tirto.id - Keadaan di Papua mencekam setelah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus lalu. Buntutnya, Gedung DPRD Papua Barat habis dibakar massa, sejumlah properti di Papua pun rusak.
Atas hal ini, polisi diminta bersikap independen dengan menindak orang-orang yang melakukan provokasi di Surabaya dan orang-orang yang membakar Gedung DPRD Papua Barat. Hal ini diperlukan agar konflik berkelanjutan bisa dicegah.
"Kekerasan dan rasialisme tak bisa ditoleransi bila kita mau hidup dalam masyarakat yang beradab," kata peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono saat dihubungi pada Senin (19/8/2019) malam.
Andreas menyebut, minimnya penegakkan hukum terhadap provokasi bernuansa rasis dan kekerasan terhadap orang Papua selama ini turut jadi penyebab rasialisme terhadap orang Papua. Di sisi lain, hal itu pun menyuburkan semangat resistensi di kalangan orang Papua.
Karenanya, untuk kali ini polisi diminta tegas bersikap pada kedua belah pihak. Sebab, jika unjuk rasa berkelanjutan menjadi konflik, maka korbannya bisa siapa saja dan di mana saja.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pun telah mengungkapkan permintaan maafnya atas peristiwa yang terjadi di asrama Papua 16-17 Agustus lalu. Menurut dia, aksi itu dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang tidak mewakili masyarakat Jawa Timur.
Khofifah pun menyayangkan adanya ucapan-ucapan tidak pantas yang terlontar hari itu. Atas hal itu mantan menteri sosial ini menyatakan akan menjamin keamanan mahasiswa Papua di wilayahnya sehingga mereka terjamin dalam menjalankan studinya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Alexander Haryanto