Menuju konten utama

Pengelola Air di Jakarta Masih Tutup Mulut Soal Putusan MA

Dua pengelola air di Jakarta, PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) masih mempelajari putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang swastanisasi air.

Pengelola Air di Jakarta Masih Tutup Mulut Soal Putusan MA
Instalasi air milik PT Palyja di Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dua pengelola air di Jakarta, PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) masih belum mau berkomentar soal putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan Pemprov DKI untuk menghentikan swastanisasi air.

Kepada Tirto, Direktur Operasional PT Aetra Air Jakarta, Lintong Hutasoit, mengatakan Aetra masih mempelajari salinan putusan perkara perdata tingkat kasasi tersebut.

"Saya belum pelajari. Kami akan diskusikan dulu, sekarang belum bisa berikan komentar," kata Lintong, Rabu (11/10/2017).

Senada dengan Lintong, Head of Communication Palyja, Astriningworo, juga masih enggan memberikan tanggapan. "No comment dulu ya," ujarnya.

Baca juga:Keluhan Warga Terkait Air di Jakarta Sebelum Putusan MA

Komentar yang sedikit panjang diutarakan oleh Direktur Utama (Dirut) PAM JAYA, Erlan Hidayat. Ia mengatakan bahwa amanat pengelolaan air sebagaimana yang tertera pada putusan MA itu sebenarnya telah mereka jajaki kemungkinannya sejak beberapa hari lalu, tepatnya melalui restrukturisasi kontrak atau perjanjian kerja sama (MoU) baru.

Kerja sama PAM JAYA dan operator swasta itu telah dimulai sejak awal Februari 1998 dan baru akan berakhir pada 2023. Melalui kerja sama itu, dua perusahaan swasta ini berhak untuk mengelola air di wilayah mereka masing-masing. Sementara PAM JAYA hanya bertindak seperti lembaga pengawas (supervisi) saja.

Menurut Erlan, isi restrukturisasi tertanggal 27 September itu bukan untuk mengakhiri kerja sama yang telah terjalin hampir dua puluh tahun itu, melainkan lebih kepada langkah awal agar pihaknya dapat kembali melayani masyarakat secara langsung. MoU itu memungkinkan PAM Jaya mengambil alih pasokan air baku serta distribusi pasokan air bersih di masa yang akan datang.

"Jadi, operator hanya memasang pipa dan mengelola air baku jadi air bersih. Distribusi dari pasokan air baku semua ada pada kita," kata Erlan kepada Tirto.

Baca juga:Menggugat Privatisasi Air di Indonesia

Imbas Kondisi Ekonomi Indonesia

Menurut Erlan, keputusan kerja sama pengelolaan air bersih di Jakarta pada 6 Juni 1997 tidak bisa dilepaskan dari keadaan ekonomi Indonesia ketika itu.

Pada tahun 90-an, kata Erlan, Indonesia masih berada dalam posisi Less Developed Country. "GDP perkapita Indonesia saat itu masih di bawah $800. Sekarang income perkapita kita sudah di atas $3000 dan meningkat terus," ujarnya.

Ketika itu seluruh water treatment plant (WTP) di Jakarta dibangun dengan dana pinjaman terkecuali wilayah Pejompongan, sebab anggaran yang diberikan Pemda sangat terbatas. Imbasnya, untuk membayar utang, seperti juga negara-negara berkembang lainnya, adalah dengan melibatkan swasta dalam pengelolaan air.

"Jadi kalau swastanisasi kemudian bermasalah, perbuatan melawan hukumnya siapa yang lakukan? Atau lebih berat siapa? Pusat atau Pemda?" kata Erlan, balik bertanya.

Erlan memandang proses tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di negara berkembang. Sayangnya, sering kali proses pengembalian pengelolaan air bersih ke pemerintah atau warga (remunisipalisasi) dari swasta mandek.

"Namun, secara keseluruhan, itulah yang namanya jalan hidup. Memang Indonesia mesti melewati fase itu (pinjam uang), kemudian swastanisasi, untuk kemudian kembali lagi ke Negara. Di mana-mana juga ceritanya begitu," kata Erlan.

Baca juga:Jalan Panjang Gugatan Swastanisasi Air di DKI Jakarta

Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor 31 K/Pdt/2017 memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menghentikan swastanisasi air. Putusan kasasi ini juga meminta agar mengembalikan pengelolaan air di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

"Menyatakan Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta," demikian bunyi putusan kasasi MA seperti dikutip dari laman resminya.

Dalam putusannya, MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

Baca juga artikel terkait PRIVATISASI AIR atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti