tirto.id - Serangan teror beruntun tak mengurung niat Inggris melakukan pemilihan umum pada Kamis (8/6/2017) untuk menentukan jumlah kursi partai di parlemen. Tempat pemungutan suara (TPS) tetap mulai dibuka sejak pukul 7 pagi hingga pukul 10 malam. Sebanyak 46,9 juta penduduk mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut. Jumlah ini mengalami peningkatan dari pemilu sebelumnya yang hanya sebanyak 46,4 juta pemilih.
Pemilu di Inggris setidaknya memperebutkan 326 dari 650 kursi parlemen. Jumlah itu menjadi standar atau yang dibutuhkan untuk menang secara mayoritas. Berdasarkan hitungan cepat BBC, Partai Konservatif yang mengusung Theresa May memperoleh kursi terbanyak di parlemen dengan 318 kursi. Namun, perolehan itu tidaklah membawa Konservatif untuk mendapatkan kekuasaan mayoritas pada parlemen karena tak mencapai 326 kursi.
Jika dibandingkan pada pemilu sebelumnya, Konservatif sesungguhnya kehilangan 12 kursi meski sebelumnya banyak yang memprediksi jika Konservatif akan kembali mengulang kemenangan seperti pemilu 2015. Sedangkan pihak oposisi yang berasal dari Partai Buruh berhasil memperoleh 261 kursi di parlemen.
Perolehan tersebut penting bagi Partai Buruh yang awalnya diprediksi akan terpuruk seperti pemilu sebelumnya. Namun partai yang mengusung politisi kiri asal Australia, Jeremy Corbyn itu malah berhasil menambah 29 kursi di parlemen, jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Partai Nasional Rakyat Skotlandia (SNP) hanya memperoleh 35 kursi atau kehilangan 21 kursi di parlemen Inggris. Partai Demokrat Liberal (LD) memperoleh 12 kursi. Dalam pemilu kali ini, Liberal Demokrat berhasil menambah 4 kursi dibandingkan pemilu sebelumnya.
Tak adanya partai yang mencapai 326 suara untuk memimpin secara mayoritas menyebabkan pemerintahan yang menggantung atau hung parliament. Berdasarkan kebijakan pemerintah Inggris, jika pemilu tak menghasilkan partai yang menang mayoritas maka secara otomatis perdana menteri sebelumnya akan kembali menjadi perdana menteri. Ia hanya akan berhenti jika ia sendiri yang mengajukan pengunduran diri.
Melihat kondisi ini, beberapa pengamat berpendapat bahwa langkah Theresa May yang meminta percepatan pemilu yang seharusnya dilakukan pada tahun 2020 sebagai sebuah langkah “bunuh diri”. Awalnya, Theresa May cukup percaya diri akan menang secara mayoritas dalam pemilu. Ini karena jajak pendapat saat itu memprediksi Konservatif akan kembali mengukir kemenangan seperti pemilu sebelumnya. Momen ini tak ingin disia-siakan May. Kebijakan Inggris yang memberi hak kepada perdana menteri untuk menentukan sendiri kapan pemilu parlemen dilaksanakan pun dimanfaatkan May.
Keyakinan May, dengan mempercepat pemilu, ia akan berpeluang mendapat banyak suara karena merasa banyaknya dukungan untuk Konservatif. Hal ini bertujuan untuk memberinya “kekuatan lebih” dalam bernegosiasi terkait Brexit yang akan dilakukan dalam beberapa pekan ke depan. Di sisi lain, percepatan pemilu juga dilakukan terkait ketakutan May akan partai oposisi seperti Partai Buruh yang akan berusaha menghalangi strateginya dalam menarik Inggris keluar dari Uni Eropa. Hal itu karena sebagian besar partai Buruh lebih memilih agar Inggris tetap menjadi bagian dari Uni Eropa.
Jika partai Buruh dan partai oposisi lainnya menggagalkan strateginya, maka itu akan membuat pemerintahannya semakin lemah, mempertaruhkan proses Brexit, ketidakpastian dan ketidakstabilan yang merugikan negara. Sehingga ia harus menang secara mayoritas. Keyakinan untuk menang semakin kuat saat rekomendasi Theresa May pada April 2017 untuk mempercepat pemilu didukung oleh 522 suara parlemen atau hampir seluruh parlemen. Momen yang pas menurutnya karena banyaknya dukungan untuk Konservatif, sehingga rencana pemilu pun ditetapkan pada 8 Juni 2017.
“Setiap suara untuk Konservatif berarti kita akan tetap berpegang pada rencana kita untuk Inggris yang lebih kuat dan mengambil keputusan jangka panjang yang tepat untuk masa depan yang lebih aman,” ujar Theresa May, seperti dikutip BBC.
Nahasnya, bukannya mengukir kembali kemenangan yang pernah didapat, Konservatif malah kehilangan 12 kursi di parlemen. Anggota parlemen Anna Soubry adalah yang pertama dari kubu Konservatif yang melontarkan kritik terhadap Theresa May dan mengimbau PM Inggris itu untuk "memikirkan lagi posisinya".
Sedangkan George Osborne, mantan kanselir yang dipecat May mengungkapkan bahwa “Saya bekerja sangat baik dengan Theresa May dan saya pikir ia cerdas dan berintegritas.” Hasil pemilu ini menurutnya adalah hasil yang buruk bagi May dibandingkan dua tahun sebelumnya. Bahkan May, menurut George, hampir tak mampu membentuk pemerintahan sehingga ia kemudian ragu sampai kapan May akan bertahan memimpin Partai Konservatif.
Kandidat yang diusung Partai Buruh, Jeremy Corbyn turut berkomentar terkait hasil polling ini. Ia mengungkapkan bahwa May telah kehilangan mandatnya dan ia meminta agar PM Inggris itu segera mengundurkan diri. Hasil ini tentu menjadi pukulan berat bagi PM Theresa May. Pascapengumuman exit poll, ia mengatakan; “yang paling dibutuhkan oleh negara kita saat ini adalah stabilitas.”
Hasil pemilu ini tentu berpengaruh pada negosiasi terkait Brexit yang berpotensi akan diundur dari waktu yang sudah ditentukan. Selain itu, parlemen menggantung juga berdampak pada poundsterling. Diketahui, mata uang poundsterling “terjun bebas” sebagai reaksi terhadap hasil pemilu Inggris. Pounsterling turun dua setengah sen dan pada Jumat (9/6/2017) diperdagangkan dengan 1,27 dolar AS per sterling.
Para pelaku bisnis juga kini menunggu kepastian dari pemerintah. Aston Martin misalnya mendesak para politisi negerinya untuk menghadirkan kepastian bisnis agar mereka dapat melanjutkan investasi selepas pemilu.
"Kami harus menekankan kebutuhan arah kebijakan yang cepat dan menentukan demi memastikan bahwa para pelaku bisnis dapat melanjutkan investasi untuk pertumbuhan jangka panjang sekaligus menjaga daya saing ekonomi Inggris di tingkat global," kata Chief Executive Aston Martin, Andy Palmer, seperti dikutip Reuters.
Aston Martin juga mendesak pemerintahan baru terkait kejelasan hubungan Inggris dengan Eropa. "Kejelasan hubungan antara Inggris dengan Eropa harus dibangun secara cepat dan bersama-sama sembari menegaskan kembali jaminan kepada rekanan perdagangan kita, bahwa Inggris tetap memberi lingkungan bisnis yang dinamis dan berkembang," ujar Andy.
Selain itu, menanggapi pemilu Inggris, sebagian besar surat kabar Inggris menempatkan wajah Theresa May di halaman depan. The Times, Financial Times dan The Herald sepakat memberi headline “May's Gamble Fails.”
Media sayap kiri Daily Mirrors menempatkan foto Theresa May dengan rambut yang tertiup angin dengan judul "Hanging by a thread." Sedangkan surat kabar terlaris The Sun terlihat lebih agresif dengan menempatkan headline: “Mayhem.” The Guardian, surat kabar liberal lebih memberi tanggapan standar dengan headline “Exit poll shock for May.”
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti