tirto.id - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang ditetapkan pada 11 April 2022.
“PP ini menjadi tonggak penting sebagai landasan hukum konvergensi kontrak yang nantinya berakhir menjadi rezim perizinan dalam upaya peningkatan penerimaan negara," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam pernyataannya, Senin (18/4/2022).
Febrio mengatakan terdapat dua bagian penting dari PP ini. Pertama, PP ini memberikan kejelasan mengenai bagaimana kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batu bara dilaksanakan.
Berbagai pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang PKP2B.
“Adanya kepastian hukum mengenai PPh yang lebih baik melalui PP ini diharapkan semakin memudahkan pelaku usaha di sektor ini dalam menunaikan kewajiban pajak," ujar Febrio.
Kedua, kata dia, pemerintah mengatur kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Hal itu mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara dibandingkan sebelumnya sebagaimana amanat pasal 169A UU Minerba.
Pemerintah mengatur besaran tarif PNBP produksi batu bara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batubara Acuan (HBA).
Dengan demikian, pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batu bara yang diterapkan tidak terlalu membebani pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Sebaliknya, pada saat harga komoditas naik seperti saat ini, negara mendapatkan penerimaan negara dari PNBP produksi batu bara yang semakin tinggi.
Sedangkan untuk mendorong pemanfaatan produksi batu bara bagi industri di dalam negeri, PP ini mengatur di antaranya tarif tunggal yang lebih rendah sebesar 14 persen bagi produksi batu bara untuk penjualan dalam negeri.
“Implementasi peraturan ini diharapkan tetap mampu menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dengan upaya tetap menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan untuk mendukung konsolidasi fiskal ke depan," kata dia.
Febrio melanjutkan, pemerintah juga memberikan kepastian hukum bagi pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan PNBP. Hal ini dilakukan dengan cara mengatur kewajiban perpajakan dan PNBP yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat izinnya diterbitkan (nailed down) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (prevailing law).
PP teranyar ini juga memperjelas kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti ketentuan nailed down adalah iuran tetap, PNBP produksi batu bara, PPh Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, PNBP di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan PNBP berupa bagian Pemerintah Pusat sebesar 6 persen serta penerimaan daerah lainnya sebesar 4 persen dari keuntungan bersih.
Sedangkan kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti prevailing law adalah PNBP lainnya selain yang sudah disebutkan di atas, pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Karbon, Bea Meterai, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Febrio mengatakan PP ini diharapkan mampu menangkap momentum pertumbuhan positif sektor pertambangan batu bara. Apalagi sektor ini mampu tumbuh positif sebesar 6,6 persen (yoy) di tahun 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional.
"PP ini menjadi relevan dalam memanfaatkan momentum peningkatan kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap perekonomian melalui APBN," jelasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Gilang Ramadhan