Menuju konten utama

Polemik Pemanggilan Paksa Miryam Haryani oleh Pansus DPR

Hifdzil Alim dari Pukat UGM menilai sikap KPK yang tidak mengizinkan Miryam S Haryani hadir dalam rapat Pansus Hak Angket KPK sudah tepat. Jika mengizinkan, KPK bisa melanggar undang-undang.

Polemik Pemanggilan Paksa Miryam Haryani oleh Pansus DPR
Anggota Koalisi Tolak Hak Angket KPK memperlihatkan berkas laporan usai membuat pelaoran kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/6). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK pada Senin (19/6/2017) memanggil tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang dugaan korupsi e-KTP, Miryam S Haryani. Politisi Partai Hanura ini dipanggil pansus untuk dimintai keterangan soal kebenaran adanya penekanan oleh anggota Komisi III DPR.

Pansus Hak Angket KPK DPR pun telah melayangkan surat pemanggilan untuk Miryam yang ditujukan kepada Ketua KPK, Agus Rahardjo, pada 15 Juni lalu. Namun, komisi antirasuah menegaskan tidak akan menghadirkan Miryam dalam rapat Pansus Hak Angket KPK yang rencananya digelar hari ini.

Pansus Hak Angket KPK pun berencana akan menjadwalkan pemanggilan kedua terhadap Miryam. Jika panggilan tersebut tak dipenuhi sebanyak tiga kali, maka Pansus Hak Angket akan melakukan pemanggilan paksa.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting menilai sikap KPK untuk tidak mengizinkan Miryam Haryani hadir di rapat Pansus Hak Angket sudah tepat. Menurut Miko, kehadiran Miryam di Pansus Hak Angket justru berpotensi mengaburkan pemeriksaan pro justitia yang sedang dilakukan oleh KPK.

Terlebih, kata Miko, status Miryam yang saat ini sedang dikenakan penahanan oleh KPK. Sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Artinya, kata Miko, KPK berwenang untuk menempatkan seseorang pada tempat tertentu dalam pengawasannya sepanjang untuk alasan pemeriksaan penegakan hukum.

“Pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani telah dan sedang berlangsung. Begitu juga praperadilan yang bersangkutan telah ditolak oleh pengadilan. Patut diperkirakan tidak lama lagi, terhadap perkara ini akan dilakukan penuntutan di muka persidangan,” kata Miko dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto.

Oleh karena itu, kata Miko, sebaiknya pemeriksaan dibiarkan berjalan sesuai koridor penegakan hukum yaitu di persidangan. Keterangan yang bersangkutan dapat digali secara mendalam di muka persidangan dalam koridor penegakan hukum.

“Upaya untuk menghadirkan Miryam S. Haryani di Pansus Hak Angket merupakan proses politik yang dapat mengaburkan proses penegakan hukum,” ujarnya.

Pemanggilan Paksa

Keberatan komisi antirasuah untuk menghadirkan Miryam S. Haryani telah diantisipasi oleh Pansus Hak Angket KPK. Mereka kemungkinan akan menggunakan mekanisme panggil paksa, apabila KPK bersikukuh menolak permintaan pansus untuk menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang e-KTP tersebut.

Anggota Pansus Hak Angket KPK, Bambang Soesatyo mengatakan bahwa perintah pemanggilan paksa itu, selain diatur dalam konstitusi juga tercantum di Pasal 204 UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Menurut Bambang, jika tidak memenuhi panggilan tiga kali berturut-turut, maka Pansus Hak Angket KPK bisa meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa. Politisi Partai Golkar ini menambahkan bahwa dalam UU MD3 dinyatakan secara tegas bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA) yang dipanggil panitia angket wajib memenuhi panggilan.

“Kalaupun nanti terjadi pemanggilan paksa oleh Kepolisian untuk dihadirkan pada sidang Pansus Hak Angket, itu bukanlah keinginan Pansus DPR ataupun Polri, tapi perintah UU,” kata dia, dilansir Antara, Minggu (18/6/2017).

Menanggapi upaya penjemputan paksa tersebut, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim mengatakan bahwa pemanggilan paksa itu termasuk bagian dari hak angket DPR. Hanya saja, kata Hifdzil, pembentukan Pansus Hak Angket KPK ini masih dinilai bermasalah dan inkonstitusional.

“Mana bisa pemanggilan paksa bisa diterbitkan dari hak yang bermasalah dan inkonstitusional. Enggak bisa [pemanggilan paksa],” kata Hifdzil saat dikonfirmasi Tirto, Senin (19/6/2017).

Sejak awal pengajuan hak angket ini memang sudah menuai kontroversi. Bukan hanya penolakan dari sejumlah fraksi di DPR, bahkan Asosiasi Pengajar Tata Hukum Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menilai pembentukan pansus tersebut cacat hukum.

Ketua Umum DPP APHTN-HAN, Mahfud MD mengatakan pembentukan pansus tersebut dinilai cacat hukum karena tiga hal, yaitu: Pertama, subjeknya keliru. Kedua, objeknya keliru. Ketiga, prosedurnya juga salah.

Menurut Mahfud, maksud dari kesalahan subjek adalah karena seharusnya hak angket itu ditujukan kepada pemerintah dan bukannya kepada KPK langsung. Selanjutnya, apabila mengacu pada Pasal 79 Ayat (3) UU MD3, hak angket DPR berfungsi untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah, bukan lembaga di luar struktur pemerintahan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menduga telah terjadi pelanggaran UU dalam prosedur pembentukan pansus. “Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu, masih banyak yang tidak setuju tiba-tiba diketok,” ujarnya.

Selain itu, di dalam UU disebutkan bahwa materi hak angket itu menyangkut hal penting. Menurut Mahfud, kasus penetapan Miryam sebagai tersangka kesaksian palsu oleh KPK tidak ada strategisnya dan tidak berpengaruh luas ke masyarakat.

Siapa yang Melanggar Konstitusi?

Pansus Hak Angket KPK DPR tidak hanya mengancam akan melakukan pemanggilan paksa. Pansus juga menuding KPK melanggar etika dan konstitusi ketika menolak permintaan pansus untuk menghadirkan Miryam S Haryani dalam rapat Pansus Hak Angket KPK yang rencananya digelar hari ini.

“KPK sama sekali tidak punya dasar untuk menolak permintaan Pansus Hak Angket. Jika menolak, itu melanggar etika dan konstitusi,” kata Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Taufiqulhadi, seperti dikutip Antara.

Taufiqulhadi menyatakan, secara etika telah menimbulkan tanda tanya besar, kenapa KPK menolak sekadar menghadirkan Miryam ke Pansus Angket. Ia menilai sebenarnya secara etika mudah ditebak, jika KPK bersikukuh menolak permintaan pansus, itu berarti KPK tidak memiliki rasa percaya diri.

Politikus Partai Nasdem itu menjelaskan Pansus Hak Angket KPK tidak akan mempersoalkan urusan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) namun ingin mengonfirmasi saja apakah benar Miryam S Haryani yang menulis surat yang terakhir. Dalam surat itu, kata dia, Miryam mengatakan tidak pernah di tekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR.

Sementara berkaitan dengan konstitusi, Taufik menjelaskan, Hak Angket KPK jelas merupakan amanah konstitusi, bukan sekedar UU. Menurut dia, jika KPK menolak, berarti komisi antirasuah itu menentang amanah konstitusi RI.

Tudingan tersebut dipertanyakan oleh Hifdzil Alim. Pria yang juga dosen hukum tata negara di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menilai yang melanggar konstitusi sebenarnya bukan KPK, melainkan DPR. Menurut Hifdzil, langkah komisi antirasuah yang tidak memberikan izin terkait pemanggilan Miryam sudah tepat.

“Sudah tepat [tidak memberikan izin]. Kalau KPK mengizinkan, maka KPK bisa melanggar undang-undang,” kata Hifdzil Alim.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti