Menuju konten utama

Polda Jawa Timur akan Usut Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua

Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan pihaknya juga mencari akun penyebar konten yang dianggap provokatif itu.

Polda Jawa Timur akan Usut Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua
Sejumlah anggota Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim bersiap masuk ke dalam Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Jajaran Polda Jawa Timur akan mengusut dugaan tindak rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

"Dilakukan (penyelidikan)," kata Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera, ketika dihubungi Tirto, Selasa (20/8/2019).

Ia menambahkan pihaknya juga mencari akun penyebar konten yang dianggap provokatif itu.

"Masih kami profilkan," ucap Barung.

Sementara, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan memastikan jika pemeriksaan insiden perusakan bendera tetap berjalan, bahkan sudah beberapa saksi diperiksa di Mapolrestabes Surabaya.

"Sudah, pemeriksaan saksi terkait bendera dan lain-lainnya itu sudah kami periksa dan memang berita ini datangnya dari mana, TKP (tempat kejadian perkara) juga waktu itu sudah tidak ada," ucap dia.

Sebelumnya, peneliti senior Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono menilai pemerintah harus turun tangan menyelesaikan persoalan rasialisme yang acap kali tersasar pada masyarakat Papua.

“Presiden Jokowi dan kepala-kepala daerah tersebut harus mendidik soal rasialisme bahwa menyebut orang hitam sebagai 'monyet' adalah tidak baik, tidak menghormati orang dengan kulit hitam,” kata Andreas saat dihubungi reporter Tirto.

Andreas menilai bahwa pemerintah perlu segera duduk satu meja dan berunding dengan Organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan persoalan yang sarat muatan politis tersebut.

Masalah mendasar terjadi di Papua ialah rasialisme. Hal ini kemudian menyebabkan pemiskinan terhadap para etnik Papua itu sendiri. Ia sesali lantaran hal tersebut diakui dalam sidang umum PBB.

"Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembatasan jurnalisme yang independen sejak 1963, maupun perubahan demografi secara drastis, pendatang tumbuh 10.8 persen per tahun, penduduk asli hanya 1,8 persen, antara 1971 dan 2000; pengrusakan lingkungan besar-besaran buat tambang dan perkebunan sawit serta manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969," ucap Andreas.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nur Hidayah Perwitasari