Menuju konten utama

Pengetahuan Vernakular, Sumber Jawaban Persoalan Zaman

Kombinasi pengetahuan vernakular dengan sains dan pengetahuan modern punya urgensi untuk menangani persoalan dengan segera.

Pengetahuan Vernakular, Sumber Jawaban Persoalan Zaman
Pertunjukan Dideng dan Krinok dari Rantau Pandan di agenda Indonesia Bertutur (9/8). Para pelantun adalah dua maestra, Ibu Rahmah dan Ibu Zahara melantun bersama pelantun penerus, dan pelantun dari ranah nyanyian tradisi baru yang berasal dari wilayah sub-kultur lain di Jambi. foto/istimewa

tirto.id - Laporan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2022 menyatakan bahwa dunia tengah menghadapi kompleks ketidakpastian baru. Hal tersebut ditandai oleh bertemunya tiga persoalan besar yang secara bersamaan menjadi ancaman global: krisis lingkungan, transformasi sosial yang cepat, hingga konflik serta perang yang terus merebak.

Kita tahu, dan sadar, betapa kenaikan suhu bumi bukan lagi sekadar teori. Di musim kemarau, hari-hari terasa lebih panas ketimbang biasanya. Banjir berlangsung di banyak tempat. Di Indonesia sendiri, 136 kabupaten dan kota di 20 provinsi mengalami gagal panen sepanjang Januari-Maret 2023. Total lahan terdampak sekira 54 ribu hektar.

Dalam perkara cepatnya transformasi sosial, pandemi Covid-19 adalah salah satu contoh betapa masyarakat dunia kewalahan menghadapi disrupsi di berbagai lini: ekonomi, teknologi, sosial, hingga kultural. Semuanya datang serentak, tanpa panduan atau preseden yang dapat dijadikan sumber pegangan orang banyak.

Pada saat yang sama, ketika krisis lingkungan dan transformasi sosial yang cepat hadir di depan mata, konflik dan perang juga menjadi ancaman nyata. Berita mengenai genosida di Gaza atau perang antara Ukraina dan Rusia membanjiri kanal-kanal media sosial dan media arus utama. Namun begitu, sebuah lembaga di Jenewa, Swis, menyatakan saat ini ada lebih dari 110 konflik bersenjata di antero dunia.

“Kalau sekarang kita mulai berpikir tentang bagaimana caranya mencari jawaban terhadap persoalan-persoalan itu, diskusi mengenai pengetahuan vernakular dan kombinasinya dengan sains serta pengetahuan modern mengarah ke sana,” ungkap Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid Setiadi, saat menyampaikan “Pengetahuan Vernakular”, materi Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana di lobi Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2024).

Hilmar menegaskan, di hadapan tiga persoalan yang membentuk kompleks ketidakpastian baru, kombinasi pengetahuan vernakular dengan sains dan pengetahuan modern bukan sekadar academic exercise, sesuatu yang eksis demi pengetahuan semata, tetapi punya urgensi untuk menangani persoalan dengan segera.

“Dalam kesempatan ini, saya bertolak dari pemikiran Sutan Takdir dan mencoba menjelajahi kemungkinan mengintegrasikan pengetahuan vernakular dengan sains dan teknologi modern sebagai basis pemajuan kebudayaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian seperti sekarang, kita memerlukan perangkat pemikiran, strategi, dan solusi yang andal,” papar Hilmar.

Menurut Hilmar, pengetahuan vernakular memiliki kelebihan dalam menghasilkan solusi yang lebih sesuai dengan konteks pengetahuan itu tumbuh. Apa yang berlaku di satu tempat belum tentu berlaku di tempat lain.

“Sains dan teknologi modern bisa membantu menghubungkan berbagai solusi lokal yang unik dan menjadi satu solusi yang holistik. Dan inilah kiranya makna dari frasa pemajuan kebudayaan,” ungkap Hilmar.

Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana rutin digelar sejak 2009 oleh Akademi Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengenang serta menghormati pribadi dan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, juga merawat tradisi Akademi Jakarta dalam menghadirkan sosok-sosok yang punya pemikiran segar dalam ranah kebudayaan.

Nama-nama sekaliber B.J. Habibie, Toeti Heraty N. Rooseno, Iwan Pranoto, hingga Musdah Mulia tercatat pernah tampil sebagai pembicara dalam Memorial Lecture ini. Dalam sambutan, Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menyebut sosok Hilmar Farid didapuk untuk mengisi Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana 2024 karena yang bersangkutan merupakan seorang aktivis dan akademisi, yang dalam sepuluh tahun terakhir mendapat peluang langka memandang, mengalami, dan menggerakkan kebudayaan dari posisi birokrasi.

“Dengan latar seperti ini, dapat diandaikan terdapatnya kualitas suatu renungan, yang tidak sekadar mengandalkan wacana pustaka, melainkan pengujian segenap wacana dalam segala tindak pemajuan, dari yang abstrak sampai yang konkret, di kancah peradaban Indonesia sehari-hari, yang dalam dua kali masa pemerintahan, tidak selalu mendukung kemajuan tersebut. Dengan kata lain, ini bukan ‘pidato pejabat’ yang formulaik, penuh basa-basi, yang dengan segala hormat, tidak begitu perlu didengarkan itu,” ungkap Seno.

Pengetahuan Vernakular

Kepada reporter Tirto.id, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Karlina Supelli menyebut bahwa secara etimologi kata vernakular berasal dari kata Latin yang maknanya budak.

“Vernakular adalah bahasa kaum budak. Pada zaman Romawi, istilah ini merujuk kepada yang bukan bahasa kaum terdidik, bukan bahasa akademik, bukan bahasa aristokrat, bukan bahasa intelektual. Jadi, pengetahuan vernakular adalah pengetahuan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ini dipraktekkan dan memenuhi hajat hidup orang banyak, misalnya soal tata cara bercocok tanam,” ungkap Karlina, Senin (26/8/2024).

Bertolak dari gagasan Sutan Takdir Alisjahbana yang menyarankan agar bangsa Indonesia berkiblat ke Barat, Hilmar Farid menyebut upaya terpenting saat ini bukanlah menghadap-hadapkan Barat dengan Timur, sains modern dengan tradisi, dalam posisi berlawanan. Namun, mempertemukan semua entitas di atas, termasuk dengan pengetahuan vernakular, dalam hubungan yang lebih adil dan setara.

Tuntutan di atas tentu tidak mudah, mengingat produksi pengetahuan modern cenderung mengabaikan dan meremehkan pengetahuan vernakular. Cara pandang demikian tak bisa dilepaskan dari kolonialisme, yang menurut Hilmar tidak sebatas berbentuk kekerasan fisik, penindasan ekonomi, perampasan, dan penjarahan, tapi juga pada penaklukan kultural yang dampaknya paling merusak dan berumur panjang.

“Kekuasaan kolonial menanamkan sikap inferior dengan menganggap pengetahuan masyarakat lokal, termasuk beragam ekspresi budaya yang sebenarnya sangat kaya, sebagai kebudayaan yang tidak bermakna, dan bahkan terbelakang,” ujar Hilmar.

Dalam konteks demikian, sambung Hilmar, dekolonialisasi pengetahuan adalah keharusan dan salah satu pranata kunci dalam upaya tersebut adalah membentuk lumbung pengetahuan vernakular, sebuah repositori pengetahuan yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama.

“Praktek lumbung ini mulai mengemuka dalam beberapa tahun terakhir dan melibatkan komunitas lokal, seniman dan pelaku budaya, pemerintah, serta dunia usaha. Walau prakarsa ini masih dalam taraf yang sangat awal, benihnya sudah mulai tumbuh dan berkembang, dan dapat berperan signifikan di masa mendatang.”

Body Artikel Kemdikbud 10

Hilmar Farid Setiadi, Direktur Jenderal Kebudayaan, saat menyampaikan “Pengetahuan Vernakular”, materi Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana di lobi Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2024). foto/istimewa

Peluang Menjadi Pemain Besar di Industri Wellness

Dalam ceramahnya soal pengetahuan vernakular, Hilmar juga menyinggung peluang Indonesia menjadi raksasa di industri wellness dunia. Sebagai gambaran, sub-sektor industri wellness sangat luas, meliputi produk perawatan diri dan kecantikan, makanan sehat dan bergizi, pariwisata, hingga kegiatan fisik dan olahraga. Global Wellness Economy Monitor 2023 melaporkan, total nilai ekonomi dari industri wellness kini mencapai USD5,6 triliun dan diperkirakan bakal terus tumbuh hingga 52% sampai tahun 2027.

Merajai industri wellness dunia bukanlah hal mustahil, jika berkaca pada potensi sekaligus modal keanekaragaman biokultural (biocultural diversity) yang dimiliki Indonesia. Indeks Global Keanekaragaman Biokultural (2005) yang dikembangkan etnobiolog Jonathan Loh dan konservasionis David Harmon menempatkan Indonesia di posisi tertinggi dalam urusan keanekaragaman biokultural. Menurut keduanya, hanya ada tiga tempat di dunia dengan keanekaragaman luar biasa istimewa, yakni lembah Amazon di Brazil, Afrika Tengah, dan Nusantara.

Sayangnya, fakta demikian nyaris tidak pernah dibicarakan, apalagi dijadikan panduan, dalam rencana pembangunan Indonesia sendiri. Padahal, sambung Hilmar, jika keanekaragaman biokultural ini dikembangkan secara optimal, Indonesia dapat merajai berbagai bidang seperti pertanian dan pangan, farmasi dan kesehatan, sandang dan kerajinan, dan sebagainya.

“Kontribusinya bukan hanya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri, tapi bagi masyarakat dunia,” kata Hilmar.

Jika keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai upaya pemanfaatan kebudayaan Indonesia, Hilmar menekankan bahwa pemanfaatan kebudayaan tidak hanya sekadar menjaga dan melestarikan warisan, tetapi juga memanfaatkannya secara aktif untuk meningkatkan kesejahteraan, ketahanan budaya, dan pengaruh budaya Indonesia di kancah global.

“Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan praktik budaya vernakular tidak dibekukan menjadi kode yang kaku, tetapi terus berkembang sesuai kebutuhan zaman. Upaya ini akan membentuk masyarakat yang tidak hanya kaya akan pengetahuan tradisi, tetapi juga mampu menjadikannya landasan dalam kehidupan sehari-hari.”

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Melani Budianta, sepakat dengan gagasan Hilmar. Menurut Melani, pemaparan soal pengetahuan vernakular dalam Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana sangat penting untuk menggarisbawahi urgensi pemajuan kebudayaan.

“Sesuai dengan misinya Pak Takdir untuk selalu mendialogkan arah kebudayaan, maka harus dicari jembatan untuk mendialogkan dan juga menyambungkan pengetahuan modern dengan pengetahuan vernakular agar keduanya menjadi sesuatu yang justru menyejahterakan kita semua, misalnya seperti yang tadi disebutkan Pak Hilmar yakni lewat industri wellness maupun pangan lokal,” ungkap Melani kepada reporter Tirto.id, Senin (26/8/2024).

Melani juga sepakat dengan gagasan pentingnya membangun lumbung pengetahuan vernakular untuk menghimpun semua pengetahuan vernakular yang dimiliki Indonesia, dan mengolahnya kembali bukan hanya untuk disimpan, tapi diolah dan dimutakhirkan dengan ilmu pengetahuan yang baru demi kemajuan segenap bangsa Indonesia.

Upaya itu, sambung Melani, tidak bisa hanya berlaku bagi kalangan akademisi saja, tapi memerlukan kerja bersama segala pihak. Lumbung pengetahuan vernakular juga tidak eksklusif menjadi ranah mereka yang menyandang gelar, melainkan milik semua kalangan terutama mereka yang memiliki pengetahuan vernakular.

“Kita harus belajar dari petani dan dari komunitas adat. Bersama mereka, pengetahuan vernakular diolah bersama untuk menjadi sesuatu bagi kita semua. Saya kira, itu sangat penting untuk menjadi jawaban buat persoalan dan ancaman saat ini,” pungkas Melani.

Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana 2024 dapat disimak di tautan ini.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis