di sisi lain dalam beberapa bulan terakhir, operasi kontra terorisme rajin dilakukan Rusia di republik Kaukasia Utara, Dagestan, Chechnya, Ingushetia, dan Kabardino-Balkaria.

infografik isis di piala dunia

Human Right Watch menyebut pada dasarnya daerah yang keras, miskin dan tidak berkembang ini memang sulit dikendalikan dan masih berstatus sebagai zona perang. Wilayah yang lekat dengan pemberontakan ini banyak dipenuhi senjata, bahan peledak, dan ekstremis. Ditambah penindasan Rusia selama bertahun-tahun telah memunculkan kebencian, memudahkan para jihadis merekrut kaum muda dengan mengandalkan sentimen dendam.

Yang menjadi soal adalah daerah ini dekat dengan kota-kota penyelenggara Piala Dunia macam Sochi, Volgograd, Stavropol dan Rostov-on-Don. Di antara kota-kota ini, Sochi, Volgograd dan Rostov-on-don jadi sorotan utama. Penting untuk dicatat tiga kota ini dekat dengan wilayah yang diklaim bagian dari provinsi ISIS. Khusus untuk Sochi, kota ini merupakan ibu kota de facto dari kelompok etnis Muslim kuno Circassians yang dihancurkan dan diusir Rusia pada abad ke-19. Kota ini memiliki makna simbolik yang mendalam bagi para jihadis di Kaukasus utara yang membenci Rusia. Itulah mengapa saat ancaman pada Sochi dikeluarkan jelang Spanyol versus Portugal, pihak aparat langsung bergerak cepat.

Ketiga, adalah simpatisan yang bergerak secara sendirian dan tercuci otaknya lewat propaganda ISIS di media sosial. Poin keempat ini akan sangat sulit terlacak. Karena itulah propaganda ancaman ISIS untuk meminta simpatisannya bergerak sendirian tak bisa dianggap sebelah mata.

Serangan dengan pola ini terindikasi terjadi saat simpatisan ISIS menyerang dengan pisau dan kapak di kota Surgut, Siberia, pada 19 Agustus 2017 lalu. Pola yang sama terulang bulan Mei lalu ketika seorang pria melakukan aksi teror di Kota Stavropool, kota yang akan menggelar Piala Dunia.

Intensitas ISIS yang tak lelah mendorong simpatisannya bergerak dalam beberapa bulan terakhir jadi pertanda bahaya itu. Terbuka kemungkinan aksi teror tak semata melalui alat sederhana yang murah seperti pisau. Mungkin saja dilakukan dengan bom sederhana macam bom rice cooker atau IED, seperti yang terjadi dalam aksi Bom Boston Maraton atau kejadian di Stasiun St Petersburg. Ilmu peracikan bom sederhana amat mudah tersedia secara online.

Atas dasar inilah, Brian dan Robbert berani berasumsi potensi serangan teror di Piala Dunia kali ini lebih besar. "Berdasarkan sejarah baru-baru ini, bahwa ada motif kuat untuk ISIS dan kelompok jihad lainnya untuk menyerang Rusia, dan pola serangan dalam tiga terakhir tahun menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk menginspirasi serangan lebih lanjut." tulis Brian dan Robbert.

Kemampuan mereka mengancam Piala Dunia tak boleh dianggap remeh. Saat turnamen pemanasan, Piala Konfederasi digelar di Rusia pada musim panas 2017, FSB dilaporkan berhasil menggagalkan serangan teroris pada kereta berkecepatan tinggi rute Moskow dan St. Petersburg. Pelaku berencana menabrakkan dua kereta ini di dekat St. Petersburg.

Mengingat runutan kronologis di atas, tidak mengherankan bahwa ISIS dan kelompok jihad global lainnya telah melihat Piala Dunia sebagai peluang untuk mengancam Rusia.

Meski begitu Rusia tetap bersikukuh meyakinkan dunia turnamen kali ini akan baik-baik saja. Mereka selalu merujuk suksesnya penyelenggaraan Olimpaide Musim Dingin di Sochi pada 2014 lalu.

Kepala Komite Anti-Terorisme Nasional Rusia, Igor Kulyagin, mengatakan: "Kami telah belajar banyak saat acara Olimpiade Sochi dan acara besar lainnya."

Tapi perlu dicatat Piala Dunia adalah event yang melibatkan banyak kota, menjangkau 11 stadion di kota berbeda dan 37 lokasi tempat menginap tim. Tentu ini tak seperti Olimpiade Musim dingin di Sochi yang terpusat pada satu kota saja. Itu artinya jaringan transportasi antar kota-kota penyelenggara seperti kereta api, bus, dan pesawat terbang akan rentan.

Terlebih intensitas serangan simpatisan ISIS makin meningkat sejak April lalu. Itulah mengapa Departemen Luar Negeri AS pada awal tahun ini merekomendasikan warga negara mereka agar "mempertimbangkan kembali" menonton Piala Dunia di Rusia.

“Kelompok teroris terus merencanakan kemungkinan serangan di Rusia. Teroris mungkin menyerang dengan sedikit atau tanpa peringatan, menargetkan lokasi wisata, pusat transportasi, pasar/pusat perbelanjaan, dan fasilitas pemerintah lokal. Ancaman bom terhadap tempat-tempat umum adalah hal biasa.”

Seruan sama juga diungkap perusahaan analis intelijen Inggris IHS Jane yang menilai risiko peningkatan "kekerasan" pada fans di kota-kota penyelenggara tuan rumah.

Sampai memasuki laga-laga terakhir di babak grup, ancaman-ancaman itu memang masih belum terealisasi. Tapi Piala Dunia masih berlangsung sekitar dua pekan lagi. Segala kemungkinan masih terbuka. Aparat keamanan Rusia sedang bekerja keras untuk mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan buruk itu.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan