tirto.id - "Sejak balita, gua terbiasa hidup di lingkungan sebagai minoritas."
"Gua main dengan anak-anak. [....] Kalau saat kecil banget belum ada bully, tapi ketika sudah usia SD, mulai ada bullying. [...] Sudah mulai dicina-cinain, [dipanggil] sipit..sipit...."
"Mulai ngerasa, gua dilahirin dalam keadaan yang salah deh, itu ketika SD. Dan berlanjut sampai SMP."
"Tapi, bullying bisa ngasih lu tahan banting."
Rentetan kalimat di atas meluncur ketika Ernest Prakasa dengan "santai" menceritakan bagaimana masa kecil ia lalui bersama perisakan dan olok-olok yang kerap dialami oleh anak minoritas. Dalam kasus Ernest, dia minoritas Tionghoa yang tumbuh di perkampungan Jakarta Selatan.
Ernest, stand-up comedian multitalenta yang lantas memasuki dunia film menjadi aktor, sutradara hingga produser, menceritakan hal itu kepada model sekaligus aktris Julie Estelle.
Keduanya bertemu dalam acara bertajuk Dinner With yang ditayangkan Mola TV. Dinner With ialah talkshow yang dikemas dalam acara makan malam berdua antara host dan tamu. Alhasil, pemirsa akan menyaksikan bagaimana dua sahabat sedang bercakap dengan nuansa kedekatan personal.
Sejauh ini, Mola TV sudah menayangkan enam episode Dinner With Season 1. Julie Estelle, Sophia Latjuba, serta Dian Sastrowardoyo didapuk menjadi host.
Tamu-tamu yang datang dalam acara ini adalah pesohor dari berbagai generasi: Ernest, Iwan Fals, Susi Pudjiastuti, Marsha Thimoty, hingga Iwa K dan Jerinx SID.
Cara Ernest Prakasa Menghadapi Bullying
Ernest datang menemui Julie dalam episode pertama Dinner With Season 1. Percakapan mereka tidak terasa formal karena dilakukan di meja makan restoran Roemah Toean PE, Jakarta Selatan. Tak ada tamu lain, hanya mereka berdua yang bercakap dengan menu pembuka: rujak penganten.
Topik mengenai pengalaman masa kecil sebagai minoritas ditanyakan Julie karena Ernest tumbuh di kampung yang berpenduduk mayoritas betawi muslim. Jawaban Ernest bagi Julie mengejutkan.
Meski tidak membenarkan perisakan dalam bentuk apa pun, Ernest menganggap salah satu faktor yang mendorongnya bisa menapaki karier seperti saat ini adalah karena pernah dibully parah saat usianya masih rentan.
Pengalaman tersebut membuat Ernest merasa lebih tahan banting. "Gua terbiasa [menganggap], kalau mau mencapai sesuatu, perjuangan gua harus lebih berat dari orang lain."
Menerima bullying di masa kecil juga membuat Ernest hingga kini kerap merasa tetap inferior dan terus berjuang mencapai kesuksesan. Meskipun ia berhasil menjadi stand-up comedian populer, membintangi belasan film, dan sukses sebagai aktor, sutradara sekaligus produser, Ernest tidak pernah merasa superior. Bagi dia, masih banyak yang lebih sukses darinya.
"Gua dibully 9 tahun di depan muka. [....] Mungkin itu sisi positifnya, untung ada [sisi positifnya]," ujar dia.
Pengalaman masa kecil sebagai minoritas begitu membekas bagi Ernest. Tak hanya perisakan, dia pun pernah memiliki pengalaman traumatis.
Saat Ernest masih kecil, rumah keluarganya pada suatu malam pernah digeruduk sejumlah orang yang menggedor-gedor pintu dan berteriak "bantai cina." Penyebab insiden itu sepele. Salah satu pegawai toko milik ibu Enest--kebetulan juga seorang Tionghoa--terlibat perkelahian dengan warga dari sekitar lingkungan permukimannya.
"Itu pengalaman yang cukup mengerikan."
Isu diskriminasi dan minoritas tak asing bagi Ernest. Topik ini menjadi materi utamanya selama di panggung stand-up comedy. Ia termasuk sedikit orang yang berani secara terbuka membicarakan isu diksriminasi terhadap minoritas, meski dalam kemasan komedi satire, di layar kaca.
Dalam buku Sehari Bersama Selebriti Jilid IX (2019), Ernest mengungkap alasan kenapa ia kerap menyebut dirinya komedian Indonesia-Cina. Sebagai orang Cina yang pernah dibully, Ernest kerap menemui sesama orang Tionghoa yang sungkan mengakui identitasnya. Bahkan, kata Ernest, ada yang ingin diakui sebagai pribumi.
"Padahal, tidak mesti begitu, ya, mengaku aja Cina. Cina kan bagian dari bangsa Indonesia juga," kata Ernest (Hlm. 31).
Pria berusia 38 tahun ini semula memulai karier di dunia hiburan sebagai penyiar radio dan musisi. Namun, stand-up comedy yang membuat namanya dikenal publik.
Pada 2011, Ernest meraih juara ketiga di ajang Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) di Kompas TV. Setelahnya, ia merambah industri film. Memulai karier sebagai aktor, Ernest lantas membuktikan bahwa dia juga mampu menjadi sutradara, penulis skenario, hingga produser. Beberapa buku juga pernah ia tulis.
Di sejumlah film, Ernest bahkan mengambil peran ganda, sebagai pemeran, sutradara, sekaligus penulis skrip. Di antaranya dalam Milly & Mamet; Susah Sinyal; Cek Toko Sebelah; dan Ngenest.
Cek Toko Sebelah menjadi film Ernest paling berhasil karena memikat lebih dari 2,6 juta penonton sekaligus meraih sejumlah penghargaan, termasuk Penulis Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI). Film humor yang berkisah tentang dilema di keluarga Tionghoa kecil tersebut juga masuk dalam nominasi Film Cerita Panjang Terbaik FFI 2017. Berkat film ini pula, Ernest menerima penghargaan Best Director di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017.
Film terbaru Ernest, yakni Imperfect: Karier, Cinta, dan Timbangan, juga tercatat masuk ke dalam daftar 12 film cerita panjang yang lolos kurasi FFI 2020. Dalam film drama komedi percintaan yang rilis pada 2019 itu, Ernest berperan sebagai sutradara, penulis skenario sekaligus aktor.
Saat berbincang dengan Julie dalam acara Dinner With, Ernest tidak hanya bercerita tentang masa kecil dan pengalaman dibully. Ia pun menceritakan kisah percintaan dengan sang istri, kesannya pada cara orang tua mendidiknya, prinsip-prinsip hidupnya, dan perjalanan kariernya selama ini.
Untuk mengetahui apa saja pengakuan Ernest Prakasa mengenai kehidupan pribadinya, pemirsa bisa menonton acara Dinner With di Mola TV.
Editor: Agung DH