tirto.id - Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menerima perwakilan Petani Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah, di gedung KLHK, Jakarta Pusat, Senin (28/8/2017).
Dalam pertemuan tersebut, para petani meminta KLHK melakukan intervensi hukum dalam penyelesaian konflik lahan antara Perhutani KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Kendal dengan petani Surokonto Wetan.
Selain itu, KLHK juga diminta memberikan pandangan hukum terkait dengan objek tukar guling lahan antara Perhutani KPH Kendal dengan PT. Semen Indonesia
Dalam hal penyelesaian konflik di Surokonto Wetan, Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) tak hanya menjerat Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin, melainkan juga banyak petani dari berbagai daerah.
Untuk itu, ia berharap "ada semacam penghentian sementara atau moratorium terkait dengan implementasi pelaksanaan hutan lindung." Sebab, lanjut Rasio, "pasal pengrusakan hutan (UU tersebut) tiap saat bisa mengikat Aziz-Aziz yang lain. Dan ini alasan hukum yang sering dipakai pihak pelapor maupun penyidik kepolisian."
Sementara dalam hal objek tukar guling lahan, ia menyampaikan bahwa saat ini pihaknya baru akan mempelajari laporan yang diterima dan belum dapat memberikan pandangan hukum maupun intervensi terkait hal tersebut.
"Kami sudah terima laporan dari para petani, dan akan kami pelajari terlebih dahulu sebelum memberikan pandangan hukum," tuturnya.
Perlu diketahui, konflik lahan antara Perhutani dan petani bermula dari ditetapkannya 127.821 hektar lahan Surokonto Wetan sebagai kawasan Hutan Produksi pada bagian hutan kalibodri seluas seluas 400 hektar melalui SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014.
Padahal lahan seluas 127.821 Ha sebelumnya dikelola oleh PT Sumur Pitu dengan Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1972, yang kemudian dijual kepada PT Semen Indonesia dan dijadikan objek tukar menukar dengan lahan Perhutani di Rembang yang digunaman untuk keperluan tapak pabrik semen.
Tiga Petani Ditetapkan Sebagai Tersangka
Konflik tersebut kemudian berujung pada kriminalisasi Nur Aziz (44 tahun), Sutrisno Rusmin (63 tahun) dan Mujiono (39 tahun) setelah Rovi Tri Kuncoro (Wakil Adm Perum Perhutani KPH Kendal) melaporkan ketiganya dengan tuduhan penguasaan kawasan hutan seluas 70 hektar pada 3 Mei 2017.
Ketika kasus tersebut bergulir di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum menuntut ketiganya dengan tuntutan maksimal, yakni pidana delapan tahun penjara dan denda sebesar Rp10 miliar. Pada 18 Januari 2017, hakim mengabulkan tuntutan jaksa tersebut.
Tak terima dengan putusan hakim, warga pun mengajukan banding dan meminta vonis terhadap ketiga rekan mereka dicabut. Atas permintaan PN Kendal, Pada 30 Maret 2017, dua dari tiga terdakwa tersebut yakni Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin resmi ditahan di Lapas Kendal. Sementara Mujiono tidak ditahan karena keberadaanya tidak diketahui oleh pihak kepolisian.
Pada 3 April 2017, putusan banding keluar namun hakim hanya memberikan pengurangan masa pidana kepada Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin menjadi masing-masing hukuman 3 tahun dan 2 tahun penjara, serta denda sebesar Rp. 10 miliar
Saat ini, warga masih melakukan upaya hukum agar ketiga petani tersebut dibebaskan melalui kasasi di MA.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto