tirto.id - Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Adi Deriyan mengatakan, pihaknya masih melakukan penyelidikan adanya dugaan pelangaran pidana dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Adi menyatakan, saat ini Polda Metro Jaya sedang mengumpulkan seluruh data yang ada untuk bisa dianalisa dan gelar perkara terhadap proyek reklamasi tersebut. “Dari sana nanti baru akan diputuskan ada pidananya atau tidak,” kata Adi, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Mantan Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri ini menambahkan, penyelidikan dilakukan untuk mendalami proses reklamasi yang mengundang polemik di publik. “Sebagian masyarakat menyatakan bahwa moratorium itu tidak tepat, tapi sebagian juga mengatakan bahwa moratorium itu sudah seusuai peraturan perundang-undangan,” kata Adi.
Proses penyelidikan ini sendiri sudah berjalan sejak bulan lalu. Meskipun Adi tak merinci tanggalnya, akan tetapi ia memastikan bahwa penyelidikan terkait isu ini sudah berjalan sebelum moratorium dicabut oleh Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan, pada pertengahan September lalu.
Penyelidikan tetap berjalan hingga saat ini. Adi menuturkan, penyidik sendiri telah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Surat itu berhubungan dengan permintaan keterangan dan dokumen mengenai reklamasi.
Selain itu, kata Adi, polisi juga masih mengkaji pasal-pasal apa saja yang dirasa bermasalah. Namun, ia enggan membuka pasal-pasal mana saja yang dijadikan acuan penyidik untuk melakukan penyelidikan. Adi hanya menerangkan bahwa penyidik telah melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi terkait, tetapi hasil penyelidikan masih belum disampaikan.
“Ini kan masih proses penyelidikan. Pastinya nanti setelah melewati proses penyelidikan, mereka pasti akan melaporkan proses hasil penyelidikan kepada saya,” kata Adi.
Kepolisian tidak menargetkan kapan penyelidikan selesai. Hal ini dikarenakan polemik dan perbedaan pandangan di masyarakat soal proyek reklamasi ini, dan tentunya polisi harus memeriksa seluruh informasi yang ada. Adi khawatir kalau penyidik diburu-buru, maka hasil yang diberikan juga tidak akan maksimal.
“Lebih baik yang maksimal. Jadi kami juga tahu masalah seperti apa. Jadi nanti juga kalau ada teman-teman yang menganggap reklamasi bermasalah, kami sudah punya database, kami sudah punya pengetahuannya, kami sudah mengetahui permasalahannya. Jadi nanti kalau ada hal-hal itu, kami sudah mengerti dan mengetahui landasan hukum apa yang melandasi pembangunan reklamasi,” kata Adi.
Pada 16 Oktober 2017 mendatang, proyek reklamasi ini sendiri akan beralih pengawasannya kepada Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan. Kendati demikian, Adi meyakini tidak akan ada permintaan dari kepolisian untuk menghentikan kelanjutan reklamasi untuk sementara.
Hal itu berlawanan dengan harapan dari Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Tigor Hutapea. Pria yang juga merupakan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terkait kasus ini berharap agar proyek reklamasi bisa segera dihentikan pada kepemimpinan gubernur yang baru.
“Ini juga harus dihentikan pada akhirnya. Itu bisa dijadikan alasan dasar untuk menghentikan itu (reklamasi). Nanti kebijakannya ada di gubernur yang baru lah untuk menghentikan itu,” kata Tigor saat dihubungi Tirto, Selasa (10/10/2017).
Terkait kasus ini, Tigor mengaku mengetahui pasal mana yang dianggap dilanggar dalam proyek reklamasi melalui pemanggilan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa hari lalu oleh kepolisian. Tigor menilai bahwa Pasal 73 dan Pasal 75 UU Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27/2007 soal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dipermasalahkan sudah sesuai untuk memenuhi pelanggaran pidana dalam reklamasi.
“Menurut pandangan kami memang terjadi kerusakan pada lingkungannya, khususnya Pasal 73. Karena Pasal 73 kan bicara soal kerusakan lingkungannya kan. Nah, itu menurut saya udah bisa memenuhi unsur. Kalau Pasal 75-nya ada masalah di izin lokasi. Kalau enggak ada izin lokasi itu kan, maka enggak bisa reklamasi itu tanpa izin lokasi,” kata Tigor.
Tigor berpendapat, Pasal 73 sendiri sudah sangat penting untuk ditelaah oleh kepolisian. Sampai sekarang, kata Tigor, Kiara sudah sering membahas terkait dampak lingkungan yang terjadi karena pembangunan Teluk Jakarta, terutama pada tanaman mangrove atau bakau yang ada di sekitaran pembangunan Pulau C, D, dan G.
“Kami belum dapat panggilan [untuk diminta keterangan] dari kepolisian,” katanya. “Tapi nanti kalau polisi ingin melihat kerusakan-kerusakannya, kami siap dimintai keterangan.”
Selain itu, kata Tigor, dalam Pasal 75 dikatakan bahwa siapapun yang tidak memiliki izin lokasi untuk menjalankan kegiiatan pesisir, maka dikenakan sanksi paling lama 3 tahun penjara. Sejauh ini, Tigor meyakini bahwa izin lokasi itu tidak pernah ada. “Makanya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu mereka (pihak pengelola reklamasi) dikalahkan terus,” kata Tigor.
Tigor menilai adanya pelanggaran pidana ini jelas masuk akal. Pembahasan peraturan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) belum selesai dilakukan, namun izin lokasi bisa keluar. Padahal, kata Tigor, jika ingin izin zonasi bisa keluar, maka RZWP3K harus diselesaikan terlebih dahulu.
“Itu salah satu persyaratan kalau kamu melakukan pembangunan. Kamu kalau membangun pesisir, lokasinya harus berdasar pada lokasi yang ditentukan oleh Peraturan Daerah. Nah, Peraturan Daerah itu berdasar pada Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemerintah sekarang enggak punya itu, jadi izin lokasinya jelas enggak bisa keluar,” terang Tigor.
Oleh sebab itu, Tigor juga mengkritisi pencabutan moratorium oleh Luhut beberapa waktu lalu. Dalam surat yang disetujui Luhut tentang pencabutan moratorium, dikatakan bahwa permasalahan hukum sudah selesai semua. “Tapi padahal itu Permen (untuk mengganti Perda) nya enggak ada, juga izin lokasi enggak punya. Jadi Luhut juga melakukan kesesatan dalam mencabut moratorium itu,” kata Tigor.
Tidak Terpengaruh Amdal yang Sudah Diterbitkan
Penyelidikan Pasal 73 oleh kepolisian terkait adanya dugaan kerusakan lingkungan, terutama tanaman bakau, kata Tigor, tidak terpengaruh dengan adanya AMDAL (Analisis dampak lingkungan) yang dimiliki oleh pengembang proyek reklamasi. Sebab, penyelidikan polisi tidak berlaku pasang surut.
Tigor meyakini bahwa polisi akan bisa menemukan pelanggaran kerusakan terhadap tanaman bakau sebelum AMDAL dikeluarkan. Apabila memang terbukti bahwa sebelum AMDAL keluar ada kerusakan lingkungan, Tigor yakin pihak korporasi atau pengembang reklamasi bisa dikenakan tuntutan pidana.
“Kan yang diperiksa ini yang sebelumnya. Polisi itu kan melakukan pemeriksaan terhadap kejadian yang sudah terjadi,” kata dia. “Yang bisa dipidana itu adalah peristiwa sebelumnya. Peristiwa sebelumnya artinya peristiwa sebelum AMDAL ini keluar.”
Tigor juga menampik adanya kemungkinan bahwa meski pidana ditemukan, reklamasi akan tetap bisa dilanjutkan dengan pengkajian ulang AMDAL atau izin lokasi. Ia menuturkan bahwa masalah pelanggaran Pasal 73 dan Pasal 75 UU Nomor 1 Tahun 2014 merupakan pidana yang tentunya harus diselesaikan juga dengan sanksi pidana.
“Yang melakukan kerusakan itu harus mendapatkan sanksi pidana. Pelanggaran sudah terjadi maka tidak mungkin menghapus sanksinya kan. Kedua, reklamasi harus dihentikan,” yakinnya.
Untuk diketahui, dalam Pasal 73 poin (c) dituliskan bahwa siapapun yang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove dan melakukan konversi ekosistem mangrove ataupun menebak mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman bisa dipenjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar.
Sedangkan dalam Pasal 75 dikatakan bahwa siapapun yang memanfaatkan ruang dari sebagian perairan atau pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kcil harus memiliki izin lokasi. Jika tidak, maka mereka bisa dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz