tirto.id - Untuk ukuran orasi ilmiah pengukuhan guru besar, apa yang disampaikan Partini cukup menarik perhatian banyak orang. Pidato berjudul “Perubahan Peranan Perempuan: Peluang dan Tantangan” itu dicetak sebanyak 700 eksemplar.
"Mungkin karena isunya kekinian,” kata guru besar bidang sosiologi di UGM ini, saat ditemui di kantornya 1 November lalu.
Dalam pidatonya, Partini menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan pergeseran pada perempuan di dunia kerja dan pernikahan. "Pekerjaan yang online itu butuh ketelitian, butuh ketekunan, dan karakter itu dimiliki perempuan," kata Partini kepada Dipna Videlia dari Tirto.
Ia ingin menunjukkan bahwa revolusi digital, ditambah faktor semakin besarnya akses perempuan terhadap pendidikan, membuat perempuan punya banyak kesempatan mengisi berbagai pekerjaan pada level menengah.
Namun, ia juga menambahkan bahwa pada level jabatan lebih tinggi, perempuan masih terkungkung stereotip lama yang tak terlalu mendukung perempuan menjadi pemimpin. Karenanya, jumlah perempuan yang mengisi level tertinggi dalam dunia kerja masih jauh di bawah laki-laki.
Berikut ini wawancara lengkap Tirto dengan Profesor Partini di sela kesibukannya membimbing dan mengajar mahasiswa.
Bagaimana teknologi bisa mengubah perilaku manusia?
Teknologi netral, sebenarnya. Tapi harus diingat bahwa teknologi itu berwajah ganda, ibarat pedang bermata dua. Ada sisi positif, ada sisi negatif. Pada sisi positif, teknologi mempermudah manusia untuk menyelesaikan sesuatu. Tetapi, sisi negatifnya jangan diabaikan.
Sekarang semua sudah disediakan teknologi. Apa ada sekarang ibu-ibu atau mahasiswa masak di rumah? Nyuci sendiri? Mereka [memakai jasa] laundry. Laundry ada karena perkembangan teknologi mesin cuci.
Teknologi menyediakan kebutuhan sehari-hari manusia. Di situ teknologi mengubah perilaku manusia. Manusia [bisa] lebih menghemat waktu, menghemat tenaga, menghemat biaya. Dengan teknologi informasi dan komunikasi, lebih lebih lagi [banyak perubahan].
Dampak negatifnya, orang cenderung malas, cenderung menuntut. Anak-anak sekarang karena dari keluarga berada, kalau tidur tidak pakai AC, enggak bisa tidur. Bukankah itu perubahan besar? Kalau ada yang bilang, "Lho, iya, Bu, kan karena panas." Memang iya, tapi perubahan cuaca kan di luar diri manusia. Itu bisa dirunut. Global warming itu disebabkan karena apa, salah satunya karena banyaknya AC yang menyebabkan ozon bocor.
Bisa dibilang seperti lingkaran setan, ya?
Lha, iya. Kalau sudah seperti itu, apakah itu tidak ada perubahan? Kenapa anak-anak sekarang banyak yang nikah dini? Karena pengaruh gadget. Kenapa anak-anak sekarang banyak yang [melakukan] seks bebas? Karena ada teknologi yang seperti ini [sambil menunjukkan sex toys].
Bukankah itu sesuatu yang mengubah perilaku kita? Oleh karena itu, teknologi menyebabkan perubahan perilaku manusia. Kalau mau ditarik secara global, ada gelombang perubahan yang disebabkan teknologi.
Seperti apa misalnya?
Gelombang pertama disebabkan karena Revolusi Industri. Tadinya orang bisa bekerja bersama-sama, punya kesempatan yang sama, karena ada teknologi sekarang perempuan dirumahkan.
Kedua, Revolusi Hijau. Revolusi Hijau tidak hanya terjadi di negara ketiga tapi juga di negara pertama, cuma proses perjalanannya lebih dahulu mereka. Karena [pengarusutamaan] gender baru berkembang di Indonesia baru terjadi tahun 1970-an, sedangkan mereka [di negara-negara Barat] tahun 1950-an. [Bahkan] gerakan feminis sudah dimulai pada abad ke-18, saat ada Revolusi Industri.
Ketiga, revolusi teknologi dan informasi. Ini dahsyat mengubah peradaban manusia. Kalau gelombang pertama perubahannya hanyalah pada pekerjaan jadi berbeda, gelombang kedua dengan Green Revolution itu menyebabkan manusia memperhitungkan untung rugi dan sangat materialistis. Gelombang ketiga bukan cuma [menyebabkan manusia jadi] materialistis, tapi juga egois.
Ini dampak dari perkembangan teknologi yang negatif. Makanya, saya mengatakan ini perubahan peradaban manusia, bukan lagi perubahan perilaku.
Jadi, sekarang kalau kita mau bicara perubahan sosial banyak sekali. Banyak buku yang saya baca perubahan sosial itu disebabkan perubahan teknologi.
Anda kaitkan itu dengan perubahan perilaku perempuan dalam penelitian Anda. Bisa Anda jelaskan?
Saya membahas itu hanya dari dua aspek, pendidikan dan pekerjaan, pernikahan dan transformasi sistem nilai budaya. Perubahan itu cukup signifikan, menurut saya, di arena pendidikan.
Kalau dahulu perempuan itu sekolah menjadi dinomorduakan, terutama pada keluarga yang sosial ekonominya pas, tapi sekarang tidak ada lagi pembedaan atau diskriminasi untuk pendidikan perempuan. Semua anak harus sekolah. Ini juga didukung kebijakan negara tahun 1978, yaitu Wajar (Wajib Belajar) 6 Tahun, kemudian diteruskan Wajar 9 tahun.
Kebijakan ini ternyata ada manfaatnya untuk menghilangkan diskriminasi [yang melihat] perempuan [sebagai] the second sex (jenis kelamin nomor dua). Semua perempuan sekolah. Sekarang, perkembangannya karena semakin sulitnya mencari pekerjaan, laki-laki memilih sekolah sampai SLTA, karena tenaga kerja lulus dari sana siap pakai, pabrik-pabrik itu cukup dengan lulusan SLTA.
Pada satu sisi, perempuan kalah bersaing di dunia pekerjaan yang seperti ini [pekerja terampil]. Akhirnya, untuk tetap punya status, dia sekolah terus sampai perguruan tinggi. [Terjadi] percepatan perempuan dalam menempuh pendidikan, jauh melampaui laki-laki. Kan luar biasa. Anda bisa cek di BPS.
Bahwa secara nasional jumlah perempuan yang lulus sekolah menengah dan apalagi perguruan tinggi itu makin lama makin menunjukkan peningkatan, cari data sepuluh tahun terakhir. Peningkatan pendidikan perempuan sangat signifikan.
Saya khususkan di Yogyakarta, ternyata [jumlah] sarjana perempuan melampaui sarjana laki-laki. Saya khususkan di UGM, datanya jelas sekali. Sepuluh tahun terakhir, perubahannya sangat signifikan. Karena laki-laki kebanyakan hanya mengambil SMA, SMK, D3, sedangkan perempuan terus sekolah, terutama perempuan-perempuan yang belum punya pacar dan belum menikah.
Karena UGM punya S2 dan S3, saya runut lagi. Ternyata jumlah perempuan yang melanjutkan ke S2 itu lebih banyak. Kalau S3 masih 50:50. Tapi kalau yang melanjutkan ke S1 dan S2, lebih banyak perempuan yang studi daripada laki-laki.
Ada banyak analisis, tapi minimal gambarannya seperti itu. Perempuan yang sudah lulus S1 dan S2 mau ngapain, motivasinya apa? Kerja, cari pekerjaan. Sebab, kehidupan di era sekarang itu makin sulit. Jika yang bekerja cuma satu orang, beban ekonomi menjadi lebih berat, oleh karena itu mereka tetap menginginkan memperoleh kehidupan yang layak.
Meskipun perempuan yang sudah berkeluarga?
Iya. Jadi masih dalam soal pendidikan. Implikasi dari pendidikan itu apa? Bekerja. Pekerjaan sekarang kan lebih banyak yang online. online itu membutuhkan ketelitian, ketekunan. Hampir semua pekerjaan yang dengan “e”, job-job yang ditawarkan semua sudah pakai [medium] online. Pencari kerjanya, lebih banyak perempuan.
Datang saja ke kantor ketenagakerjaan, jumlah pencari kartu kuning itu perempuan lebih banyak. Saya bisa mendapat kesimpulan itu karena berbagai sektor saya telusuri.
Pada pekerjaan-pekerjaan yang butuh profesionalisme, pada tingkatan yang sangat profesional, [jumlah] perempuan masih kalah. Tapi dalam profesionalisme middle, perempuan punya akses yang luar biasa. Contoh, pegawai negeri. Sepuluh tahun lalu, jumlah perempuan yang jadi PNS 25 sampe 33 persen, sekarang ini sudah bisa 40 sampai 45 persen jumlah pegawai perempuan di Indonesia.
Pekerjaan yang online itu butuh ketelitian, butuh ketekunan, dan karakter itu dimiliki perempuan. Apakah tidak mungkin perempuan justru melampaui laki-laki untuk bekerja di dunia profesional?
Karakter perempuan itu mempermudah dia mencari pekerjaan yang berbasis online?
Karakter manusianya iya, didukung oleh karakter perubahan sosial yang ada di sekelilingnya, sehingga mengubah peradaban manusia. Tantangan ke depan [semakin besar]. Pengangguran semakin tinggi jika lulusan pendidikan tidak mau beradaptasi dengan perkembangan situasi yang semakin menuntut.
[Di profesionalisme tingkat atas], banyak perempuan pintar tapi kalah bersaing untuk faktor kepemimpinan. Karena apa? Secara kultur, perempuan itu masih diasumsikan sebagai tidak bisa mengambil keputusan.
Keputusan yang diambil perempuan selalu dikatakan emosional, perempuan kurang rasional. Ini adalah watak-watak dasar yang diidentifikasi [sebagai] perbedaan antara maskulin dan feminin.
Tapi saat ini, stereotip ini pun belum banyak berubah. Kita akan selalu kalah bersaing dengan laki-laki karena perempuan kurang berani menyatakan pendapat yang sebenarnya. Takut dicap ini, dicap itu. Ada rasa ketakutan, dan ketakutan ini termanifestasikan [misalnya dalam] seminar. Perempuan kurang berani bertanya. Dia mengerti, tapi dia tidak mampu mengemukakan pendapatnya di depan publik.
Perasaan takut itu apakah memang sudah bawaan atau bagaimana?
Perasaan takut itu karena ini warisan dari kultur patriarki. Karena zaman dahulu, perempuan kalau ngomong enggak boleh keras, harus selalu diam. Pernah liat film Kartini? Semuanya hanya tunduk, padahal Kartini dalam hatinya bergelora. Dari film Kartini saja sudah kelihatan bahwa perempuan tidak boleh berbicara. Tertawa tidak boleh kelihatan giginya, hanya boleh tersenyum.
Kalau bicara keras, dicap urakan. Ini terstruktur. Kultur seperti ini ditransformasikan secara turun temurun dan bertahun-tahun. Akhirnya menjadi sebuah pegangan hidup. Sehingga perempuan untuk bisa bicara di depan publik, enggak berani. Karena kultur yang ditanamkan keluarga sejak dahulu seperti itu. Dan itu sudah terlembaga dalam dirinya.
Bagaimana mengubah itu?
Harus ada perubahan radikal dalam diri seseorang. Harus ada perubahan mindset.
Seperti Kartini, ya?
Iya. Seperti Kartini. Kardinah, saudara Kartini yang lain, kan, manut saja. Yang berani membantah cuma Kartini.
Kalau di ruang kelas, jika ada diskusi, perempuan [biasanya] nilainya paling tinggi, tapi ketika kita lempar pertanyaan, jarang sekali ada perempuan mau mengangkat tangan. Kalau toh pun ada yang berani bicara, [orangnya] itu-itu saja. Padahal, jumlah mahasiswa yang cum laude baik S1 maupun S2 itu didominasi perempuan. Tapi, kenapa dalam diskusi selalu kalah bersaing dan tidak mau tampil?
Itu menjadi salah satu alasan kenapa perempuan selalu kalah bersaing untuk jadi pimpinan. Jika [ada posisi] pimpinan karena penunjukan, perempuan masih punya kesempatan. Tapi jika melalui persaingan, laki-laki akan mengalahkan perempuan.
Dan itu tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di Amerika. Penelitian ini dilakukan di perusahaan-perusahaan besar. Perempuan hanya menempati posisi middle. Tapi top leader selalu laki-laki.
Sampai sekarang pun masih seperti itu?
Sekarang masih. Apalagi kultur kita ini masih sangat dipengaruhi oleh stereotip tentang inlader, mengkritik pimpinan enggak berani. Itu kan watak yang ditanamkan Belanda kepada kita, agar tidak berani melawan.
Itu dari sisi pendidikan dan pekerjaan. Lalu, bagaimana teknologi mengubah perilaku perempuan dari aspek pernikahan?
Ini dampak teknologi lagi, sekarang anak kecil sudah bisa chatting. Bisa buka situs. Anak-anak remaja itu belum punya pegangan, tidak punya kultur untuk pegangan. Kenapa tidak punya kultur? Karena didikan dari orang tua itu sudah rendah, sudah berkurang. Karena ibunya kalau di rumah sudah pulang kerja, sudah capek, tidak punya waktu untuk mengajari anak-anaknya.
Jika perempuan [sebagai orangtua] tidak berniat untuk meluangkan waktu untuk mendidik anak, apa yang terjadi? Anak akan lebih percaya teman sebaya daripada orang tuanya.
Kedua, anak-anak sekarang itu tidak perlu diberitahu tapi melihat contoh, dia akan menafikan semua petuah orang yang lebih tua tapi dia akan melihat, yang dilihat itulah yang dicontoh.
Apa yang dia lihat, film porno, situs telanjang. Itu kan dampak teknologi. Membuat anak ingin mencoba dan melakukan hubungan seks.
Kalau sudah hamil? Menikah. Ada juga yang menikah biar halal. Teknologi berdampak pada [apakah perempuan] mau menikah dini atau mau menikah lambat. Bahkan tidak menikah. Banyak perempuan yang tidak menikah demi karier, demi eksistensi diri. Bukankah itu [karena] teknologi?
Banyak yang berpendapat, laki-laki itu bikin ribet. Karena [laki-laki] menuntut ini, menuntut itu. Jadi, mereka memilih tidak menikah. Dampaknya seperti itu.
Memilih tidak menikah dampak dari teknologi?
Saya kira, dampak dari teknologi dan dampak dari pekerjaan, [keduanya] berkaitan. Sekarang sudah ada sex shop. Orang sudah bisa memberi kepuasan pada diri sendiri, tidak perlu menikah.
Sex shop sudah ada di mana-mana. Bukankah itu dampak teknologi? Orang sekarang bisa cari teman kencan lewat media sosial, tanpa perlu perantara. Bisa mencari kepuasan sendiri tanpa perlu suami atau istri. Padahal itu dianggap maksiat oleh agama. Tapi kalau ngomongin agama, ya beda lagi ceritanya.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maulida Sri Handayani