tirto.id - Bagi 12-22% pasangan usia subur di Indonesia, masalah infertilitas masih menjadi persoalan serius. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 48 juta pasangan dan 186 juta orang di dunia sedang menghadapi masalah infertilitas.
Infertilitas adalah masalah kesehatan pada sistem reproduksi pria atau wanita yang didefinisikan oleh kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah 12 bulan atau lebih dari hubungan seksual tanpa kontrasepsi secara teratur.
Pada sistem reproduksi pria, infertilitas paling sering disebabkan oleh masalah dalam injeksi sperma, ini dapat berupa tidak adanya sperma atau rendahnya kualitas sperma. Rendahnya kualitas sperma biasanya ditandai dengan bentuk dan pergerakan sperma yang tidak normal.
Sedangkan pada sistem reproduksi perempuan, infertilitas dapat disebabkan oleh berbagai kelainan ovarium, rahim, saluran tuba, hingga sistem endokrin.
Masalah kesehatan ini dapat diatasi dengan perawatan medis yang intensif. Namun, biayanya tidak murah dan mudah. Mahalnya biaya menjadi masalah utama bagi kalangan miskin hingga kelas menengah, berbeda dengan kaum kaya yang lebih mampu mengakses perawatan medis infertilitas.
Di Indonesia, sokongan pemerintah terhadap penderita infertilitas masih nihil. Segala aspek perawatan medis yang ditempuh oleh penderita masih harus dipenuhi dengan biaya pribadi. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) pun tidak menanggungnya.
“Pelayanan untuk mengatasi infertilitas” termasuk salah satu pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, sebagaimana yang tertulis dalam buku Panduan Layanan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat(JK-KIS)terbitan BPJS Kesehatan. Hal tersebut ditegaskan pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Lebih lanjut, pembahasan mengenai masalah infertilitas juga disinggung dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, tepatnya di Bab V tentang Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.
Pasal 41 dalam regulasi tersebut menyebutkan, pasangan suami istri yang ingin menggunakan pelayanan reproduksi dengan bantuan kehamilan di luar cara alamiah harus memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satunya seperti yang disebutkan di Poin 5 bahwa penderita harus “mampu membiayai prosedur yang dijalani.”
Bagi penderita yang memang mempunyai biaya untuk mengakses perawatan medis, uang puluhan hingga ratusan juta rupiah bukanlah hal yang berarti demi memiliki buah hati.
Sebaliknya, ini menjadi mimpi buruk bagi mereka yang berasal dari golongan kelas ekonomi menengah ke bawah. Meskipun keinginan memiliki momongan menjadi impian yang bakal diupayakan sekuat tenaga, namun kondisi ekonomi dan biaya perawatan infertilitas yang tinggi membuat ikhtiar yang dilakoni kerap hanya berujung mimpi.
Cerita Mereka yang Berjibaku dengan Infertilitas
Pengalaman berjibaku dengan masalah infertilitas pernah dirasakan oleh pasangan asal Bengkulu, Tia dan Handi (bukan nama sebenarnya). Setelah 3,5 tahun usia pernikahan mereka, buah hati yang dinanti tak kunjung hadir.
Awalnya, mereka menempuh cara tradisional yang dipercaya dapat mengatasi masalah infertilitas. Sudah beberapa orang pintar atau dukun yang pernah didatangi. Biayanya murah karena tak ada patokan harga, namun usaha itu tak berhasil.
Tia dan Handi lalu memutuskan untuk cek medis secara menyeluruh. Hasil cek menunjukkan bahwa ternyata Handi menderita varikokel yang merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria. Varikokel adalah pelebaran abnormal dan pembesaran pleksus pampiniformis vena skrotum yang mengalirkan darah dari setiap testis.
Riset Stephen W. Leslie dan kawan-kawan bertajuk “Varicocele” yang dipublikasikan National Library of Medicine menyebutkan, meskipun biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, varikokel secara klinis signifikan karena merupakan penyebab paling umum dari analisis semen abnormal, jumlah sperma yang rendah, penurunan motilitas sperma, dan morfologi sperma yang abnormal.
Mengenai kondisi yang dihadapi Handi, dokter yang menangani menganjurkan untuk melakukan tindakan operasi. Namun, Tia dan Handi memutuskan tidak melakukannya. Mereka khawatir akan risikonya, kegagalan operasi mungkin bisa terjadi.
Sejak saat itu, pasangan ini mempertimbangkan opsi lain untuk mendapatkan momongan. Lalu, mereka mendatangi salah satu klinik yang menawarkan program bayi tabung di Jakarta untuk berkonsultasi mengenai program bayi tabung. Dokter pun menyarankan mereka untuk menjalani program bayi tabung jika memang sudah ada minat.
Pada 2019, setelah melalui berbagai pertimbangan, Tia dan Handi akhirnya memantapkan diri untuk menempuh program bayi tabung.
Program bayi tabung atau dalam istilah medisnya disebut In Vitro Fertilization (IVF) merupakan salah satu tindakan medis yang dilakukan untuk membantu penderita infertilitas agar bisa mendapatkan momongan.
Selama proses IVF, sel telur dikeluarkan dari ovarium wanita dan dibuahi dengan sperma di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi atau disebut embrio kemudian dimasukkan kembali ke rahim wanita untuk tumbuh dan berkembang.
Pasangan Tia dan Handi mengaku setiap tahapan yang dilewati dalam proses program bayi tabung yang dilakukan mereka tiga tahun silam dibayar menggunakan uang pribadi tanpa terkecuali. Selama proses yang dijalani, mereka menghabiskan biaya hingga Rp200 juta.
Tia menjelaskan, tindakan utama seperti ovum pickup atau pengambilan sel telur menghabiskan Rp50 juta per satu kali tindakan. Belum lagi proses tahapan pengambilan sel sperma yang menghabiskan biaya tak kurang dari Rp20 juta.
Setelah melakukan serangkaian utama proses bayi tabung yang dijalani selama 2 minggu, sesuai dengan anjuran dokter, Tia harus beristirahat total selama 2 minggu. Nasib baik, dalam satu kali percobaan atau setelah 4 minggu dari awal rangkaian program, Tia dinyatakan positif hamil.
Meskipun sudah positif hamil, masih ada rangkaian tindakan yang harus dijalani, seperti pemberian injeksi atau suntikan untuk perawatan agar kandungan berkembang dengan baik.
Suntikan ini dilakukan sebanyak 1 kali sehari selama 2 bulan. Kala itu, biaya yang dikeluarkan adalah Rp500.000 per satu kali suntikan. Jika ditotal, biaya yang dihabiskan untuk suntikan ini saja mencapai Rp30 juta rupiah.
Itu belum termasuk biaya konsultasi, obat-obatan, USG, hingga cek laboratorium setiap kali pertemuan. Nominal tersebut hanya untuk biaya perawatan di klinik saja, belum termasuk akomodasi selama tiga bulan di Jakarta. Tia dan Handi indekos di Jakarta selama menjalani rawat jalan.
Walaupun usaha yang dilakukan menguras kantong, Tia dan Handi sungguh bergembira dengan kehadiran buah hati yang telah lama didambakan. Usaha dan biaya yang sudah dikorbankan tidak sia-sia.
Menurut hasil riset S.J. Dyer dan M. Patel bertajuk “The Economic Impact of Infertility on Women in Developing Countries ‑ a Systematic Review” dalam Jurnal FVV in Obgyn (2012), biaya perawatan infertilitas dapat memiskinkan dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi.
Ini menguatkan pendapat yang diungkapkan oleh Steven Russel, ekonom kesehatan dari Oxford University. Dalam riset yang dirilis pada 1996, Russel menyebutkan bahwa kesediaan untuk membayar biaya kesehatan bukan berarti mampu untuk membayar.
Penelitian Adrienne Riegle dari Iowa State University mendapatkan fakta menarik lainnya. Terungkap bahwa perempuan yang berada dalam garis hidup kemiskinan memiliki kemungkinan jauh lebih tinggi (˃300%) mengkhawatirkan masalah infertilitas yang mungkin akan menimpa dirinya di kemudian hari.
Riset tersebut juga mengungkapkan bahwa kemiskinan menjadi masalah awal dan mendasar dalam proses pencarian bantuan untuk mengatasi infertilitas.
Cerita lain tentang perjuangan menghadapi infertilitas dirasakan juga oleh Eni dan Wono (bukan nama sebenarnya). Pasangan asal Bengkulu ini telah menghadapi masalah infertilitas selama kurang lebih 15 tahun.
Usaha secara tradisional sudah dicoba oleh Eni dan Wono. Mereka bahkan sudah tidak bisa ingat sudah berapa puluh dukun, tukang pijit tradisional, atau orang pintar yang dikunjungi, namun belum juga membuahkan hasil.
Pada 2010, setelah mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan, pasangan ini memutuskan untuk cek medis kepada spesialis kandungan di salah satu rumah sakit di Bengkulu. Dari hasil pemeriksaan dokter terungkap bahwa Eni menderita Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau penyumbatan pada tuba fallopi.
Penyumbatan atau penyempitan tuba fallopi mengakibatkan sel telur tidak dapat dibuahi oleh sel sperma. Dikutip dari Infertilitas dan Pendidikan Seks (2021) karya Irmawati dan Andi Baharuddin, kondisi inilah yang membuat kehamilan sulit terjadi.
Kepada Eni dan Wowo, dokter menyarankan untuk menjalani operasi pembersihan saluran tuba fallopi dengan kisaran biaya kala itu mencapai Rp15 juta. Hanya saja, meskipun sudah menjalani operasi dan berhasil, belum ada jaminan bisa hamil.
Selain itu, operasi tersebut tidak dapat dilakukan di Bengkulu karena hanya tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta atau Palembang.
Untuk perawatan ke luar kota tentu akan menambah biaya yang tidak murah. Terlebih, biaya tindakan medis yang akan dijalankan tidak bisa menggunakan BPJS Kesehatan. Dengan berat hati, Eni dan Wono memutuskan untuk tidak menjalani operasi tersebut.
Pasangan ini tetap berikhtiar dengan cek medis ke dokter spesialis kandungan lainnya. Mereka disarankan untuk melakukan tindakan hidrotubasi. Hidrotubasi adalah salah satu tindakan medis yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan pada tuba fallopi dengan cara menyemprotkan cairan khusus ke dalam tuba.
Untuk melakukan prosedur tersebut, Eni harus membayar uang sekitar Rp700.000 untuk satu kali tindakan. Hidrotubasi yang dijalani Eni membuahkan hasil karena pada 2015 ia akhirnya hamil.
Semula, semua baik-baik saja. Memasuki kehamilan bulan keempat, perut Eni terasa sakit luar biasa. Dokter yang melakukan pemeriksaan awal menyatakan kandungan Eni baik-baik saja. Namun, sakit tidak terkira yang dirasakan Eni membuat dokter curiga. Dokter kemudian memeriksa kembali dan mencurigai bahwa Eni mengalami hamil di luar rahim.
Dugaan tersebut benar. Eni ternyata hamil kembar di luar rahim. Satu janin normal di dalam lahir dan satu janin lainnya ternyata berkembang di dalam tuba fallopi yang menyebabkan rasa sakit luar biasa. Operasi besar tersebut membuat Eni harus merelakan tuba fallopi sebelah kanannya diangkat. Nasib baik, penanganan operasi pengangkatan janin dan tuba fallopi ini dibantu dengan BPJS Kesehatan.
Kejadian tersebut membuat Eni saat ini hanya memiliki saluran tuba sebelah kiri saja. Pilihan melakukan program bayi tabung sempat terbersit, tapi menurutnya itu tidak mungkin. Selain karena biayanya yang sangat tinggi, Eni sudah memasuki usia rentan untuk hamil.
Selama melakukan perawatan medis, pasangan Eni dan Wono menghabiskan biaya sekitar Rp16 juta. Pengecekan awal pada 2010 setidaknya menelan biaya Rp5 juta, terapi hidrotubasi dan biaya lain-lain menghabiskan kisaran Rp6 juta, kemudian biaya administrasi operasi pengangkatan janin dan tuba fallopi di luar tanggungan BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sekitar Rp5 juta.
Jelas bahwa persoalan biaya adalah hal krusial dalam usaha penanganan infertilitas. Terlebih, sampai saat ini di Indonesia permasalahan kesehatan reproduksi belum dijamin oleh asuransi swasta maupun BPJS Kesehatan.
Infertilitas di Indonesia Tidak Dijamin BPJS Kesehatan
Mengenai infertilitas yang tidak dijamin, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nasional, Iqbal Anas Maruf, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut berkaitan dengan komitmen pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.
“Aturan ini ditetapkan agar tidak bertentangan dengan tugas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yaitu untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui penyelenggaraan Program Keluarga Berencana (KB),” jelas Iqbal Anas Maruf.
Di lain pihak, ahli infertilitas dr. Shofwal Widad, Sp.OG.KFER, menjelaskan bahwa tidak memasukkan infertilitas sebagai penyakit yang menjadi tanggungan asuransi kesehatan merupakan bentuk diskriminasi terhadap penyakit dengan segala dampaknya. Menurutnya, Infertilitas sama halnya dengan penyakit paru-paru atau jantung yang bisa menyerang siapa pun.
Analisis utama terkait permasalahan laju pertumbuhan penduduk, lanjut dr. Shofwal Widad, bukan karena kelahiran yang tinggi, tetapi lebih karena usia harapan hidup yang meningkat.
Masalah infertilitas tidak ada hubungan dengan pengendalian laju penduduk, karena saat ini masalah yang tengah dihadapi adalah populasi masyarakat yang tidak mempunyai anak. Perlu digarisbawahi bahwa ini bukan memberikan kesempatan pada mereka yang sudah memiliki anak untuk beranak pinak lebih banyak lagi.
Dijelaskan juga oleh dr. Shofwal Widad, jika negara dengan diwakili BPJS Kesehatan hadir dalam permasalahan infertilitas, maka biaya dan mutu perawatan infertilitas akan dapat dikontrol sehingga pelayanan bisa menjadi efisien.
Jadi, tidak hanya mereka yang memiliki finansial kuat saja yang dapat mengakses layanan kesehatan infertilitas. Layanan penanganan infertilitas diharapkan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia, dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan non-diskriminasi.
Terpenting, masih menurut dr. Shofwal Widad, kesehatan reproduksi menyangkut hak asasi manusia, ini menyangkut pemenuhan hak seseorang. Sudah seharusnya negara hadir untuk mewujudkan pemenuhan hak dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
“Hak untuk reproduksi adalah bagian dari hak asasi manusia. Mestinya negara hadir di sana, pemenuhan hak. Artinya, di situlah negara memang harus hadir. Jadi, ini bukan masalah over populasi yang dikhawatirkan, bukan, sama sekali bukan,” tegas dr. Shofwal Widad.
Kondisi penderita infertilitas di Indonesia berbanding terbalik dengan beberapa negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Negara-negara tersebut memberikan jaminan untuk perawatan infertilitas.
Di Belanda, perawatan infertilitas ditanggung oleh asuransi dasar. Ini mencakup tiga perawatan IVF lengkap yang terdiri dari: stimulasi hormonal, pengambilan sel telur, dan transfer embrio ke dalam rahim.
Begitu pula dengan sistem kesehatan di Inggris. Pemerintah Inggris memberikan jaminan bagi penderita infertilitas yang memenuhi kriteria tertentu, tidak pandang bulu, kaya atau miskin memiliki hak yang sama.
Sejak era 1980-an, beberapa negara bagian di Amerika Serikat termasuk Arkansas, California, Connecticut, Delaware, Hawaii, Illinois, Louisiana, Maryland, Massachusetts, Montana, New Hampshire, New Jersey, New York, Ohio, Rhode Island, Texas, dan Virginia Barat, telah mengesahkan undang-undang mewajibkan perusahaan asuransi untuk menjamin atau menawarkan jaminan diagnosis serta perawatan infertilitas.
Infertilitas dengan segudang biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita dapat membuat gonjang-ganjing perekonomian keluarga. Pada titik terburuk, bukan tak mungkin berpotensi memiskinkan penderitanya.
Selain itu, tertutupnya opsi perawatan infertilitas bagi orang miskin hingga kelas menengah juga bisa berdampak terhadap kesehatan mental hingga berpotensi mengancam keharmonisan keluarga.
-----------------------
* Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung Global Affairs Canada. Isi seluruh artikel ini menjadi tanggung jawab penulis.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.