tirto.id -
Dalam surat telegram nomor STR/404/VI/OPS.1.3/2018 tersebut, Tito berpendapat bahwa petugas tidak perlu juga mendokumentasikan proses pencatatan suara tersebut.
Pendapat ini sedikit sulit mendukung transparansi penghitungan suara yang ada. Padahal, menurut Tito, bila ada sengketa administrasi Pilkada nanti, petugas Kejaksaan Agung dan Polri harusnya saling memberikan dokumen-dokumen yang bisa menjadi referensi sengketa tersebut.
"Kalau untuk kepentingan internal sendiri, kalau nanti ada sengketa pemilu, biasa laporan ke Gakkumdu [Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum], itu bisa jadi referensi," tegas Tito hari Senin (25/6/2018) di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tito mengaku, data-data referensi Polri tersebut tidak boleh bocor ke media ataupun dijadikan barang bukti apabila ada pidana tentang sengketa penghitungan suara. Oleh karena itu, TR ini semakin memperkuat larangan Tito tersebut. Namun, sumber referensi Polri pun menjadi tidak ada.
"Tidak bisa jadi barang bukti. Cuman bisa jadi referensi," tegasnya. "Kami tidak ingin nanti dikira berpihak dan lain-lain." kata Tito.
Selain TR tentang larangan dokumentasi, Tito juga pernah membuat TR berisikan beberapa larangan bagi anggotanya selama Pilkada 2018. Ada 13 poin yang disertakan dalam TR tersebut. Salah satunya, Polri tak boleh mendukung salah satu paslon, hingga berfoto dengan paslon tersebut.
"Kami sudah menyampaikan beberapa TR tentang netralitas berikut sanksinya di antaranya sanksi teguran, mutasi, demosi sampai terakhir PTDH. Saya sudah mengambil langkah yang dianggap tidak sensitif dan berpihak saya ganti," ujarnya.
Baca juga:
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yandri Daniel Damaledo