tirto.id - Rokok lekat sekali dengan masyarakat Indonesia. Pro dan kontra pastinya. Bagi mereka yang pro, bahkan sampai muncul joke satir: agar persoalan tidak lagi kusut maka diskusi harus sambil ngopi dan ngudud. Lainnya mengaitkan dengan sosial-budaya masyarakat. Bahkan sampai mengangkat cerita Soekarno yang seorang perokok.
Namun tak sedikit pula mereka yang bicara tentang bahaya asap tembakau, memicu gangguan kesehatan serius lengkap dengan analisisnya. Dan baru-baru ini, di jagat media sosial diskusi rokok juga kembali gaduh. Warganet berisik di media sosial X (Twitter) membahas unggahan akun Instagram yang menyebut hanya sekitar 5 persen laki-laki di Indonesia tidak merokok.
Hasil pembacaan penelitian yang disebut dipublikasikan di Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini, yang kemungkinan besar merupakan artikel ini, kurang tepat. Datanya bersumber dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5, yang dipublikasikan pada 2014-2015, dan melibatkan 12.591 orang penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas.
Perlu diketahui bahwa mayoritas responden penelitian ini memang laki-laki, sebanyak 11.908 orang. Dan yang disebut penelitian adalah bahwa perokok Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, tapi bukan berarti 95 persen laki-laki di Indonesia perokok.
Namun di luar isu tersebut, jumlah perokok di Indonesia memang tidak bisa dibilang sedikit. Data rangkuman Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir, pada tahun 2018, menunjukkan prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia rata-rata sekitar 33 persen. Ini berarti 1 dari 3 orang Indonesia adalah perokok.
Jika melongok lebih jauh berdasar jenis kelamin, perokok laki-laki kian dominan, prevalensinya mencapai 62,9 persen, sementara perempuan sekitar 4,8 persen.
Menariknya, jika melihat tren sebelumnya, prevalensi merokok di Indonesia memang cenderung konsisten di kisaran 30 persen. Meski Riskesdas 2018 menunjukkan perokok dalam jumlah yang paling kecil.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, yang berada di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga menangkap temuan serupa.
Sekitar 64 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif, sedangkan perempuan sekitar 2,3 persen. Secara keseluruhan, rata-rata 33,5 persen orang Indonesia diketahui merupakan perokok aktif, berdasar survei yang dilakukan terhadap lebih dari 9 ribu orang responden tersebut.
Menariknya, GATS juga kerap menyoroti perokok pasif. Merujuk data mereka, diperkirakan ada sekitar 121 juta orang dewasa (≥ 15 tahun) yang terpapar asap tembakau dari anggota keluarga serumah mereka, padahal tidak merokok.
Bahaya menjadi perokok pasif ini pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai masalah dengan paru-paru kerap dijumpai para perokok pasif.
Nidia (30), pegawai swasta asal Jakarta, merasakan dampak bahaya dari menjadi perokok pasif. Sekitar September 2023 lalu, dia dan anaknya yang masih balita, sempat diserang batuk, pilek, serta demam berkepanjangan.
“Awalnya berpikir sakit biasa saja, tapi kok, anak gak sembuh-sembuh,” ceritanya kepada Tirto, Kamis (18/4/2023).
Alhasil dia memutuskan membawa anaknya ke rumah sakit setelah berselang satu bulan penyakitnya datang dan pergi. Sayangnya, penyakit terus berlanjut, hampir dua bulan batuk dan pilek tak kunjung hilang, ia pun mencoba pergi ke rumah sakit lain.
“Di situ anak saya diminta tes darah dan rontgen. Hasilnya, anak saya [didiagnosis] ISPA dan bronkopneumonia. Hasil rontgen-nya, ada kabut-kabut gitu di paru-parunya,” cerita dia, mengingat kejadian pada bulan November 2023 tersebut.
Hal ini mendorong Nidia untuk memeriksakan dirinya juga ke rumah sakit. Melalui pengujian yang sama, dirinya juga didiagnosis Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan bronkopneumonia.
Dokter kemudian sempat menanyakan tentang lingkungan sekitar Nidia, terutama keberadaan perokok di lingkungan tersebut. Di rumahnya, dia tinggal bersama suami, anak, dan seorang pekerja rumah tangga. Semuanya tidak merokok.
Namun, di tempat kerja, kondisinya berbeda. “Saya tidak merokok, tapi lingkungan kerja banyak perokok,” ceritanya.
Orang-orang di tempat dia kerja bahkan kerap kali merokok saat sedang rapat di ruang tertutup.
Menurut dokter yang menanganinya kala itu, bisa saja sang anak terpapar dari asap rokok yang menempel di pakaian ataupun tubuh dan rambut Nidia.
Meski, dokter kala itu juga menyebut kalau kondisi udara kota Jakarta yang sedang polusi parah cukup ambil andil.
Pada akhirnya, Nidia dan anaknya memang sembuh. Namun, menurut dia masalah paru-paru anaknya tidak bisa hilang. Penyakit itu kerap kambuh. Sementara dia, mengaku masih kerap mengalami ISPA, terakhir pada lebaran Idul Fitri kemarin.
“Saya kan sehari-hari pasti berpapasan sama perokok [di tempat kerja], jadi gak mau menuduh. Tapi kemungkinan karena paru-paru saya dan anak sudah terkontaminasi,” pungkasnya.
Proporsi Perokok Pasif Turun dalam Satu Dekade Terakhir?
Berkaca dari kisah Nidia, paparan pada asap rokok orang lain memang diketahui masih relatif tinggi, kendati proporsi perokok pasif di Indonesia tercatat memperlihatkan tren penurunan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Hal itu bisa dilihat baik di lingkungan privat seperti rumah, maupun ruang publik, seperti tempat makan, kantor pemerintahan, dan tempat kerja.
Menelisik data perokok pasif dari GATS lebih jauh, persentase perokok pasif pada 2021 paling banyak terlihat di lingkungan tempat makan, disusul rumah, kantor pemerintahan, dan tempat kerja. Baik pada 2011 maupun 2021, fasilitas kesehatan konsisten menjadi lingkungan yang paling minim paparan asap rokoknya.
Secara lebih spesifik untuk kategori rumah makan, pada 2011, persentase orang dewasa berusia 15 tahun atau lebih yang terpapar asap rokok tembakau saat berkunjung ke restoran mencapai 85,4 persen, kemudian melorot tipis menjadi 74,2 persen pada 2021.
Begitu pula paparan asap rokok di tempat kerja yang berkurang, dari 51,3 persen pada 2011 menjadi 44,8 persen 10 tahun setelahnya.
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menilai, adanya regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sangat berperan dalam penurunan proporsi perokok pasif. KTR sendiri mencakup 7 tatanan, termasuk tempat-tempat yang disebutkan di atas, kecuali rumah.
Di tempat-tempat itulah diharuskan bebas asap rokok, penjualan, produksi, promosi, dan sponsor rokok.
“Nah, penurunan yang cukup signifikan 10 tahun terakhir saya duga adalah penerapan aturan KTR itu sendiri di daerah-daerah,” katanya, saat berbincang dengan Tirto, Kamis (18/4/2024)
Jika ditilik lebih detail, penurunan perokok pasif cukup signifikan terjadi di kategori transportasi publik. Pada 2021, persentase orang dewasa yang terpapar asap rokok di angkutan umum sebanyak 40,5 persen, menukik turun ketimbang tahun 2011 yang berada di level 70 persen.
Mengenai hal itu, Nina berpendapat, salah satu faktornya yakni perubahan aturan signifikan PT Kereta Api Indonesia atau KAI (Persero) pada akhir tahun 90-an. Pihak KAI disebut Nina telah menerapkan kawasan tanpa rokok, mulai dari kantor, stasiun, sampai moda transportasinya.
“Kenapa aku berani ngomong ini salah satu yang paling berpengaruh dalam penurunan ini, karena dia [kereta] adalah mass transportation yang paling masif, di antara [transportasi umum] yang lain,” sambungnya.
Pernyataan Nina turut didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Agustus 2023, jumlah penumpang kereta api menyentuh 31,3 juta orang, lebih padat ketimbang penumpang angkutan udara domestik (5,2 juta orang) dan angkutan laut domestik (1,7 juta orang). Banyaknya penumpang kereta api pada Agustus 2023 itu juga melesat naik sebesar 28,96 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Menurut Nina, transportasi umum jadi salah satu bukti bahwa KTR sangat berperan dalam memberikan perlindungan terhadap perokok pasif. Dari segi wilayah, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, per Mei 2023, aturan KTR telah dikantongi 449 kabupaten/kota dari total 514 wilayah.
Namun demikian, data di dashboard pengawasan KTR memperlihatkan, pada 2024, jumlah kabupaten/kota yang punya aturan KTR hanya 414 daerah, dari total 514 wilayah.
Itu artinya, masih ada 100 daerah atau sebanyak 19,46 persen kabupaten/kota di Indonesia belum memiliki aturan KTR. Padahal, kata Nina, setiap daerah itu tidak boleh tidak memiliki kebijakan KTR, karena sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan.
“Jadi sebenernya, kalau ada daerah yang belum punya aturan KTR itu mereka melawan Undang-Undang. Itu adalah hal yang wajib dimiliki setiap daerah,” tegasnya kepada Tirto, Kamis (18/4/2024).
Banyak Perempuan dan Anak-Anak Kena Dampak Perokok Pasif
Meski mayoritas perokok adalah laki-laki, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyatakan, banyak perempuan dan anak-anak yang terkena dampak perokok pasif.
Di seluruh dunia, perokok pasif telah menyebabkan sekitar 600 ribu kematian dini setiap tahunnya dan sebagian besar (64 persen) terjadi pada perempuan. Sementara pada anak-anak, dampak perokok pasif termasuk sindrom kematian bayi mendadak, infeksi saluran pernapasan bawah, infeksi telinga, dan asma yang lebih parah.
Tak hanya pada dua kelompok tersebut, perokok pasif di kalangan orang dewasa pun bisa meningkatkan risiko stroke, kanker paru-paru dan payudara, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan diabetes melitus.
“Aerosol bekas dari rokok elektronik juga mengandung bahan kimia berbahaya yang menimbulkan risiko kesehatan bagi mereka yang terpapar,” tulis WHO dalam lamannya.
Riskesdas tahun 2018 memperlihatkan bahwa prevalensi asma di Indonesia mencapai 1,4 persen, menurun ketimbang 2013, yang menyentuh angka 4,5 persen. Prevalensi asma tampak meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Menukil Riskesdas 2013, asma sendiri merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma bisa berupa gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan.
Gejala tersebut memburuk pada malam hari, ketika adanya alergen (seperti debu, asap rokok), atau saat sedang menderita sakit seperti demam.
Merokok di Lingkungan Rumah Perlu Edukasi Publik
Karena aturan KTR tidak mencakupi lingkungan rumah, Nina dari Komnas PT menyampaikan, khusus untuk kawasan rumah, perlu ada edukasi publik. Edukasi ini misalnya bahwa orang tidak boleh merokok di dalam rumah, agar tidak mengganggu kesehatan anggota keluarga yang lain.
“Tapi kalau untuk 7 tatanan kawasan tanpa rokok itu, ya memang, satu-satunya ya penguatan implementasi,” katanya.
Dari sudut pandang efektivitas regulasi, kata Nina, apa yang dilakukan pemerintah masih baru berada di level penerapan, sehingga belum memonitoring dampak aturan KTR. Misalnya, apakah penurunan perokok pasif saat ini memang benar faktornya dari kawasan tanpa rokok.
Sebuah artikel prosiding hasil Public Health Symposium 2018 berjudul “Sudah Efektifkah Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia?” mengungkap, kebijakan KTR yang ada di daerah tidak memiliki dampak pengurangan merokok pada usia remaja.
Di sisi lain, kawasan yang ditentukan dalam KTR, menurut artikel tersebut, hanya melingkupi tempat yang ada di perkotaan, sementara di perdesaan hampir tak ada tempat larangan merokok. Padahal, proporsi perokok di perdesaan lebih besar dibanding perkotaan.
Riskesdas 2018 menyingkap kalau proporsi perokok setiap hari pada penduduk usia 10 tahun atau lebih di perdesaan mencapai 25,8 persen, sementara di perkotaan 23 persen.
Apabila menengok tingkat kepatuhan aturan KTR di setiap daerah, data Kemenkes menunjukkan, tiga peringkat teratas saat ini diduduki oleh kota-kota di Jawa Barat, di antaranya Kota Bogor, Bandung, dan Depok.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email [email protected].
Editor: Farida Susanty