Menuju konten utama

Pertaruhan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta 2024

Pilkada Jakarta menghadirkan dinamika yang kompleks bagi Ridwan Kamil.

Pertaruhan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta 2024
Header Perspektif Rolip Saptamaji. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Gelaran Pilkada serentak Jakarta akan segera dimulai pada bulan Agustus dan pemilihan akan berlangsung pada bulan November 2024. Dari berbagai dinamika gelaran Pilkada serentak ini, Pilkada Jakarta menjadi Pilkada dengan tensi politik yang sangat tinggi dan menarik perhatian. Popularitas para mantan Gubernur yang menjadi bakal calon kandidat yang berkontestasi di Pilkada Jakarta seperti Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan tiba-tiba terdisrupsi oleh hadirnya penantang baru dari Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Berbeda dengan para bakal calon lain yang sudah lama berjibaku dengan politik lokal rasa nasional di Jakarta, Pilkada Jakarta menghadirkan dinamika yang kompleks bagi Ridwan Kamil. Meskipun popularitasnya hampir tak terbendung di Jawa Barat dengan deretan prestasinya dan di media sosial dengan jutaan pengikutnya, memenangkan dukungan dari pemilih di Jakarta masih menjadi tantangan besar untuk Ridwan Kamil. Dalam artikel ini, penulis akan menerapkan teori struktur peluang politik (POS), untuk melakukan analisis kritis terhadap peluang politik Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta.

Tantangan Jakarta untuk Ridwan Kamil

Meskipun dianggap cukup berhasil memimpin Jawa Barat dengan Tingkat kepuasan mencapai 88,3% berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC, 2023), hal ini belum tentu mampu meningkatkan popularitasnya di kalangan pemilih Jakarta yang dinamis dan multidimensi. Charles Tilly mengemukakan bahwa “perubahan dalam struktur peluang politik dapat membuka atau menutup ruang bagi tindakan kolektif” (Tilly, 1978). Dalam hal ini, Jakarta menghadirkan tantangan kompleks dari persoalan lemahnya popularitas dan elektabilitas di Jakarta yang tak sebanding dengan Jawa Barat menjadi tantangan sekaligus kelemahan signifikan bagi strategi pencalonan Ridwan Kamil di Jakarta.

Pencalonan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta mendapatkan dukungan dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berhasil memenangkan Prabowo-Gibran dalam pertarungan Pilpres 2024. Di bawah kepemimpinan Gerindra sebagai partai presiden terpilih, Prabowo Subianto, koalisi besar ini berisi 8 partai peserta pemilu dan 2 partai non peserta pemilu. Koalisi ini malah semakin besar pada April lalu dengan bergabungnya PKB dan Nasdem yang sebelumnya berada di luar koalisi.

Kuatnya dukungan elite partai koalisi pengusung Ridwan Kamil berhadapan langsung dengan lemahnya dukungan lokal. Sebagai pendatang baru dan orang luar Jakarta yang tidak memiliki basis pemilih kuat di Jakarta, Ridwan Kamil memiliki tugas berat untuk meyakinkan pemilih akan kompetensinya. Dalam konteks ini, McAdam (1999) menekankan bahwa “aktor politik harus menilai struktur peluang yang ada dan menyesuaikan strategi mereka untuk memanfaatkan peluang tersebut". Status Ridwan Kamil sebagai orang luar Jakarta dapat menghambat kemampuannya untuk terhubung dengan pemilih Jakarta yang beragam, yang memiliki harapan dan tuntutan yang berbeda jika tidak mampu beradaptasi dengan dinamika politik lokal Jakarta.

Spekulasi Strategis Golkar

Keputusan Golkar untuk mencalonkan Ridwan Kamil di Jakarta, sambil mendukung Dedi Mulyadi di Jawa Barat, memperlihatkan pertaruhan politik strategis yang senjang dengan realitas. Pengalihan sumber daya politik Jawa Barat ke Jakarta berisiko melemahkan pengaruh Golkar di Jawa Barat karena Ridwan Kamil memiliki potensi menang lebih besar.

Sejalan dengan konteks tersebut, Tarrow (1994) menjelaskan bahwa “pola perubahan dalam struktur peluang politik dapat menciptakan konteks yang lebih kondusif bagi aksi kolektif, tetapi juga dapat menghadirkan tantangan baru". Keputusan spekulatif Golkar ini berpotensi menciptakan tantangan baru yang dapat mempengaruhi keseluruhan strategi politiknya terutama jika Ridwan Kamil gagal memenangkan Pilkada Jakarta.

Terlepas dari lemahnya dukungan elite terhadap kandidat lain seperti Anies Baswedan dan kurangnya jumlah kursi yang dimiliki oleh PDIP untuk mencalonkan Basuki Tjahja Purnama tanpa koalisi, kedua kandidat ini memiliki potensi kemenangan yang tidak dapat dianggap remeh. Lanskap politik Jakarta yang dinamis dan pergerakan politik lokal yang tidak terduga malah menghadirkan peluang besar bagi kedua kandidat untuk mengeksploitasi kelemahan Ridwan Kamil.

Kuatnya basis dukungan dan jaringan politik yang signifikan dari kedua kandidat ini berpotensi melemahkan Ridwan Kamil di basis-basis pemilih di Jakarta. McAdam et.al (1996) menjelaskan bahwa “struktur peluang politik mencakup elemen seperti akses ke sistem politik, dukungan elite, dan kapasitas negara untuk melakukan tindakan represif” (McAdam, McCarthy, & Zald, 1996). Dalam konteks ini, jika partai pendukung Anies dan Ahok berkoalisi untuk mengusung keduanya bukan tidak mungkin strategi dukungan elite dapat dilunturkan.

Dukungan elite memang menjadi variabel yang kompleks dalam setiap pemilihan kandidat politik, namun melalui penguatan basis pemilih dan jejaring politik para kandidat, masing-masing lawan Ridwan Kamil memilik potensi besar untuk mendominasi narasi pemilih di Jakarta. Kemampuan Anies Baswedan untuk memobilisasi kelompok Islam dan daya tarik Basuki Tjahja Purnama (Ahok) bagi kelas menengah dan pemilih etnis Tionghoa menempatkan mereka pada posisi yang baik untuk mendorong dinamika pemilih untuk mengimbangi dukungan elit kepada Ridwan Kamil.

Pertaruhan Jakarta

Pertaruhan Ridwan Kamil sebagai penantang baru di Pilkada Jakarta 2024 diwarnai dengan tantangan kompleks yang berasal dari kurangnya dukungan lokal dan keputusan strategis Golkar. Meskipun ia didukung oleh koalisi yang kuat, statusnya sebagai orang luar dan potensi koalisi lawan menimbulkan rintangan yang signifikan. Keputusan Golkar untuk fokus pada Jakarta berpotensi merugikan jika tidak mampu menangkap dinamika struktur peluang politik di Jakarta.

Pilkada Jakarta juga menjadi ujian politik yang berat bagi Ridwan Kamil untuk dapat diterima oleh publik secara luas, bukan hanya di Jawa Barat. Heterogenitas Jakarta harus dapat dimanfaatkan untuk melunturkan citra sebagai orang luar Jakarta dan terlibat secara otentik dengan pemilih Jakarta. Sebaliknya, kelemahan yang dimiliki Ridwan Kamil berpotensi menjadi kekuatan yang signifikan bagi kandidat lawan politiknya. Meskipun begitu, mengamati Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta masih sangat menarik karena kemenangan atau kekalahannya akan bergantung pada kemampuan untuk beradaptasi dengan dinamika politik lokal Jakarta dan manuver strategis dari kandidat lawannya. []

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.