tirto.id - Puluhan perwakilan dari Koalisi Masyarakat Anti-Korupsi menyambangi KPK, Kamis (17/11/2017). Dalam kunjungannya, mereka hendak melaporkan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi atas dugaan obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses penegakan hukum.
"Ada dua laporan yang sudah kami sampaikan ke pengaduan masyarakat KPK. Pertama, [laporan Fredrich terhadap] dua pimpinan dan dua penyidik KPK ke Bareskrim Polri, yang kedua kami melaporkan juga ketika kuasa hukum Setya Novanto mengatakan pemeriksaan saksi harus melalui izin presiden. Itu juga kita rasa tidak tepat," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (17/11/2017).
Selama ini, kuasa hukum Fredrich Yunadi bersikukuh pemeriksaan Setya Novanto hanya bisa dilakukan dengan izin presiden berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Undang Undang Dasar 1945 pasal 20A.
Menurut Kurnia, pasal 245 ayat 3 UU MD3 mengatakan kalau aturan di pasal 245 ayat 1 yang menyatakan pemeriksaan anggota DPR harus mendapat izin presiden tidak berlaku di pidana khusus atau terancam hukuman seumur hidup.
Mengenai tuduhan pimpinan KPK tidak patuh terhadap perintah pengadilan yang telah menggugurkan status tersangka Setya Novanto, Kurnia menganggap tuduhan itu bertentangan dengan hukum.
"Keputusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa penegak hukum bisa men-tersangka-kan lagi terdakwa yang sudah dibebaskan praperadilan," jelas Kurnia
Untuk mendukung laporannya, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi membawa satu buah kotak berisi pernyataan-pernyataan tim kuasa hukum Setya Novanto sebagai bukti atas dua buah laporannya.
"Kami meminta KPK menyelidiki lebih lanjut laporan yang sudah kami sampaikan, demi mempercepat penanganan e-KTP." tutup Kurnia.
Saat beredarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berkop KPK pada Senin (6/11) lalu di kalangan pewarta, nama Ketua DPR Setya Novanto kembali menjadi sorotan media. Pasalnya, surat yang didalamnya terdapat nomor Sprin.Dik-113/01/10/2017 dan ditandatangani Direktur Penyidikan Aris Budiman itu menyatakan dimulainya penyidikan terhadap Novanto sejak 31 Oktober 2017 untuk kasus korupsi proyek e-KTP.
Kala itu, KPK belum mengamini kebenaran isi surat itu, namun Fredeich Yunadi, kuasa hukum Novanto lekas-lekas menyatakan kliennya tidak perlu memenuhi panggilan pemeriksaan KPK selama tidak ada izin tertulis dari presiden. Ia mengacu aturan yang tertuang dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014.
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang dimaksud Fredrich berbunyi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”. Sedangkan putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 berisi tentang pengubahan frasa “persetujuan tertulis MKD” dalam pasal tersebut menjadi “persetujuan tertulis dari presiden”.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra