tirto.id - Banyaknya mitos soal vaksin yang beredar dan masih adanya sebagian kecil masyarakat yang meragukan keamanan vaksin COVID-19 yang sedang dalam proses pengujian, perlu diklarifikasi oleh para ahli.
Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman serta fakta yang benar dan menyeluruh bagi masyarakat agar tidak salah persepsi lagi tentang keamanan dan kemanjuran vaksin COVID-19.
“Mitos seputar vaksin cukup banyak, masyarakat harus pandai memastikan informasi yang benar. Hal yang tidak masuk akal, harus kita tinggalkan. Terutama harus hati-hati untuk membagikannya dengan orang lain," ujar Prof. Dr. dr. Cissy Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dikutip dari situs resmi Satgas Penanganan COVID-19.
Menurutnya, penolakan yang luas terhadap vaksin COVID-19 justru dapat menghambat terciptanya kekebalan kelompok yang diinginkan. Minimal cakupan imunisasi COVID-19 mencapai 70% dari jumlah populasi.
"Yang perlu diketahui, apabila kita melakukan imunisasi pada banyak orang maka akan timbul yang disebut dengan imunitas populasi atau dikenal dengan herd immunity," tuturnya.
Pemberian vaksin, lanjut Prof Cissy, merupakan cara mencegah infeksi penyakit tertentu dengan efisien dan efektif. Vaksin terbukti mampu mencegah banyak penyakit seperti, BCG, Polio, Hepatitis B, Campak, Rubela, Hib, PCV, Influenza, Dengue, HPV.
"Ini akan melindungi orang lain yang belum atau tidak bisa diberi vaksin seperti, bayi atau orang dengan penyakit gangguan imun," jelasnya.
Terkait proses pembuatan vaksin yang cepat, ia mengatakan bahwa teknologi dan kemampuan sumber daya yang maju, serta ketersediaan biaya bisa mempercepat proses penemuan vaksin COVID-19.
"Di mana fase-fase yang harus dilalui dilakukan secara paralel," imbuhnya.
Coronavirus adalah keluarga virus yang menyebabkan penyakit seperti flu biasa, sindrom pernapasan akut parah (SARS), dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).
COVID-19 disebabkan oleh virus yang berkerabat dekat dengan penyebab SARS. Karena alasan inilah, para ilmuwan menamai virus baru SARS-CoV-2, demikian dilansir Mayo Clinic.
Meskipun pengembangan vaksin dapat memakan waktu bertahun-tahun, para peneliti tidak memulai dari awal untuk mengembangkan vaksin COVID-19.
Penelitian sebelumnya tentang vaksin SARS dan MERS telah mengidentifikasi pendekatan potensial.
Laporan keamanan uji klinik vaksin COVID-19 fase satu dan dua telah dipublikasikan pada publikasi internasional dan menunjukkan hasil yang baik.
Hasil tersebut telah menarik minat lebih dari 2000 relawan untuk berpartisipasi pada uji klinik fase tiga di Bandung. Dari 2000 relawan tersebut, 1620 relawan memenuhi syarat untuk berpartisipasi hingga saat ini telah selesai divaksinasi dan menunggu laporan hasil uji resminya.
“Tidak ditemukan efek samping yang berat, info atau berita mengenai adanya yang meninggal, sakit berat, sakit punggung, itu tidak terbukti dari hasil uji klinik vaksin COVID-19. Setelah dilakukan penelitian, kejadiannya ternyata tidak berhubungan langsung dengan vaksinasi," tambah Prof Cissy.
Selain itu, Prof. Cissy juga mengimbau para orang tua untuk tetap rutin memberikan vaksin kepada anak-anak dan balita. Ada 12 program imunisasi nasional yang diberikan gratis pada anak-anak dan balita.
Dalam kondisi pandemi, pemberian vaksin rutin diberikan, agar tidak menjadi pandemi yang lain nantinya.
“Yang paling rawan di sini campak. Campak sangat mudah menular. Imunisasi pada bayi itu yang paling utama, jadi tidak betul bayi tidak boleh diimunisasi,” kata Prof. Cissy.
“Vaksin adalah salah satu cara kita untuk terlindungi dari infeksi penyakit tertentu. Namun kita tetap harus melakukan perilaku 3 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak aman) secara disiplin, sampai akhir pandemi nanti”, tutup Prof. Cissy.
-----------------------------------
Artikel ini terbit atas kerja sama Tirto.id dengan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB).
Editor: Agung DH