tirto.id - Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengapresiasi ketertiban peserta demo #GejayanMemanggil2 yang dihadiri oleh mahasiswa, pelajar, buruh, masyarakat umum hingga gelandangan di pertigaan Colombo, Gejayan, Sleman, DIY, Senin 30 September 2019.
"Kita mengapresiasi teman-teman mahasiswa dan adik-adik pelajar ataupun elemen masyarakat lain yang melaksanakan aksi hari ini, mereka bisa tertib," kata Kepala Bidang Humas Polda DIY Kombes Pol Yulianto seusai aksi, seperti dilansir Antara.
Selama aksi berlangsung, kata Yulianto, tidak ada laporan kerusuhan atau gesekan. Selama aksi itu, aparat melakukan pengalihan arus lalu-lintas menuju pertigaan Colombo. "Alhamdulillah semua kondusif," kata dia.
Mahasiswa peserta demonstrasi Gejayan Memanggil jilid 2 mulai membubarkan diri pukul 16.00 WIB. Mereka kembali ke titik kumpul masing-masing yaitu di UIN SUKA dan UGM.
Sebelum membubarkan diri, mereka menyanyikan lagu-lagu, seperti Indonesia Tanah Air Beta, Sayonara, dan Entah Apa yang Merasukimu. Beberapa poster hari ini juga menyinggung DPR dg lagu tersebut, "entah apa yang merasukimu DPR?"
Mahasiswa juga membubarkan diri dengan meneriakkan yel yel "sahkan sahkan RUU PKS"; "berantas berantas kebakaran hutan, kebakaran hutan sekarang juga"; "berantas berantas berantas korupsi, berantas korupsi sekarang juga".
Aksi ini dimulai sekitar pukul 12.00 WIB. Mahasiswa dari UGM dan UIN bergerak ke arah Jalan Affandi atau Jalan Gejayan untuk melakukan orasi sejak sekitar pukul 14.00 hingga pukul 16.00 WIB.
Orasi yang disampaikan hari ini menuntut pengesahan RUU PKS, kekerasan pada jurnalis, kekerasan pada mahasiswa dan aktivis. Ada sembilan tuntutan yang diajukan dalam demo Gejalan Memanggil 2.
Juru Bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Nailendra, mengatakan terdapat sejumlah masalah demokrasi di Indonesia yang belum terselesaikan usai Reformasi'98.
"Permasalahan yang menyerang KPK. Pertama, permasalahan yang marak dibahas adalah bagaimana dengan statusnya sebagai lembaga independen menegakkan hukum di bidang korupsi dalam RUU Tindak Pidana Korupsi," kata Nailendra.
"Kedua, salah satunya yang juga menarik dibahas adalah pegawai KPK yang tidak lagi menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK." Ia melanjutkan, permasalahan ketiga, status ASN yang akan memengaruhi dan menimbulkan pertanyaan terkait independensi KPK dan pemerintah.
Keempat, adalah penyelidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian. Tak hanya KPK, persoalan lainnya soal pelanggaran HAM dan HAM berat. Hal ini implikasi dari permainan elite politik dalam dinamika UU Pengadilan HAM salah satunya adalah impunitas.
Impunitas didefinisikan sebagai ketidakmungkinan pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Hal ini menjadi kegagalan negara dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Terbukti, hampir seluruh pengadilan HAM berakhir tanpa pelaku yang dijerat pidana, kata Nailendra. Ada juga permasalahan UU Pertanahan, militerisme dan pelanggaran HAM di Papua serta pembakaran hutan.
Editor: Agung DH