tirto.id - Terdakwa kasus ujaran kebencian Asma Dewi membacakan pledoi pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada Selasa (20/2/2018). Asma membacakan pledoi sepanjang 8 halaman.
Saat membacakan pledoinya, Asma mengaku menjadi korban politik. "Sebenarnya saya bingung dengan yang saya alami. Maaf, kalau saya merasa dizalimi dengan politik kejam," kata Asma di PN Jakarta Selatan.
Asma juga mengungkapkan anggapan dia tentang kekeliruan polisi dalam menangani perkaranya. Asma mencontohkan surat penggeledahan terhadap dia baru dibuat setelah dirinya ditahan di Polda Metro Jaya. "Surat penggeledahan baru dibuat setelah saya ditahan 15 hari di polda," kata Asma.
Asma juga menilai aparat kepolisian bertindak berlebihan saat menangkapnya. Hal ini karena, menurut dia, polisi melompati pagar rumahnya di bilangan Ampera, Jakarta Selatan, saat penangkapan itu.
"Pada saat aparat lompat pagar, banyak tetangga saya, termasuk pegawai RW, menyaksikan dan menelepon kakak saya agar segera pulang karena mereka menganggap aparat sudah kelewat batas," kata Asma. "Aparat lompat (pagar) dengan alasan takut saya melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Sedangkan saya tidak tahu mau ditangkap atas tuduhan apa."
Sembari menahan tangis, Asma juga menampik tudingan pernah mentransfer uang sebesar Rp75 juta rupiah kepada Saracen Cyber Team, sindikat penyebar berita palsu atau hoaks yang dibongkar oleh polisi. Asma menegaskan tuduhan tersebut adalah fitnah dan tidak ada dasar buktinya.
"Saya masih ingat polisi baru berhenti menghubung-hubungkan saya dengan Saracen setelah mereka mengacak-acak rekening saya dan tidak ada transaksi transfer sebesar Rp75 juta. Dari mana saya punya duit sebanyak itu sedangkan ongkos hidup sehari-hari saya saja sudah pas-pasan," kata Asma.
Asma juga mempertanyakan langkah penyidik kepolisian memperkarakan unggahan akun facebook miliknya di tahun 2016. Sementara Asma mengaku sudah lupa dengan isi unggahan itu.
"Padahal saya ditangkap karena alasan Saracen. Mereka berbicara tentang postingan Facebook saya pada tahun 2016. Saya sendiri sudah lupa mengenai postingan itu. Pada 2016, keadaan aman dan tidak ada yang kenal siapa Asma Dewi dan tidak ada yang membully dan membenci saya," ucap Asma.
Asma pun membantah isi dakwaan yang menilai bahwa unggahannya di facebook memuat ujaran kebencian. Dia menilai unggahan itu merupakan kritiknya terhadap pemerintah.
"Pak Jokowi selaku Presiden pernah mengatakan pada saat terpilih, siap dikritik sekeras apa pun," kata Asma.
Asma Dewi menerima empat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. Pertama, dia didakwa melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016.
Kedua, Jaksa mendakwa Asma Dewi sengaja menumbuhkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis berupa membuat tulisan atau gambar, untuk diletakkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lain yang dapat dilihat atau dibaca orang lain. Perbuatan itu melanggar UU Anti Diskriminasi.
Ketiga, Jaksa mendakwa Asma Dewi telah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum. Perbuatan Asma itu melanggar Pasal 156 KUHP.
Keempat, Asma didakwa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina lembaga kekuasaan atau majelis umum yang ada di Indonesia. Perbuatan Asma itu diancam pidana pelanggaran Pasal 207 KUHP.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Addi M Idhom