tirto.id - Pada 10 November 2019, akun Facebook bernama Zulkifly Daniel membagikan sebuah artikel berjudul "Sibuk Narasi Radikal, Ada 22 Juta Rakyat Kelaparan Era Rezim Jokowi" di grup "MANUSIA MERDEKA" (arsip). Unggahan tersebut dibagikan sebanyak 1.400 kali di media sosial tersebut.
Akun Ahmad Raja membagikan lagi unggahan itu di grup "PRABOWO PILIHAN PASTI 2019. SAVE NKRI SAVE PANCASILA" (arsip) pada 12 November 2019. Selain Ahmad Raja, pada tanggal yang sama, akun Tri Putra juga membagikannya dalam grup "Tim Pemenangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno #INAElectionObserverSos" (arsip).
Asal Usul Informasi
Unggahan warganet tersebut berasal dari artikel opini oleh Nasrudin Joha di laman Situasinews.com (arsip) berjudul, "Sibuk Narasi Radikal, Ada 22 Juta Rakyat Kelaparan Era Rezim Jokowi."
Diterbitkan pada 8 November 2019, tulisan itu mengklaim bahwa sejumlah media telah mengutip rilis resmi dari ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) yang didukung Kementerian Bappenas. Dikabarkan bahwa ketiga lembaga itu mengeluarkan sebuah publikasi bertajuk "Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045."
Menurut artikel tersebut, di dalam publikasi itu disebutkan bahwa setidaknya ada 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan sepanjang periode pemerintahan Joko Widodo, tepatnya di antara 2016-2018.
"Luar biasa radikal laporan ADB, Dalam executive summary-nya, riset memberikan catatan sejumlah besar orang masih terlibat dalam pertanian tradisional, terperangkap dalam kegiatan yang dibayar rendah dan kurang produktif," tulis Joha.
"Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi. Pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan."
Klaim lain yang ditulis adalah Indonesia menempati urutan ke-65 di antara 113 negara dalam Indeks Keamanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) yang diterbitkan oleh EIU (Economist Intelligence Unit). Peringkat tersebut diklaim paling buncit di kawasan regional, di bawah Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 40), Thailand (peringkat 54), dan Vietnam (peringkat 62).
Joha juga menambahkan, prioritas Jokowi seharusnya adalah menghilangkan atau setidaknya mengurangi jumlah penduduk yang kelaparan. "Sebanyak 20 juta penduduk mengalami kelaparan, itu artinya jika dibandingkan total angka penduduk Indonesia di 2019 sebesar 269 Juta Jiwa, angka kelaparan telah mencapai 13,5% dari total penduduk," tulisnya.
"Alih-alih fokus menangani masalah kelaparan, kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan yang macet dibawah angka 5 persen, kesenjangan ekonomi, dan rezim yang justru sibuk jualan narasi radikal radikul."
Fakta
Berdasarkan penelusuran Tirto melalui Google Reverse Image, foto dari laman Situasinews berasal dari laman Merdeka.com oleh Arie Basuki pada 2013. Google Reverse Image merupakan layanan dari Google yang memungkinkan pengguna untuk mencari informasi berdasarkan gambar.
Sementara itu, informasi soal 22 juta rakyat kelaparan memang berasal dari publikasi ADB bersama International IFPRI yang didukung Bappenas berjudul 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045' (PDF).
Laporan ini memaparkan analisis dan rekomendasi kebijakan mengenai investasi yang diperlukan di sektor pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan pembangunan ekonomi.
Dalam ringkasan eksekutifnya, dituliskan bahwa pertanian terus memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto, menyediakan lapangan kerja bagi hampir 30 persen tenaga kerja, dan memiliki fungsi penting dalam menyediakan ketahanan pangan.
Namun, laporan ini juga menyebut sebagian besar orang Indonesia masih terlibat dalam pertanian tradisional, terperangkap dalam kegiatan yang dibayar rendah dan kurang produktif. Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup, dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi.
Laporan ini menyebutkan pula bahwa "dalam periode 2016-2018, sebanyak 22 juta orang Indonesia menderita kelaparan." Angka 22 juta masyarakat yang menderita kelaparan tersebut ditulis pada paragraf pertama ringkasan eksekutif laporan tersebut. Beberapa media, seperti CNBC Indonesia, Detik dan CNNIndonesiajuga memuat hasil laporan ADB ini dengan penekanan pada 22 juta orang kelaparan.
Dalam laporannya, ADB juga menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi berdasarkan standar ASEAN, dengan hampir 26 juta orang (9,8%) berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2018, mengutip Arifin et al. (2018) dan WB (2019). Kemudian, terdapat 4,6 juta anak kurang gizi dan 20,7 juta orang (8,3% dari populasi) berisiko mengalami kelaparan pada 2015.
Berdasarkan penjelasan tersebut, klaim 13,5% populasi yang mengalami risiko kelaparan yang dibuat oleh Joha dalam Situasinews.com menjadi tidak akurat. Bahkan jika menggunakan perhitungan kasar 20 juta penduduk yang mengalami kelaparan dibandingkan dengan 269 juta penduduk Indonesia pada 2019, persentasenya 'hanya' 7,43%, masih tidak setinggi klaim Joha dalam Situasinews.com.
Di sisi lain, Indonesia memang menempati posisi 65 dari 113 negara dalam Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang diterbitkan Economist Intelligence Unit (2018)(PDF). Indonesia masih berada di bawah Singapura (1), Malaysia (40), Thailand (ke-54), dan Vietnam (62) karena akses ke makanan di Indonesia masih sulit.
ADB juga menunjukkan ironi mengenai angka stunting Indonesia yang tinggi, padahal negara kita telah mencapai pertumbuhan ekonomi melebihi 5 persen per tahun. Menurut laporan terbaru BPS, ekonomi Indonesia Triwulan III 2019 tumbuh 5.02 persen. Hal ini jelas berbeda dengan klaim di Situasinews.com yang menyebutkan bahwa pertumbuhan Indonesia macet di bawah 5 persen.
Lebih lanjut, hasil riset ADB memang dirilis pada Oktober 2019, sejalan dengan pelantikan Presiden Jokowi dan juga pembentukan Kabinet Indonesia Maju. Namun, Joha melalui opininya dalam Situasinews.com memanfaatkan momen terbitnya laporan ini dan mengaitkannya dengan kebijakan pemerintahan Jokowi yang disinyalir banyak berkaitan dengan radikalisme di Indonesia kendati tidak menunjukkan dengan jelas kebijakan seperti apa yang dimaksud.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi yang beredar melalui situs Situasinews bersifat salah sebagian (partly false).
Beberapa klaim yang dimuat dalam tulisan opini di Situasinews memang sesuai dengan laporan yang ada: sebanyak 22 juta orang mengalami kelaparan seperti yang disebutkan dalam laporan ADB; dan posisi Indonesia yang masih rendah dalam GFSI oleh Economist Intelligence Unit.
Namun, klaim persentase penduduk yang mengalami kelaparan serta pertumbuhan ekonomi macet di bawah 5 persen yang disebutkan dalam opini tersebut tidak tepat.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara