tirto.id - Ada jenazah. Lagi. Demikianlah serial HBO original The White Lotusmemulai musim keduanya.
Pada musim pertamanya, Mike White selaku kreator sekaligus sutradara menyajikan antologi “sirkus” ketimpangan kelas seraya menyoroti kolonialisme di resor White Lotus cabang Hawaii. Ia sukses memancing reaksi dan memicu diskusi lebih lanjut.
Kali ini, latar berpindah ke selatan Italia, tepatnya di White Lotus cabang Kota Taormina. Lekukan tebing-tebing Pulau Sisiliadan biru pekatnya Laut Ionian jadi lanskap terkini. Pantainya kini terasa lebih riuh dan ada lebih banyak yang meregang nyawa.
White juga masih membawa formula yang kurang lebih serupa: kelakuan ajaib orang-orang kaya berikut ragam ketidaknyamanan yang ditimbulkannya di lokasi-lokasi terindah yang dimaksudkan untuk menghadirkan kenyamanan.
Kini, hanya ada "perempuan gila" Tanya McQuoid-Hunt beserta suaminya, Greg Hunt, yang tinggal dari season pertama. Selebihnya, The White Lotus mengarahkan bidikan pada tiga generasi keluarga Di Grasso yang hendak menyusuri asal-usul mereka di Sisilia, pasutri Daphne dan Cameron Sullivan, pasutri Harper dan Ethan Spiller, serta karakter-karakter lokal Italia, seperti Valentina sang manajer hotel dan sepasang pekerja seks perempuan, Lucia dan Mia.
Seperti halnya formula narasinya, tema dan motifnya pun berulang. Hanya saja, The White Lotus: Sicilylebih condong pada satu poin: seks.
Sanggama dan Konsekuensinya
"Di Sisilia, perempuan lebih berbahaya ketimbang senapan."
Kutipan populer itu datang dari film klasikThe Godfather.Film itu tengah disaksikan lelaki tua yang gemar menggoda perempuan, Bert Di Grasso (F. Murray Abraham), di kamar mewahnya di White Lotus. Potongan adegan itu menjadi foreshadowing akan apa yang bakal menimpa tiga generasi Di Grasso di Sisilia, terlebih anak dan cucunya, Dominic (Michael Imperioli) dan Albie (Adam DiMarco).
Dom Di Grasso ditampilkan hendak berhenti dari adiksi seks yang merusak rumah tangganya. Di tengah upayanya untuk insaf, tantangan—akibat ulahnya sendiri—kian kencang. Sementara putranya, Albie, beridiri pada sisi berbeda. Kenaifan perspektifnya pada urusan ranjang justru merugikan.
“Kelemahan” tiga generasi Di Grasso terhadap perempuan hanyalah permulaan. Persanggamaan dan konsekuensi yang menyertainya juga terjadi pada banyak karakter lain, pun saling berkelindan. Di sini, seks direduksi menjadi adiksi dan kesenangan, dilangsungkan sebagai penjaga atau perusak hubungan, dan sarana unjuk kekuatan atau bahkan kendaraan untuk meraihnya.
Keterlibatan langsung beberapa tamu hotel White Lotus dengan seks tak lain berkat duo pekerja seks lokal, Lucia Greco (Simona Tabasco) dan Mia (Beatrice Grannò). Mereka adalah dua karakter yang memandang dan menerapkan seks secara praktis.
"Mengapa harus selalu laki-laki yang punya kuasa?" tanya Mia retoris. Pertanyaan yang ironis, mengingat dia mengutarakannya saat menunggu viagra bekerja pada pasangan sanggamanya.
Mia menggunakan seks demi mencapai tujuannya, yakni berkarier sebagai musisi. Demikian pula Lucia yang melakukannya demi hidup layak. Nama terakhir bahkan tak segan memanipulasi keluarga Di Grasso.
Dan bila bicara soal seks dan manipulasi, tentu tak bisa dilepaskan dari pasutri Spiller dan Sullivan. Dua pasutri ini bisa liburan bersama lantaran Ethan Spiller mendapatkan banyak uang selepas menjual perusahaannya.
Pasangan Ethan (Will Sharpe) dan Harper (Aubrey Plaza) diplot sebagai “pasangan jujur” yang gairah seksnya nyaris padam. Sebaliknya, Daphne (Meghann Fahy) dan Cameron Sullivan (Theo James) adalah pasangan yang terlihat sangat bergairah.
Meski telah dikaruniai dua anak (yang sebetulnya lahir dari affair lain lagi), pasutri Sullivan seolah sepakat terus-terusan memanipulasi satu sama lain, setuju untuk menelan "pil biru" demi terlihat sebagai keluarga harmonis—fasad yang sanggup membuat iri pasangan mana pun.
Seks lintas hubungan yang dilakukan para karakter serial ini sekilas tampak manusiawi belaka, tapi Mike White kadang menjadikannya rumit. Lebih-lebih jika mengingat dia kadang bukan berangkat dari flirting belaka, tapi sesuatu yang kelewat batas seperti pelecehan.
Fantasi dari para individunya juga tak jarang menyakitkan. Hal itu misalnya ditampilkan kala Portia (Haley Lu Richardson) menelantarkan Albie demi tamu hotel lainnya, seorang bad boy (penganut carpe diem, makan-tak-bayar, dan fanatik West Ham). Poin plot macam demikian menjadi penegas seks sebagai faktor penting yang bakal memengaruhi arah hubungan setiap karakternya.
Seks, begitu pun perselingkuhan, dibicarakan saat sarapan hingga makan malam. Hasrat manusia paling primal itu terus dipikirkan dan diaplikasikan oleh banyak karakter. Adegannya kerap ditampilkan bergantian pada pembuka dan penutup episode, atau kapan pun oleh siapa pun, dari preferensi seks mana pun.
Itu menjadikan serial ini penuh dengan adegan sanggama, memang. Namun, itu bukan sekadar “pemanis” atau si sutradara sekadar ingin menampilkannya. Adegan itu nyaris semuanya memang krusial sebagaipenggerak plot masing-masing individu.
Adegan seks pun tak melulu harus eksplisit. Di beberapa waktu, White hanya memberi semacam “petunjuk” akan apa yang terjadi di antara dua karakter di balik layar. Ia tak tampak, tapi penonton bisa tahu itu terjadi.
Penyampaian macam itu membuat The White Lotus lebih dekat pada kata genial, ketimbang sekadar seronok atau vulgar.
Menolak jadi Korban Kehidupan
Pasutri Sullivan seolah menutup mata terhadap kenyataan. Nyaris sepanjang waktu, Cameron dan Daphne digambarkan demikian. Mereka tak membaca berita dan tak acuhpada kondisi dunia hari ini. Muaranya adalah ketidaktahuan atau mungkin mereka memang menolak tahu akan aktivitas masing-masing saat sedang tak bersama.
Tahu atau tidak tahu, pada akhirnya mungkin tak ada bedanya. Pada pasangan Sullivan, pilihan untuk tutup mata membuat seluruh perbincangan jadi terdengar banal layaknya rentetan small talk tak berujung. Dengan kekayaannya, mereka bisa memilih hidup dalam gelembung.
Ini lantas menjadi ironis tatkala Daphne justru mengajari pasutri Spiller—pasangan yang "lebih mikir"--berkat kata-katanya di pengujung serial.
"Lakukan apa yang harus kaulakukan, agar kau tak merasa menjadi korban kehidupan."
Daphne tak sekadar mengatakan itu. Dia betul-betul menerapkannya. Dan ketika kita melihat sekeliling, banyak karakter dalam The White Lotus yang mempraktikkan prinsip serupa.
Lucia Greco jadi yang paling mencolok. Dia adalah "korban sistem yang fucked up", setidaknya menurut Albie, yang terdengar menggeneralisasi seluruh PSK. Kita lantas diperlihatkan bahwa Lucia, terlepas bermula sebagai korban sistem ataupun tidak, memilih jalan hidupnya yang ini sekalian sebagai con woman.
Pada satu sisi, manipulatifnya Lucia tak pelak membuat karakternya datar, bahwa pekerja seks sama sekali tak menggunakan perasaan dan hanya mengejar uang sebanyak-banyaknya selagi masih diminati. Namun, itulah “kemenangan” khas Lucia, bahwa bukan hanya golongan berprivilese saja yang berhak tersenyum.
The White Lotus musim kedua ini juga tampak lebih subtil ketimbang musim pertamanya dalam membicarakan perjuangan kelas. Topik itu eksis di balik melimpahnya sanggama, kemewahan, keindahan lanskap, dan ketamakan akan kekuasaan.
Tema berulang demikian nyaris terasa bagai perayaan skeptisnya kreator serial Mike White terhadap manusia. Dan kekacauan di serial ini bisa didatangkan siapa pun, cis maupun queers.
Karakter-karakter perempuan mengeluhkan sulitnya menemukan sahabat sesama perempuan. Mereka memandang pertemanan satu sama lain dengan penuh prasangka buta, menilainya sebagai sesuatu yang menekan, atau bahkan menganggap laki-laki gay sebagai teman terbaik.
Perspektif terakhir itu lalu dibolak-balikan sendiri oleh Mike White (sendirinya seorang biseksual) tatkala kumpulan laki-laki gay kaya pimpinan Quentin (Tom Hollander) ternyata adalah konspirator yang hendak membunuh seseorang demi uang.
Di tengah pusaran plot yang pelik itu, The White Lotus musim kedua rupanya masih menyempatkan diri menghadirkan elemen baru, yaitu ketegangan dan konspirasi. Di lain waktu, ketegangan itubisa pula mendekat ke arah horor.
Meski demikian, serial ini tetap tak lupa untuk melucu. Kadang sesederhana penempatan lagu, seperti episode terakhirnya yang ditutup The Best Things in Life are Free versi Sam Cooke.
Megahnya Kekacauan
Satu pekan di White Lotus cabang Sisilia mengubah seluruh tamu. Bagi sebagian besar karakternya, ketenangan dan penyegaranyang diharapkan dari liburan hampir sepenuhnya absen. Ada yang terdistraksi jalurnya menuju akhir hayat yang tragis, ada yang menempuh jalan memutar untuk menuju hubungan baru, pun ada pula hubungan lama yang kembali segar.
The White Lotusmusim kedua ini setia dengan temanya yang dibangun hingga klimaks sembari membiarkan penonton menebak-nebak hingga akhir. Pada banyak segmen, ia terasa lebih “normal” berkat lingkup tema yang tak seberat season pertama, malahan dengan plot yang relatif lebih mudah dinikmati.
Karakter-karakternya mungkin tak sekeji karakter-karakter di musim pertama, tapi menariknya, mereka tetap dalam koridor yang manusiawi sehingga banyak penonton bisa terwakili.
Trik penceritaan Mike White tak banyak berubah. Dia selalu merakit setiap kepingan adegan dengan teliti, meski sesekali mesti dihubungkan dengan faktor kebetulan atau konflik-konflik yang mestinya bisa dihindari. Mudah untuk tak suka dengan jalannya cerita, tapi juga tak sulit untuk mengapresiasi penulisannya.
Cela orang-orang kaya, cela manusia pada umumnya, berhasil dibawakan dengan seksama oleh para aktornya. Entah itu para senior seperti F. Murray Abraham dengan karakternya yang (kelewat) kharismatik, Jennifer Coolidge yang bukan main ngeselin tapi terus dinanti, hingga sengaknya Theo James. Dan jangan lupakan para aktor lokal Italia yang sukses merasuk ke dalam peran masing-masing.
Seperti halnya season perdananya, The White Lotus masih mendekap erat latar cerita. Bila kau di Italia, ceritakanlah kisah mafia—meski itu bukan sajian utama.
Muntahan lahar Gunung Etna dan birunya Laut Ionian pun bukan sekadar kosmetik. Juga benda-benda seni, seperti Testa Di Moro dan lukisan Renaisan di hotel, seluruhnya memiliki peran—untuk foreshadowing, petunjuk plot atau simbolisme, dan pilihan estetik untuk para pemadat kemewahan.
The White Lotus musim kedua merupakan serial yang tetap bermain-main dengan moralitas, senantiasa frontal dan provokatif. Ia dengan piawai mampu menyamai kemantapan season pertamanya dari berbagai aspek, kalau bukan melebihi.
Dan bila ada satu elemen yang membuatnya kian mantap itu tak lain adalah bebunyiannya.
Lumrah saja bagi komposer Cristobal Tapia de Veer untuk memasukan unsur musik klasik saat latar bergeser ke Italia. Perpindahan latar pun tak menghalanginya untuk memasukkan bebunyian tak lazim, dari tetabuhan, chant, hingga dengingananeh yang secara alami mengiringi berbagai atmosfer.
Bebunyian gubahan sang komposer malah jadi alasan pertama saya terlarut dalam kelanjutan serial ini. Sekuens pembuka season kedua ini, bikinan Katrina Crawford and Mark Bashore, memberi petunjuk akan kisah macam apa yang bisa diantisipasi. Diiringi opening themeyang bukan main unik, menghadirkan efek istimewa yang belum pernah dirasakan pada setiap awalan episodenya.
Satu pekan selalu cukup bagi Mike White untuk menampilkan ceritanya secara komplet, dengan penggalian serta penyertaan latar dengan cita rasa yang sulit disaingi. Selalu membuat para penikmatnya merasa cukup.
Ia mendatangkan kebimbangan, antara tak lagi ingin menyaksikan kegilaan polah orang-orang kaya ini, tapi juga, sialnya, memberikan rasa penasaran. Kekacauan jenis apa lagi, dari White Lotus di belahan dunia mana lagi?
Editor: Fadrik Aziz Firdausi