tirto.id - Tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi mengumumkan ribuan peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pemerintah pusat. Berdasarkan data yang diunggah di laman resmi Kemendagri, ada sekitar 3.143 perda yang dicabut karena dianggap bermasalah serta menghambat investasi.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengatakan, tujuan dari pembatalan perda tersebut untuk memperkuat daya saing bangsa Indonesia di era kompetisi. “Perda itu merupakan aturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, hambat investasi, dan kemudahan berusaha,” ujarnya saat itu, seperti dikutip laman setkab.go.id.
Tak hanya itu, Tjahjo mengaku, Kemendagri juga mengevaluasi perda yang bertentangan dengan konstitusi, serta peraturan undang-undang (UU) yang lebih tinggi. Selain itu, pemerintah juga tengah mengevaluasi perda maupun peraturan kepala daerah yang tidak sesuai dengan semangat dalam menjaga kebhinekaan dan persatuan Indonesia.
Mendagri memang memiliki wewenang untuk membatalkan perda yang dianggap bermasalah, baik karena menghambat investasi, maupun yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Namun, kewenangan tersebut telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui majelis hakim MK dalam sidang uji materi yang digelar, di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (5/4/2017). Sidang yang dipimpin oleh Arief Hidayat tersebut memutuskan membatalkan berlakunya aturan terkait kewenangan Mendagri dalam membatalkan peraturan daerah.
“Mengabulkan permohonan Pemohon sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa '… pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat', Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” demikian bunyi putusan yang diterbitkan oleh MK.
Uji materi tersebut diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) bersama 45 pemerintah daerah kabupaten, serta satu orang warga negara mengajukan uji materi terhadap UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Mereka berpendapat bahwa prinsip otonomi daerah yang terdapat dalam UU Pemda tersebut merupakan otonomi terbatas dan bukan otonomi luas.
Menurut Pemohon, UU No. 23 tahun 2014 tersebut terdapat pembagian urusan pemerintahan secara kategoris, yakni absolut, konkuren, dan pemerintah pusat. Bahkan pembagian kategori ini dirinci secara spesifik, sehingga hampir-hampir tidak ada lagi ruang terbuka bagi pemerintahan daerah dalam pengurusan sendiri rumah tangganya, kecuali sudah ditentukan dalam UU dan peraturan pemerintah serta peraturan presiden.
Para pemohon juga mendalilkan bahwa jika pemerintah daerah dan DPRD mengeluarkan kebijakan, maka kebijakan tersebut harus sesuai dengan norma, standar, kriteria dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Apabila kebijakan tersebut bertentangan, maka pemerintah pusat melalui gubernur dapat membatalkan kebijakan bupati/walikota serta DPRD kabupaten/kota dengan serta merta.
Karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK Dinilai Hambat Investasi
Menanggapi hal itu, Mendagri Tjahjo Kumolo menilai bahwa putusan MK yang mencabut kewenangan Mendagri membatalkan perda menghambat investasi. Ia menyatakan kekecewaannya atas putusan yang mengebiri wewenangnya tersebut.
“Saya sebagai Mendagri jujur tidak habis pikir dengan keputusan MK yang mencabut kewenangan Mendagri membatalkan perda-perda, yang jelas-jelas menghambat investasi,” kata Tjahjo di Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (6/4/2017).
Tjahjo mengatakan, pembatalan perda adalah wilayah eksekutif untuk mengkajinya. Perda juga produk pemerintah daerah, yaitu antara kepala daerah dan DPRD.
Menurut dia, akibat putusan MK ini, potensi yang mengkhawatirkan adalah program deregulasi untuk investasi dari pemerintah secara terpadu (pusat dan daerah) jelas akan terhambat karena saat ini masih banyak perda yang bertentangan dengan UU lebih tinggi dan memperpanjang birokrasi perizinan investasi lokal dan nasional serta internasional.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif, yakni pemerintah daerah dan DPRD. Sedianya, pembatalan produk hukum berupa peraturan di bawah undang-undang itu bisa dibatalkan jika dilakukan melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Agung.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Akan tetapi, Tjahjo meragukan Mahkamah Agung mampu membatalkan sejumlah perda bermasalah dan berpotensi menghambat investasi di sejumlah daerah mengingat pengalaman Mahkamah Agung yang hanya mampu membatalkan dua perda pada tahun 2012 lalu.
“Di sisi lain, saya sebagai Mendagri juga sangat tidak yakin MA mampu membatalkan Perda dalam waktu dekat atau singkat karena harus satu per satu diputuskan. Pengalaman pada tahun 2012, hanya ada dua Perda yang dibatalkan oleh MA,” ujarnya.
Namun demikian, Tjahjo menyatakan pihaknya akan mengajak Apkasi untuk mencari jalan keluar untuk masalah tersebut.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz