tirto.id - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut bahwa anggapan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto yang mengatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto merupakan wakil dari DPR adalah keliru. Menurut Kurnia, DPR sejatinya hanya mengajukan nama untuk menjadi hakim konstitusi.
"Pasal 18 ayat (1) UU MK mengatakan bahwa keberadaan DPR dalam konteks pemilihan hakim konstitusi hanya bersifat mengajukan, bukan berasal dari anggota DPR. Jadi pemikiran Bambang itu mestinya diabaikan saja," ujar Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/10/2022).
Kurnia menjelasakan bahwa dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah tegas mengatakan bahwa hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
"Jadi, dalam kerangka aturan itu tidak ada kewajiban bagi hakim MK untuk menuruti atau membenarkan semua produk perundang-undangan, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR," katanya.
Kurnia juga menyebut bahwa asar pemikiran DPR saat memberhentikan Aswanto bermuatan konflik kepentingan dan seperti ingin menundukkan mahkamah.
"Dengan alasan Bambang yang menyebutkan bahwa Aswanto menganulir produk legislasi DPR, berarti Ketua Komisi III itu memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi," kata Kurnia.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Pacul menyebut pemecatan Aswanto terkait dengan kinerjanya yang mengecewakan. Hal yang membuat kecewa adalah karena setiap hasil legislasi DPR kerap dianulir oleh oleh hakim MK yang salah satunya adalah Aswanto.
Pacul menegaskan bahwa setiap hakim MK yang dipilih oleh DPR harus memiliki komitmen, terutama perihal produk undang-undang yang telah mereka buat.
"Ini bukan karena kekecewaan. Tapi ini menunjukkan Anda tidak komit dengan kita. Sehingga kita mohon maaf. Kita akan menggunakan hak kita," ujarnya.
Setelah diberhentikan dari hakim MK, Aswanto akan digantikan oleh Guntur Hamzah yang saat ini masih menjabat sebagai Sekjen MK.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhli Ramadani melihat keputusan Komisi III DPR mencopot Hakim Konstitusi Aswanto memiliki kaitan dengan isu pencalonan Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada kontestasi Pemilu 2024 mendatang
"Saya menduga ini punya kaitan dengan beberapa perkara krusial yang saat ini sedang diperiksa oleh MK. Salah satunya adalah soal masa jabatan presiden yang dapat lagi dipilih menjadi wakil presiden," kata Fadhli dalam konferensi persnya, Senin (3/10/2022).
Fadhli menyebut pencopotan Aswanto tidak bisa dipisahkan dari konteks pernyataan salah satu pegawai MK beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa presiden yang sudah menjabat 2 periode itu dicalonkan kembali menjadi wakil presiden.
"Sangat mungkin proses di MK dijadikan legitimasi untuk mendorong agenda politik tertentu," katanya.
Diketahui, isu presiden dua periode bisa maju menjadi cawapres bermula dari pernyataan Jubir Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono untuk merespons pertanyaan wartawan melalui pesan WhatsApp.
Saat itu, Fajar mengatakan tak ada peraturan yang melarang hal tersebut, dalam hal ini ialah Pasal 7 UUD 1945.
Pernyataan Fajar tersebut kemudian direspons Ketua Bappilu DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul. Ia mengamini bahwa Pasal 7 UUD 1945 memang tak melarang Jokowi untuk maju menjadi cawapres.
Namun, itu berpulang pada kehendak Jokowi sendiri, mau atau tidak jika mencalonkan diri kembali di pesta demokrasi.
"Kalau Pak Jokowi mau jadi Wapres ya sangat bisa. Tapi syaratnya harus diajukan oleh Parpol atau gabungan Parpol," kata Bambang.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto