tirto.id - Politisi PPP Asrul Sani menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap berlindung di balik status hukum tersangka untuk menunda penanganan kasus korupsi yang lebih besar.
Dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Indonesia misalnya, KPK menunda-nunda pengembangan kasus tersebut dengan alasan status Budi Mulya, pejabat Deputi Moneter dan Devisa Bank Indonesia, belum berkekuatan hukum tetap.
"Setelah kasus Pak Budi Mulia berkekuatan hukum tetap, kita melihat sampai sekarang kasus itu tidak diteruskan," kata Asrul dalam diskusi di Warung Daun, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9/2017).
Selain FPJP, Asrul juga menyebut banyak kasus di KPK yang tidak disertai penelusuran lebih lanjut kendati telah inkracht di pengadilan.
Bebe contoh lainnya, kata Asrul, seperti kasus koruspi dana talangan (bail out) Bank Century, penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan sebagainya
"Kalau kami tanya itu di RDP (Rapat Dengar Pendapat), selalu dibilang, yang lain belum berlanjut karena kami menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Lantaran hal tersebut, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S. Lankun, meminta KPK untuk menginventarisir dan mencatat setiap hasil keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pasalnya, dalam setiap agenda sidang, sangat mungkin tersangka memberikan kesaksian dan menyebut nama-nama yang dapat diusut untuk mengungkap kerugian yang lebih besar dan otak dari kasus korupsi tersebut.
Jika hal tersebut tak sanggup dilakukan, kata Tama, komisi antirasuah itu disarankan untuk melimpahkan pengananan kasus ke kejaksaan atau kepolisian (Supervisi).
"Dalam putusan tersebut ada konteks penyertaan atau pihak-pihak yang dianggap secara bersama-sama, ikut terlibat atau pernah (terlibat). Menurut saya ke depan, ini harus menjadi catatan KPK," ujarnya di tempat yang sama.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani