Menuju konten utama

Polri Harus Cermat Tangani Baku Lapor Terkait Pelecehan di BPJS TK

Korban dan terduga pelaku sama-sama akan melapor. Jika polisi tak cermat, korban bisa kena hukuman seperti yang dialami Baiq Nuril.

Polri Harus Cermat Tangani Baku Lapor Terkait Pelecehan di BPJS TK
Pendamping korban pelecehan seksual berinisial RA, Ade Armando mendatangi Bareskrim Polri di Kawasan Gambir, Jakarta, Rabu (2/1/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Terduga korban pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK), Dina (bukan nama sebenarnya), datang ke Kantor Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Mabes Polri, Rabu (2/1/2019). Ia datang untuk konsultasi terkait kasus yang dialaminya.

Semula, Dina ingin melaporkan kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan atasannya itu ke polisi. Namun, oleh polisi, ia disarankan berkonsultasi terlebih dahulu sebelum membuat laporan.

Kuasa hukum Dina, Heribertus Hartojo menyampaikan laporan kliennya baru akan disampaikan ke kepolisian hari ini, Kamis (3/1/2019).

"Kami sortir dulu, makanya di sini enggak langsung [melapor]," kata Heribertus saat ditemui di Kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (2/1/2018).

Menurut Heribertus, mereka masih akan mengkonsultasikan pasal yang tepat untuk kasus yang dialami kliennya serta menanyakan perihal barang bukti yang perlu disiapkan.

"Bagaimana detailnya, mungkin besok bisa lebih saya jelaskan. Saya enggak mau men-declare sekarang dulu pasalnya," terang Heribertus.

Di hari yang sama, anggota Dewan Pengawas BPJS TK yang merupakan terduga pelaku, Syafri Adnan Baharuddin juga akan menuntut Dina. Syafri akan menuntut Dina dengan dalih pencemaran nama baik dan UU ITE.

"Insya Allah [dalam] minggu ini. Nanti dikabarin," ujar kuasa hukum Syafri, Memed Adiwinata kepada Tirto, Rabu (2/1/2019).

Penegak Hukum Perlu Hati-Hati

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengingatkan aparat penegak hukum agar teliti menangani kasus ini. Ia menekankan pentingnya memandang kasus ini dari perspektif korban pelecehan seksual agar perempuan mendapatkan hak perlindungan hukum.

Hak tersebut dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PDF).

"Pihak kepolisian harus berhati-hati dalam melihat kasus ini. Persoalan pelecehan juga penting untuk diselidiki," kata Anggara kepada reporter Tirto, kemarin (2/1/2019).

Apabila kedua belah pihak sama-sama melapor, lanjut Anggara, penegak hukum dapat memprosesnya secara bersamaan, dengan tetap memahami kasus pelecehan seksual yang menjadi dasar persoalan.

"Korban dalam proses hukumnya juga berhak memperoleh perlindungan keamanan, bebas dari pertanyaan menjerat, dan berhak mendapatkan perlindungan," kata Anggara.

Kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja yang melibatkan atasan dengan bawahan seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Belum lama ini, kasus serupa terjadi di SMA Negeri 7 Kota Mataram, melibatkan Muslim, sang kepala sekolah dengan Baiq Nuril, guru honorer di sekolah tersebut.

Kasus tersebut berakhir dengan vonis enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Baiq Nuril. Ia dinilai melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE lantaran menyebarkan konten bermuatan asusila, berupa percakapan telepon antara dia dengan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram bernama Muslim.

"Sehingga, dalam konteks RA [Dina], jika nanti SAB [Syafri] melaporkan RA atas dugaan pencemaran nama baik, maka kepolisian harus secara profesional mampu menggali kebenaran tentang dugaan bahwa RA adalah korban kekerasan seksual yang sedang membela diri dan fakta bahwa korban telah melakukan upaya untuk memproses kasusnya di internal BPJS Ketenagakerjaan," jelas Anggara.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abul Muamar