tirto.id - Prima Mulia, salah seorang jurnalis foto dari Tempo, tertarik untuk mencari visual unik saat aksi Hari Buruh Internasional atau May Day 2019. Prima bersama jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza) memilih untuk berpisah dengan wartawan foto lainnya di Bandung saat liputan di lapangan.
“Saya emang ingin meliput yang anarko ini karena biasanya mereka akan membawa flayer atau asap jadi ingin memiliki visual yang berbeda pada saat May Day,” kata Prima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis(2/5/2019).
Prima dan Reza pun mengikuti barisan polisi. Prima mengatakan, dirinya mengikuti rombongan polisi dari awal mereka keluar di Taman Cikapayang, hingga kawasan Singaperbangsa, Lebak Gede, Dago Bandung.
“Jadi itu isinya cuma massa demonstran yang berbaju hitam, wartawan cuma ada dua di area tersebut, dan sisanya polisi bersenjata laras panjang dan laras pendek,” kata Prima mengisahkan.
Menurut Pria, di sana para polisi menembakkan senjata tersebut ke udara hingga empat atau lima kali. Mereka mengejar massa berpakaian hitam tersebut. “Massa makin kocar-kacir, dan dipukulin,” ujar Prima.
Di sisi lain, ungkap Prima, sepanjang momen tersebut berlangsung, polisi pun bersahutan satu sama lain untuk memastikan tidak ada momen yang dipotret. “Hati-hati gambar,” kata Prima menirukan aparat itu. “Awas itu ada gambar,” timpal polisi yang lain.
Namun, Prima dan Reza tetap memotret kejadian tersebut.
“Lalu saya dan Reza ditangkap. Reza berada sekitar 50 meter [dari saya], sedangkan saya didesak ke pagar. [Saya] posisinya dipiting, enggak bisa ke mana-mana,” kata Prima mengingat kejadian intimidasi yang menimpa dirinya.
Prima pun dipaksa untuk menghapus foto-foto yang diambilnya itu. “Kamu kalau ini enggak dihapus, kamu saya habisin sekarang,” ujar Prima menirukan polisi berpakaian preman tersebut.
“Saya enggak bisa membedakan kamu sama yang pakai baju hitam itu,” kata Prima menirukan ucapan orang yang mengapitnya.
Padahal, kata Prima, “setiap liputan, kan, ID cardnya [saya] digantungin karena kalau terjadi apa-apa, kan, kami bisa dilindungi sama Undang-Undang Pers,” kata Prima.
Hal senada diungkapkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Ari Syahril Ramadhan. Ia menuturkan kronologi pemukulan berdasarkan keterangan Reza. Menurut dia, anggota Tim Prabu itu menggunakan sepeda motor KLX berpelat nomor D 5001 TBS.
Ari mengatakan, Reza dibentak dengan pertanyaan “Dari mana kamu?” dan Reza pun menjawab: “wartawan,” sambil menunjukkan ID Pers-nya.
Namun, kata Ari, polisi tersebut malah merampas kamera yang dipegang Reza sambil menginjak lutut dan tulang kering kaki kanannya berkali-kali. Kemudian menghapus sejumlah foto yang berhasil diabadikan Reza.
Kejahatan Struktural?
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menilai kejadian tersebut merupakan kejahatan yang sifatnya struktural, sehingga perlu ada pertanggungjawaban. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah pencopotan Kapolrestabes Bandung Kombes Irman Sugema.
“Kalau dilihat tindakan polisi ini terencana, sistematis,” kata Asfinawati saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (3/5/2019).
Alasannya, kata Asfinawati, polisi tidak berhak untuk melakukan penghukuman terhadap siapa pun. “Penghukuman diputuskan pengadilan,” kata Asfinawati.
Asfinawati menegaskan tugas polisi adalah menyelidik dan menyidik. “Yang perlu digali lebih dalam, siapa yang memerintahkan tindakan ini dan untuk apa,” ujar Asfinawati.
Sementara itu, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengatakan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), diatur bagaimana atasan perlu bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Anggara menilai, bentuk pertanggungjawaban seharusnya bisa hadir dari Kapolrestabes Bandung tanpa menunggu adanya tuntutan, bila ia memang sadar hukum.
“Dia harus sadar bahwa ada situasi yang membuat dia perlu bertanggung jawab secara hukum karena ada perlakuan staf yang merugikan orang lain,” kata Anggara.
“Kan itu merugikan orang lain ya, dan tidak hanya sebatas kekerasan, tapi juga footage fotonya, kan, juga hilang, itu kan kerugian,” kata Anggara.
Namun, Anggara belum mau menyimpulkan apakah kekerasan terhadap jurnalis foto itu dilakukan secara terstruktur atau tidak. Sebab, hal itu perlu dilihat dari pendidikan dan arahannya.
“Kalau struktural, harus dilihat ketika polisi menghadapi demonstran, apakah memang dilatih untuk menghadapi demonstran dan termasuk juga media yang meliput?” ujar Anggara.
“Ketika menghadapi media, apa yang harus dilakukan oleh polisi yang menjaga demonstrasi? Kan itu harus ada. Kalau orang enggak dikasih pelatihan, responsnya bisa macam-macam,” kata Anggara.
Lebih lanjut, kata Anggara, seharusnya polisi tidak menghalangi kerja wartawan untuk mengambil gambar saat demonstrasi berlangsung.
Saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Rabu sore (1/5/2019), Kapolrestabes Bandung Kombes Irman Sugema mengatakan bertanggung jawab untuk pengobatan wartawan.
“Kami dari Polrestabes Bandung akan memproses dan bertanggung jawab untuk pengobatan,” kata dia.
Reporter Tirto kembali menghubungi Irman untuk mengetahui perkembangannya, pada Kamis (2/5/2019) dan Jumat (3/5/2019). Namun, hingga artikel ini dirilis, Irman Irman tidak menjawab, baik melalui pesan WhatsApp maupun telepon.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz