Menuju konten utama

Plus Minus Cinta Satu Kantor

Beberapa perusahaan di Indonesia melarang karyawannya menikah dengan rekan kerja satu kantor. Kebijakan ini awalnya dianggap sudah lazim, sampai akhirnya ada orang-orang yang menggugat dasar hukum aturan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah cinta satu kantor selalu negatif?

Plus Minus Cinta Satu Kantor
Ilustrasi pasangan sekantor. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Hubungan percintaan antara dua karyawan di dalam satu perusahaan atau institusi cenderung dihindari oleh manajemen. Biasanya dikemas melalui kode etik atau aturan perusahaan yang tujuannya mencegah konflik kepentingan hingga persoalan kekhawatiran penurunan kinerja seorang karyawan atau pegawai.

Sehingga sudah jadi hal yang lazim, bagi karyawan yang menjalin hubungan percintaan dengan rekan sekantornya, memutuskan untuk merahasiakan hubungan. Efek lanjutannya bila mereka ingin menikah, maka salah satunya harus mengundurkan diri.

Kurniawan misalnya, editor di salah satu koran nasional, menikahi seorang reporter di perusahaan media yang sama tahun lalu. Keduanya tak memiliki konflik kepentingan karena bekerja di desk yang berbeda. Namun, aturan perusahaan yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tak mentolerir itu. Salah satu dari mereka harus mengundurkan diri.

“Tetapi kalaupun kantor membolehkan, salah satu dari kami tetap akan resign. Karena menurutku lebih sehat kalau tidak satu kantor. Lebih baik buat profesionalitas dan rumah tangga,” jelas Kurniawan.

Bernasib sama dengan Kurniawan dan pasangannya, seorang karyawan PT PLN bernama Yekti Kurniasih di Jambi juga kehilangan pekerjaannya karena menikahi teman sekantor. Berbeda dengan Kurniawan yang pasrah mengikuti aturan yang sudah dianggap umum, Yekti tak terima dengan aturan semacam itu. Ia dan tujuh rekannya sesama pegawai PLN mengajukan permohonan uji materi Undang-undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin, pekan lalu.

Pada pasal 153 ayat 1 huruf f UU No 13 tahun 2003, tertulis pernyataan "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.” dalam pasal itu lah yang menurut Yekti dan rekannya harus dihapuskan. Pasal ini lah yang dipakai perusahaan untuk memasukkan aturan internal soal larangan menikah sesama karyawan di satu perusahaan.

Larangan pernikahan atau hubungan romantis sesama karyawan bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa perusahaan dan institusi di negara lain juga melakukan hal serupa. Workplace romance, istilahnya. Ada beberapa kategori dari workplace romance, ada yang hanya berpacaran, berselingkuh, dan berpacaran lalu menikah. Apapun kategorinya, banyak perusahaan atau institusi yang melarang keras workplace romance.

Sehingga mereka yang terlibat percintaan, menjalin hubungan sembunyi-sembunyi hingga menjadi sebuah buah bibir karena sosok yang bersangkutan merupakan tokoh publik. Pada 2007, Presiden Bank Dunia Paul D. Wolfowitz mengundurkan diri karena konflik kepentingan dari hubungan percintaan dengan seorang stafnya bernama Shaha Ali Riza. Hal itu melanggar kode etik Bank Dunia.

Infografik Menikah Sekantor

Menurut Journal of Business Inquiry yang terbit pada 2009, ada beberapa alasan soal larangan memiliki hubungan percintaan dengan teman sekantor. Salah satunya adalah turunnya performa kerja karena terlalu sibuk dengan urusan percintaan di kantor. Belum lagi jika hubungan percintaan atau pernikahan itu berakhir dengan cara yang tidak baik. Perusahaan akan terkena imbasnya, karena hubungan kedua orang yang bersangkutan tak akan baik lagi. Di sisi lain mereka harus tetap bersama dalam satu tim di tempat kerja.

Menyoal kekhawatiran turunnya produktivitas karyawan yang menjalin asmara sekantor, tak semua penelitian menunjukkan adanya penurunan kinerja bagi mereka yang terlibat asmara. Dalam jurnal itu disebutkan bahwa penelitian yang dilakukan Pierce dan Aguinis pada 2009 menunjukkan hasil positif dari hubungan romantis di tempat kerja.

“Namun, dampak negatif dari hubungan yang gagal tidak bisa diabaikan, terutama jika salah satu pihak atau keduanya menyimpan dendam dan marah,” demikian tertulis dalam jurnal berjudul Responding to Workplace Romance: A Proactive and Pragmatic Approach tersebut.

Selain itu, ada potensi konflik kepentingan dan nepotisme. Terlebih jika keduanya bekerja dalam satu divisi yang sama dengan tingkat jabatan yang berbeda. Namun, ada juga penelitian yang menyimpulkan justru ada dampak positif dengan membiarkan para pekerja menikah dalam satu kantor yang sama. Menurut penelitian yang dilakukan Heathfield pada 2002, asmara di tempat kerja malah dapat memicu produktivitas yang lebih tinggi karena masing-masing dari pasangan itu akan merasa malu terhadap pasangannya ketika performanya menurun.

Persoalan konflik kepentingan yang sering ditakutkan perusahaan masih bisa diantisipasi dengan tidak menempatkan pasangan yang menikah dalam satu divisi. Akuntabilitas dan transparansi dalam perusahaan juga akan mengikis kesempatan untuk berlaku curang.

Hal positif lain adalah perusahaan tak perlu kehilangan sumber daya manusia yang telah terlatih dan memahami kerja-kerjanya dengan baik. Sebab biaya pelatihan karyawan tidaklah murah. Karyawan yang menikah dan bekerja di perusahaan yang sama cenderung lebih loyal.

Dari hitung-hitungan bisnis, membiarkan dua karyawan menikah akan menghemat biaya jaminan kesehatan. Karena perusahaan tak perlu membayarkan jaminan kesehatan bagi istri atau suami sebab keduanya sudah bekerja di situ dan mendapat hak jaminan kesehatan layaknya setiap karyawan.

Uji Materi UU Ketenagakerjaan yang diajukan Yekti dan kawan-kawannya ke MK, jika diterima, akan memberikan keleluasaan bagi para pekerja untuk jatuh cinta dan menikah dengan teman sekantornya. Kalaupun mereka memutuskan salah satunya akan mengundurkan diri, seperti yang dilakukan Kurniawan dan istrinya, setidaknya itu atas kesadaran mereka bukan karena kungkungan aturan perusahaan.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra