tirto.id - Dewan Pers telah berinisiatif memerangi berita-berita hoax yang kerap disebarkan media abal-abal. Untuk memudahkan masyarakat membedakan media mainstream dengan media abal-abal, sistem barcode nantinya akan diberikan kepada media massa yang sudah terverifikasi Dewan Pers.
"Nanti ada barcode-nya, bahwa media ini trusted [terpercaya], terverifikasi di Dewan Pers. Ini juga bertujuan meminimalisir masyarakat dirugikan oleh pemberitaan hoax," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo kepada Antara di Jakarta, Rabu (5/1/2017).
Yosep menjelaskan, barcode yang akan ditempelkan pada media cetak dan online itu dapat dipindai dengan telepon pintar yang akan terhubung dengan data Dewan Pers.
"Jadi barcode itu bukan berbentuk yang garis-garis, tetapi kotak-kotak, yang menampilkan penanggung jawab media itu siapa, alamatnya di mana," katanya.
Pria yang karib disapa Stanley itu mengatakan, sistem barcode yang merupakan hasil kerja sama Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat ini dalam tahap penyelesaian.
"Nah, nanti dengan adanya barcode, bisa ketahuan media yang ada tanda atau tidak dari Dewan Pers. Hal ini juga untuk menghindari adanya media seperti Obor Rakyat di masa mendatang," ujarnya.
Barcode ini akan diluncurkan secara bertahap mulai 9 Februari 2017 yang bertepatan dengan penyelenggaraan Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon.
"Kalau ini berhasil, ini bisa menjadi cerita sukses ketika Indonesia menjadi tuan rumah World Press Freedom Day pada Mei 2017," ujar Stanley.
Sementara itu, terkait maraknya berita-berita hoax dan tidak jelas kebenarannya, dalam "Dialog Dinamika UU ITE Pasca Revisi", pemerintah diharapkan memberikan sanksi terhadap situs atau media yang menyiarkannya. Ini disampaikan Kepala Pusat Pemulihan Aset Negara, Arief Muliawan, yang dulu pernah terlibat dalam pembuatan UU ITE pada 2006-2008.
"Berita yang hoax blokir, tapi dibuktikan bahwa berita tersebut memang hoax, jangan sampai berita yang benar diblokir. Dan, yang perlu dikaji adalah apakah yang diblokir situsnya apakah pemberitaannya," kata Arief di Jakarta, Rabu (28/12/2016).
"Dengan memberikan sanksi tentunya, sekali diblokir, dua kali diblokir, tiga kali ya ditutup saja kalau beritanya hoax terus, tentu harus ada sanksi, kalau tidak mereka bikin lagi, bikin lagi, itu memang harus diblokir," sambung dia.
Lebih lanjut, menurut Arief, pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi terhadap pemberitaan yang tidak benar. "Pemerintah sosialisasi bahwa berita itu tidak benar, harus ada press release dari pemerintah, dan tentunya bantuan dari rekan-rekan media," kata dia.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari