tirto.id - Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Aneka Umbi Indonesia mengeluhkan pencabutan kewajiban lapor realisasi penanaman bawang putih sebagai syarat memperoleh Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Kebijakan Kementerian Pertanian yang terbit November 2019 ini dinilai bakal mementahkan upaya importir yang sudah patuh menanam 5 persen dari total RIPH yang diperoleh.
“Tingkat kepatuhan atau realisasi (wajib tanam) akan rendah setiap tahun,” ucap Ketua II Pusbarindo Valentino di rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IV di DPR RI, Senin (20/1/2020).
Valentino menjelaskan awalnya Permentan No. 38 Tahun 2017 mewajibkan importir untuk mencicil lebih dulu realisasi tanamnya setahun sebelum pengajuan RIPH.
Untuk perusahaan lama realisasinya minimal 10 persen dari total yang harus ditanam dan minimal 25 persen buat perusahaan baru yang mau mengajukan RIPH pertama kali.
Kebijakan ini menurutnya sudah bagus. Sebuah perusahaan tidak sembarang bisa melakukan importasi karena RIPH punya syarat realisasi tanam.
Ia mencontohkan pada tahun 2017 bisa ada 22-23 perusahaan yang tak patuh alias realiasinya Cuma 38 persen.
Per 2018 setelah permentan no. 38 tahun 2017, realisasi jadi 42 persen dan 2019 menurutnya akan naik signifikan di kisaran 50 persen meski datanya belum diterbitkan Kementan.
Masalahnya, Kementan menerbitkan Permentan 39 Tahun 2019 yang membolehkan pengusaha melakukan importasi tanpa harus melapor realisasi wajib tanamnya. Wajib tanam dan pelaporannya baru wajib dilakukan usai pengusaha mengantongi RIPH.
Kebijakan ini menurutnya akan memperburuk situasi dan membuat kepatuhan jatuh lagi seperti 2017. Ia juga khawatir akan banyak perusahaan melirik RIPH dan berbondong-bondong mau jadi importir bawang putih.
“Tidak ada wajib tanam bagi RIPH 2020. Dengan penghapusan ketentuan tanamm awal untuk RIPH 2020 tingkat kepatuhan menurun. Akan muncul PT baru untuk mengajukan RIPH,” ucap Valentino.
Di tambah lagi, Valentino juga menganggap perlakuan ini akan tidak adil bagi pengusaha yang sudah menjalankan wajib tanam sejak 2017. Selama 3 tahun itu katanya, sudah ada banyak penangkaran benih yang terlanjur dilakukan mengikuti program Menteri Pertanian 2014-2019 Amran Sulaiman untuk mencapai swasembada.
Sekurang-kurangnya perusahaan sudah mengeluarkan Rp105-115 juta per hekatre untuk urusan perbenihan ini untuk benih, pupuk, sampai tenaga kerja dan proses pasca panen.
Ia khawatir semua proses ini bakal sia-sia. Belum lagi petani menurutnya butuh suntikan modal pengusaha untuk biaya produksi semahal itu.
“Tapi karena pemerintah yang baru tidak lagi harus melaporkan wajib tanam di awal tidak ada lagi kita bingung petani yang sudah tangkar jadi benih mau diapain,” ucap Valentino.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana