tirto.id - “Janganlah mengada-ada,” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution.
“Saya harap tidak terjadi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Pernyataan tersebut disampaikan Menko Darmin Nasution dan Menkeu Sri Mulyani menanggapi rumor rush money pada 25 November yang menyeruak di media sosial. Isu itu menyebar bersamaan dengan rencana aksi lanjutan menuntut proses hukum Gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
Polisi juga sudah bergerak cepat dan berjanji meringkus siapapun yang menyebarkan keresahan rush money tersebut.
“Di Medsos sekarang banyak info rush money. Saya ingatkan, siapapun yang membuat info yang membuat arahnya ke kerusuhan, kami akan tindak secara pidana,” tegas Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Rikwanto.
Melihat rekam jejak krisis 1997/1998, siapapun tentunya tidak menginginkan rush kembali terjadi. Namun, jika memang rush benar-benar dilakukan oleh orang-orang yang kemarin melakukan demo 4 November, seberapa kuat sistem perbankan kita?
Untuk melihat hal tersebut, mari kita perhatikan terlebih dahulu susunan dana simpanan masyarakat di perbankan. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total simpanan dana masyarakat di perbankan mencapai Rp4.678,284 triliun per Agustus 2016. Dana itu merupakan simpanan dari 187.238.920 rekening. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30,50% dalam bentuk tabungan, 23,17% dalam bentuk giro, deposito 44,70%, deposito on call 1,48%, sertifikat deposito 0,15%.
Dari simpanan masyarakat di perbankan, rekening dengan saldo kurang dari Rp100 juta mendominasi. Jumlahnya mencapai 183.137.176 rekening atau 97,81% total rekening. Meski demikian, jika dinominalkan, jumlahnya hanya Rp672,850 triliun atau 14,38 persen dari total dana simpanan di perbankan.
Secara nominal, perbankan dikuasai oleh rekening-rekening bernominal besar. Rekening-rekening itu bernominal lebih dari Rp2 miliar, atau berarti tidak mendapatkan penjaminan dari LPS. Menurut data LPS, simpanan dengan saldo antara Rp2-5 miliar mencapai 149.987 rekening (0,08%) senilai Rp467,701 triliun (10%). Sementara untuk simpanan bersaldo lebih dari Rp5 miliar mencapai 80.829 rekening (0,04%) senilai Rp2.136,745 triliun (45,67 persen).
Jika melihat komposisi ini, maka hampir setengah nilai simpanan di perbankan dikuasai oleh rekening besar dengan saldo lebih dari Rp5 miliar. Sementara kebanyakan rekening memiliki saldo kurang dari Rp100 juta. Secara total, rekening yang dijamin oleh LPS dengan saldo kurang dari Rp2 miliar mencapai 54,3 persen. Sementara dari sisi nominal, sebanyak 44,33 persen mendapatkan penjaminan dari LPS.
Ini artinya, lebih dari setengah dana nasabah akan mendapatkan penjaminan dari LPS kalaupun terjadi kegagalan dalam sistem perbankan. Meski demikian, skenario terburuk ini mungkin tidak akan terjadi. Mengapa demikian?
Yang perlu dicermati, krisis moneter pada 1997/1998 terjadi karena adanya krisis kepercayaan baik kepada pemerintah maupun sistem perbankan. Pada saat ini, nyaris tidak ada krisis kepercayaan baik kepada pemerintah maupun perbankan. Pemerintah yang kini berkuasa merupakan hasil dari pemilihan langsung. Sementara secara keseluruhan, kondisi perbankan juga dalam keadaan yang baik, terlihat dari sejumlah indikator.
Saat ini, total jumlah bank baik konvensional maupun syariah mencapai 118 bank. Aset perbankan nasional untuk bank umum sebesar Rp6.465, 680 triliun, BPR Rp108,943 triliun. Rasio kecukupan modal, CAR mencapai 22,56 persen, jauh di atas ketentuan OJK yang sebesar 8 persen. Bandingkan dengan permodalan bank yang sempat minus Rp98,50 triliun pada 1998. Tingkat kredit bermasalah (NPL) kini juga terkendali di angka 3,11 persen (Mei 2016), dibandingkan 46,60 persen pada 1998.
Kondisi ini diperkuat dengan situasi ekonomi Indonesia. Saat ini, cadangan devisa Indonesia mencapai 115,03 miliar dolar. Sementara saat krisis pada 1997, cadangan devisa Indonesia hanya 17,43 miliar dolar.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini stabil di 5,2 persen. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 13,13 persen pada 1998. Untuk tingkat inflasi dari Januari hingga Oktober 2016 terkendali di angka 2,11 persen. Sedangkan inflasi pada 1997 sempat melonjak hingga 77,54 persen.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, ekonomi Indonesia berjalan dengan baik. “Bank Indonesia tetap siap siaga menghadapi situasi. OJK menjaga pasar modal, menjaga lembaga-lembaga keuangan, perbankan, asuransi, dan sebagainya. Pemerintah menjaga sektor riil-nya,” tegas Darmin.
Sektor perbankan juga sudah mengalami deregulasi besar-besaran setelah krisis. Celah-celah untuk praktik perbankan yang tidak sehat sudah ditutup. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas perbankan yang baru secara rutin memeriksa kesehatan bank.
Tak hanya memperbaiki kondisi domestik, pemerintah juga melakukan perlindungan dengan menjalin kerja sama swap dengan sejumlah negara. Indonesia telah menjalin kerja sama regional di bidang keuangan yakni dalam bentuk penyediaan fasilitas pembiayaan untuk mencegah krisis di kawasan ASEAN dan ASEAN+3 (ASEAN + Jepang, Cina, Korea Selatan).
Bentuk kerja sama regional dilakukan baik dalam surveillance dan sistem deteksi dini krisis maupun penyediaan ASEAN Swap Arrangement (ASA) dan Bilateral Swap Arrangement (BSA). BSA merupakan sebuah fasilitas bantuan keuangan jangka pendek dalam bentuk penukaran mata uang asing yang bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa negara-negara ASEAN+3 yang mengalami kesulitan neraca pembayaran jangka pendek.
BSA atau penukaran uang secara bilateral dan dolar AS merupakan kesepakatan di bawah Prakarsa Chiang Mai yang ditandatangani pada Mei 2009. Tujuan CMI adalah agar negara-negara Asia yang tergabung dalam kerangka kerja sama ini dapat meminjam mata uang asing dari negara lain jika suatu negara mengalami krisis seperti pada 1997, untuk meningkatkan cadangan devisanya sampai krisis teratasi.
Beragam antisipasi tersebut membuat perekonomian Indonesia cukup kuat menahan beragam guncangan dari krisis yang sempat kembali melanda. Misalnya krisis ekonomi Amerika pada 2008 ataupun krisis utang di Eropa pada sekitar 2012.
Dengan beragam perbaikan dan antisipasi ini, berulangnya krisis moneter seperti 19 tahun silam sepertinya memang akan sulit terjadi. Namun, kewaspadaan memang tetap diperlukan agar hal-hal terburuk tidak terjadi lagi. Termasuk mewaspadai rumor-rumor yang bisa mengikis kepercayaan masyarakat.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra