Menuju konten utama

Periksa Pengguna Atribut Islami, Polri Menolak Dituduh Islamofobik

Polri diminta tak pandang bulu dan lakukan pemeriksaan yang lebih persuasif.

Periksa Pengguna Atribut Islami, Polri Menolak Dituduh Islamofobik
Polisi berjaga di depan sebuah rumah usai penangkapan terduga teroris di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

tirto.id - Serangan teroris masih berlanjut. Setelah rentetan bom di Surabaya, serangan terjadi di Mapolda Riau. Polri pun mengaktifkan siaga satu di berbagai daerah. Pemeriksaan antisipasi terorisme menyasar sipil yang dicurigai.

Di media sosial beredar video pemeriksaan seorang laki-laki bersarung dan peci. Berjarak sekitar 8 meter dari aparat polisi, dia diminta membongkar isi kardus dan tas ransel miliknya.

Akun Twitter Satlantas Polrestabes Semarang menjelaskan, anak beratribut Muslim itu berperilaku mencurigakan saat melintas di depan pos polisi Simpang Lima, Semarang. Akun itu mengungkapkan dasar hukum pemeriksaan itu UU 2/2002. Dalam UU itu hanya dijelaskan mengapa Polri harus lakukan pemeriksaan, tetapi tak ada rincian bagaimana pemeriksaan dilakukan.

Begitu juga dengan SAN, perempuan yang diturunkan dari bus oleh petugas keamanan terminal Gayatri, Tulungagung, Jawa Timur. Sebabnya perempuan itu memakai cadar dan tampak linglung.

Kepala Terminal Gayatri Oni Suryanto menjelaskan, saat ditanyai petugas keamanan SAN tak menjawab. Akhirnya dia digiring ke pos pemeriksaan.

"Kecurigaan petugas semakin menjadi lantaran perempuan belia yang belakangan diketahui berinisial SAN itu tidak pakai alas kaki sejak masuk terminal hingga naik bus jurusan Ponorogo," kata Oni, dikutip dari Antara.

Ketua Komite III DPD Fahira Idris menegaskan tindakan macam itu justru diharapkan oleh pelaku teror. Sebab tujuan teroris, ujarnya, memunculkan sekat di antara masyarakat. Kecurigaan dan pengawasan berlebihan akan berkembang berujung persekusi bagi perempuan bercadar.

“Di negara-negara Barat, di mana sebagian masyarakat begitu benci terhadap cadar dan simbol Islam lainnya, sehingga marak terjadi persekusi,” kata Ketua Umum Ormas Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) itu kepada Tirto, Rabu 16 Mei 2018.

Juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin mengeluhkan prosedur Polri periksa atau geledah terduga pelaku teror. Dia menganggap apa yang dilakukan Polri telah membatasi umat Islam dan memunculkan opini buruk pada agama Islam.

“Ini pembusukan opini terhadap cadar dan syariat Islam yang kafah yang akhirnya bisa terbentuk lembaga islamofobia,” kata Bamukmin pada reporter Tirto.

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menjelaskan prosedur Polri dalam melakukan pemeriksaan atau penggeledahan di tempat cenderung berlebihan.

“Kalau benar ada kecurigaan, polisi harus ada bukti mendasar, bukan hanya dari atribut,” kata Algif pada Tirto.

Alghif cemas jika situasi Indonesia bisa mirip dengan Amerika Serikat. Karena Islam dicap sebagai teroris, maka muncul islamophobia di Negeri Paman Sam itu.

"Yang paling kami khawatirkan adalah friksi horizontal antar umat beragama," lanjutnya. "Padahal bisa jadi temannya atau tetangganya hanya konservatif saja."

Pernyataan mereka yang protes pada cara Polri lakukan pemeriksaan itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 1/2002. Isinya terkait pemberantasan tindak pidana terorisme tak boleh diskriminatif. Dalam Pasal 2, dijelaskan Polri harus tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.

Bantah Sebar Islamofobia

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan Polri semata untuk menjaga keamanan, bukan memojokkan orang beratribut agama Islam. Hal itu diungkapkan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto.

“Sebagian besar anggota Polri beragama Islam, masa islamophobia,” kata Setyo kepada Tirto.

Setyo menegaskan Polri hanya memeriksa gerak-gerik orang yang mencurigakan. Bukan karena cara berdandan atau berpakaian yang menjurus pada agama tertentu.

Dia juga berharap publik tak salah paham atau saling curiga satu sama lain, sehingga tak memunculkan perpecahan horizontal seperti yang dikatakan oleh Fahira Idris.

“Persekusi apapun alasannya tidak dapat dibenarkan,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi. Politikus Partai Nasdem menuturkan, masyarakat seharusnya memaklumi kekhawatiran polisi. Sebab sudah muncul banyak korban jiwa akibat teror yang susah dideteksi.

"Kalau terjadi serangan lagi, akan ada banyak korban dari banyak orang. Dan nanti akan menimbulkan juga amarah pada Polri sendiri," katanya.

Ia memaklumi metode pemeriksaan oleh polisi. Pemeriksaan dengan alat pendeteksi logam dinilainya sulit dilakukan di ruang terbuka dengan jumlah orang yang banyak.

"Kecurigaan [pada orang-orang tertentu] memang tidak bisa dihindari. Karena sampai sekarang memang kondisi itu sangat sulit," ujar Taufiqulhadi.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana