Menuju konten utama

Pencitraan Front Nusra yang Memperdaya AS dan Rusia

Dua anak Al Qaeda lahir dan memilih jalan berbeda. Di saat ISIS memilih untuk jadi musuh bersama manusia se-dunia, Jabhat Nusra memilih melunak dan memposisikan diri menjadi gerakan ekstremis islam yang lebih lunak

Pencitraan Front Nusra yang Memperdaya AS dan Rusia
undefined

tirto.id - Konflik di Irak dan Suriah yang tak kunjung henti membuat peta gerakan jihadis berubah. Semua tak lagi terpolarisasi di Al Qaeda. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sebagai seorang inang, Al Qaeda telah melahirkan anak bengal yang bernama ISIS.

Sempalan yang dipimpin Abu Bakar Al Baghdady ini sungguh tak terkontrol. Dengan lancang mereka mengklaim pendirian Kekhilafahan. Pendirian ini tentunya juga dengan mengangkat Al Baghdady sebagai khilafah.

Konflik pun memanas ketika si induk dan anak saling baku hantam. Pemenangnya adalah ISIS yang meraja di Irak dan Suriah. Al Qaeda membebankan tugas menghadang ISIS ini ada kepada Jabhat Al Nusra

Front Nusra dibentuk sejak 23 Januari 2012, setahun setelah Revolusi Suriah meletus. Pada mulanya kelompok ini menyatukan para jihadis lokal yang bercita-cita menumbangkan Bashar Al Assad dan menerapkan hukum syariah di Suriah. Front Nusra didirikan Abu Muhammad al Julani.

Nama aslinya Ahmad al-Sharaa, dia lahir tahun 1983, berasal dari Provinsi Daraa tapi tinggal di Damaskus. Kesamaan visi membuat kelompok ini dari awal sudah menggabungkan diri berbaiat kepada Al Qaeda. Berada dalam keluarga yang sama hubungan Jabhat Nusra dengan ISIS terjalin mesra. Tapi saat berkhianat, Jabhat Nusra pun mengambil peran tetap bersetia kepada Al Qaeda dan berseteru dengan ISIS.

Pekan lalu (28/7) pemimpin Front Nusra, Al Julani tampil dalam video berdurasi pendek. Video ini ditayangkan secara eksklusif di saluran televisi Al Jazeera. Untuk pertama kalinya, Al Julani menunjukkan wajahnya ke depan publik. Dalam penampilan sebelumnya di Al Jazeera wajah Al Julani dikaburkan.

Dalam video itu, dia menyampaikan pernyataan singkat menyangkut masa depan Front Nusra. Al Julani mengatakan kelompoknya berganti nama dari Jabhat Nusra menjadi Jabhat Fath Al Sham. Dari pernyataan Al Julani tersirat bahwa Front Nusra sudah melepaskan diri dari Al Qaida.

“Dapat kami sampaikan di sini bahwa seluruh operasi di bawah nama Front al-Nusra atau Jabhat al-Nusra, sekarang ini dan seterus, sudah tidak berlaku. Organisasi ini telah berubah nama menjadi Jabhat Fath al-Sham. Perlu diketahui, organisasi baru ini tidak berafiliasi dengan kelompok manapun," ucap Al Jolani.

Video ini sebenarnya merupakan video balasan. Beberapa jam sebelumnya beredar rilis rekaman ucapan wakil pemimpin Al Qaeda, Ahmad Hasan Abu al Khair. Isi rekaman perihal pemberian keleluasaan Front Nusra untuk berlepas diri dari Al Qaeda. “Kami memberi arahan kepada pimpinan Jabhah Nusrah untuk bergerak maju (mengambil keputusan) dalam rangka melindungi kemaslahan Islam dan umatnya serta menjaga jihad warga Suriah. Kami mengimbau Jabhah Nusrah mengambil langkah-langkah tepat berdasarkan arahan ini,” ucap Abu al-Khair.

Rekaman ini seolah meminta Front Nusra mengubah citra dengan memposisikan diri sebagai gerakan revolusioner populer dengan tujuan akhir pembebasan Suriah. Bukan kelompok yang berkomitmen untuk jihad global.

Abu al-Khair meminta Front Nusra untuk bergabung dan bersatu dengan faksi-faksi Jihad lainnya. Di Suriah, Front Nusra memang bukanlah satu-satunya faksi jihad, ada juga faksi Ahrar ash-Sham, Liwa al-Haqq, Ajnand al-Sham, Turkistan Islamic Party, Jund al-Aqsa dan kelompok-kelompok kecil lainnya.

Saking banyak kepala, wajar jika di antara mereka sering terjadi perpecahan. Sejak 2015, Faksi jihad ini membentuk aliansi Jaish al-Fatah. Aliansi ini yang membuat kota Idlib, kota terbesar ketiga di Suriah berhasil direbut pada Mei 2015 lalu. Meski sudah berkoalisi mereka pun sering terpecah. Keterikatan Front Nusra dengan Al Qaeda yang biasa jadi sebab percikan konflik itu.

Seperti diketahui, aliansi Jaysh al-Fatah mendapat dukungan senjata dan dana dari Arab Saudi, Turki dan Qatar untuk memerangi Bashar Al-Assad. Keterikatan Front Nusra dengan Al-Qaeda menghambat hubungan ini, mengingat status Al-Qaeda yang jadi musuh bersama di Timur Tengah.

Di awal konflik, sebenarnya Front Nusra pun mendapat sokongan ini. Namun, tekanan dari barat kepada Saudi dkk mau tak mau membuat bantuan itu harus “disembunyikan”. Pencitraan berlepas diri dari Al-Qaeda adalah satu-satunya jalan agar peperangan mahal ini bisa terus dilakukan. Al-Qaeda meminta Fokus Front Nusra hanyalah pada Suriah.

“Bersatulah kalian dalam satu barisan untuk melindungi warga Syam dan melindungi bumi kalian. Berjanjilah, kesatuan kalian dalam rangka menegakkan pemerintahan Islam yang melindungi rakyat dan menyebarkan keadilan.”

“Dengan izin Allah, kami akan menjadi orang pertama yang mendukung dan menolong pemerintahan tersebut,” tegas Abu al-Khair

Al Julani sebenarnya merinci keputusan kelompoknya berlepas diri dari Al Qaeda. “Keputusan ini diambil guna menghapus alasan yang digunakan oleh masyarakat internasional - dipelopori oleh Amerika dan Rusia - membombardir dan membuat rakyat Suriah terusir. Masyarakat internasional selalu melakukan itu dengan dalih menargetkan al-Nusra yang berhubungan dengan al-Qaeda.”

Berbeda dengan ISIS dan Al-Qaeda, Al Nusra sadar akan pentingnya mencitra. Mereka berhati-hati betul dalam setiap melakukan aksinya. Tindakan Front Nusra tidaklah seliar ISIS dan Al Qaeda yang tak segan membunuhi sipil dengan aksi-aksi bom bunuh diri. Aksi bom bunuh diri yang dilakukan kelompok ini rata-rata menyasar pada fasilitas militer.

Dalam menegakkan hukum Syariah di wiliayah yang mereka kuasai, Front Nusra masih mengedepankan dialog dan toleransi. Begitupun dalam soal musuh yang mereka tawan. Pencitraan ini membuat Front Nusra begitu populer di sana. Mayoritas anggota mereka bukanlah pejuang asing seperti ISIS, namun anak-anak muda lokal asli Suriah.

Awal bulan Juli lalu, The Washington Post menerbitkan laporan tentang proposal yang akan membuka jalan bagi AS dan Rusia untuk bekerja sama melawan Front Nusra. Keseriusan rencana ini kembali dibahas oleh Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov membicarakan ini di sela-sela pertemuan negara-negara ASEAN di Laos, 25 Juli lalu.

Menurut rencana, AS dan Rusia akan berbagi informasi intelijen untuk mengkoordinasikan serangan udara Nusra. Sebagai timbal balik, Rusia tidak boleh meyerang “pemberontak moderat” seperti Free Syirian Army (FSA) dan faksi-faksi lainya. Kedua pihak dikabarkan sudah sepakat. Bagi Rusia, ancama Front Nusra lebih besar ketimbang FSA. Kepempimpinan mereka di Jays al-Fath membuat aliansi jihadis kokoh bersatu.

Bagi AS sendiri, serangan udara AS kepada Front Nusra saat ini hanya ditujukan pada individu pemimpin Al Qaeda yang sering mondar-mandir masuk Suriah. Adanya proposal kerja sama dengan Rusia otomatis membuat serangan kepada seluruh milisi tinggal menunggu waktu saja.

Bagi Front Nusra, hal ini amat serius, karena jadi dalih Rusia dan AS untuk membunuh warga sipil tak berdosa. Beruntung mereka sadar, eksistensi mereka membahayakan rakyat sipil.

Di sisi lain tekanan dari faksi militan lain – entah itu kelompok aliansi islam maupun moderat – pun ikut andil dalam keputusan ini. Dalam satu tahun terakhir, persatuan dikalangan militan memang tidak hanya dalam lingkup hanya militan islam saja, hubungan antara milisi islam dan moderat pun terjalin mesra. Banyak misi-misi pembebasan dilakukan secara bersama, diantaranya adalah pembebasan blokade di Allepo Timur yang terjadi saat ini.

Perjanjian Rusia dan AS bisa merusak hubungan antar milisi ini. Dilansir Southfront.org banyak bantuan AS yang dialirkan kepada pemberontak moderat dicicipi juga oleh milisi islam termasuk Front Nusra. Dengan kata lain, jika Washington setuju mengkoordinasikan melawan Front Nusra, maka oposisi pejuang Suriah akan kehilangan kekuatan utamanya secara mencolok.

Lantas sikap Front Nusra yang melepas diri dari Al Qaeda, dan membikin identitas baru sebagai “kelompok moderat islam” itu adalah bagian dari win-win solution. Pencitraan Front Nusra ini jadi olok-olok negara-negara barat.

“Kami tetap menganggap mereka sebagai bagian dari kelompok teroris internasional,” ungkap Jurubicara Departemen Luar Negeri AS John Kirby. “Kami menilai sebuah kelompok berdasarkan apa yang mereka lakukan, bukan atas apa yang mereka akui,” lanjutnya.

Thomas Joscelyn, peneliti di Foundation for Defense of Democracies, dalam analisanya di situs The Long War Journal, dia menilai pada rekaman video Al Julani tidak secara eksplisit mengatakan hubungan Front Nusra dengan Al Qaeda bercerai. “Dia tidak membuat klaim seperti itu. Dia hanya mengatakan “menghentikan afiliasi untuk setiap entitas asing". Jika Al Julani ingin berdebat bahwa dia dan anak buahnya tidak lagi punya hubungan dengan Al Qaeda, dari pernyataan dia itu sudah benar.”

“Tapi Al Qaeda memiliki kader kepemimpinan senior dan anggota di dalam Suriah, yang berarti al Qaeda itu sendiri bukan merupakan "entitas eksternal."

Joscelyn menyimpulkan Front Nusra memang telah putus hubungan dengan Al Qaedah di luar negeri, tapi hubungan dengan sel-sel jaringan di Suriah tetap dilakukan. Kabar terendus dua wakil sang pemipin Ayman al-Zawahiri yakni Abu Khayr al Masri dan Saif al Adel saat ini di tinggal di Suriah.

Ketidakyakinan Joscelyn juga didasari munculnya Ahmad Salama Mabruk , seorang jihadis yang duduk di sebelah kanan Al Julani saat rilis video itu dibuat. Mabruk berkewarganegaraan Mesir, tapi dia sudah bermigrasi ke Suriah saat perang di mulai. Faktor ini yang membuat Mabruk tak masuk dalam kategori “entitas eksternal”. Padahal dia dikenal sebagai tangan kanan Ayman al Zawahiri sejak tahun 1980-an. “Hubungan panjang antara Mabruk dan Zawahiri tentunya tidak akan berakhir setelah Al Nusra berganti nama bukan?” tulis Joscelyn.

Terlepas percaya atau tidaknya AS kepada Front Nusra, bagaimanapun juga kelompok yang berganti nama jadi Jabhat Fath Al Sham ini sudah memposisikan diri sebagai milisi moderat hijau. Status ini sudah cukup untuk membuat posisi mereka aman. Tak peduli intrik licik politik mereka yang jelas tindakan Front Nusra untuk menghindari jatuhnya korban sipil patut diapresiasi. Hal itu tentunya lebih baik, ketimbang Bashar al-Assad yang membunuhi rakyat sipilnya sendiri dengan dalih mempertahankan konstitusi negara.

Baca juga artikel terkait SURIAH atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti